Kalkulasi
Peluang Clinton dan Trump
Ahmad Safril ; Pengajar
sistem politik Amerika Serikat
pada Departemen Hubungan
Internasional FISIP Universitas Airlangga Surabaya
|
JAWA POS, 09 November
2016
PEMILIHAN presiden Amerika
Serikat (AS) bakal berlangsung ketat. Indikasinya tampak dari hasil jajak
pendapat terbaru yang dirilis sejumlah lembaga survei. Meski Hillary Clinton
sempat unggul atas Donald Trump setelah memenangi ketiga debat calon presiden
(capres) bulan lalu, jajak pendapat seminggu terakhir menunjukkan bahwa
selisih suara mereka kian tipis. Artinya, peluang dua capres tersebut
berimbang dan kemenangannya akan ditentukan keperkasaan mereka di swing
states seperti Florida dan North Carolina.
Pada 5 November 2016, LA
Times/USC Tracking melaporkan hasil surveinya yang mengunggulkan Trump lima
poin di atas Hillary. Padahal, seminggu sebelumnya, posisi keduanya seimbang.
Dalam survei ABC/The Washington Post (4/11), Trump yang sempat tertinggal
enam poin kini merapatkan jarak menjadi dua poin. Walaupun Trump terus
mengejar, Financial Times (5/11) tetap memprediksi Clinton terpilih sebagai
presiden dengan suara 45 persen dibanding pesaingnya yang meraih 42,9 persen.
Semua hasil survei terbaru menunjukkan bahwa posisi Clinton terancam oleh
merangkaknya elektabilitas Trump.
Dukungan publik kepada Clinton
dan Trump fluktuatif setelah keduanya saling serang atas aneka isu sensitif.
Ketika Trump diserang karena komentar vulgarnya yang melecehkan perempuan,
Clinton terancam kehilangan dukungan akibat skandal penggunaan server surat
elektronik (surel) pribadi untuk kepentingan dinas semasa menjabat menteri
luar negeri. Jika dikalkulasi, kendati Clinton memiliki peluang lebih besar,
kans Trump tidak berarti tertutup. Di tengah kompetisi yang semakin ketat,
segala kemungkinan masih bisa terjadi hingga bilik suara ditutup.
Peluang Clinton
Clinton memiliki peluang lebih
besar lantaran kapabilitasnya sebagai pemimpin tidak perlu diragukan lagi.
Tidak seperti Trump yang minim pengalaman politik, mantan ibu negara itu
pernah menduduki berbagai jabatan bergengsi seperti senator New York
(2001-2009) dan menteri luar negeri (2009-2013). Pengalaman panjang di kancah
politik membuat politikus perempuan 69 tahun tersebut sangat memahami
permasalahan yang dihadapi AS dan strategi mengatasinya. Berbagai tawaran
kebijakannya dipandang publik lebih rasional daripada Trump yang cenderung
emosional.
Karena itu, wajar jika Clinton
panen dukungan. Sejumlah pemimpin berpengaruh seperti Presiden Barack Obama
dan Menteri Luar Negeri John Kerry menyokong Clinton secara terbuka dengan
terlibat langsung dalam kampanye. Untuk kali pertama dalam sejarah, Foreign
Policy dan The Washington Post mendobrak tradisi independensi yang selama ini
mereka tegakkan dalam setiap kali pemilu. Dua media terkemuka itu menyatakan
keberpihakan mereka kepada Clinton. Dalam editorialnya pada 9 Oktober 2016,
Foreign Policy memandang Clinton sebagai “…a quality candidate who is
unquestionably well-prepared to lead this country”. Empat hari kemudian, The
Washington Post menyatakan, “Hillary Clinton has the potential to be an
excellent president of the United States and we endorse her without
hesitation.”
Namun, segala kelebihan itu
terancam upaya Biro Investigasi Federal (FBI) membuka kembali investigasi
atas skandal surel Clinton. Sejak Direktur FBI James Comey mengungkap
investigasi tersebut pada 28 Oktober 2016, dukungan kepada Clinton mulai
terkikis. Pemilih yang sebelumnya mantap memilih Clinton berpikir ulang dan
pemilih yang masih mengambang berpotensi mengarahkan suaranya ke Trump.
Karena itu, peluang Clinton menjadi presiden bergantung pada seberapa mampu
dirinya mengamankan suara pemilih Partai Demokrat yang cenderung kritis
sekaligus meyakinkan pemilih mengambang bahwa dirinya layak memimpin AS.
Peluang Trump
Sikap rasis Trump dan rencana
kebijakannya yang keras sebenarnya mengancam masa depan AS. Tetapi, mengapa
taipan 70 tahun tersebut justru mampu meraup dukungan signifikan? Jawabannya,
karena Trump berhasil memanfaatkan keresahan publik atas kemungkinan
rontoknya kedigdayaan AS di panggung global.
Sebagian orang menganggap Obama
telah gagal membangkitkan kejayaan AS. Pertumbuhan ekonomi negara itu stagnan
di angka 2,9 persen sehingga rentan disalip Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi
terbesar dunia yang pertumbuhannya mencapai 7 persen. Pergeseran orientasi
kebijakan luar negeri AS ke Asia tidak membuahkan hasil seiring dengan kian
dominannya Tiongkok di kawasan tersebut. Kala perhatian difokuskan ke Asia,
di Timur Tengah ISIS justru semakin berkembang menjadi ancaman
mengkhawatirkan. Dalam kondisi demikian, Trump yang muncul dengan slogan
“Make America Great Again” dipandang sebagai jawaban atas kepemimpinan Obama
yang lembek.
Setelah kecaman atas ucapan
vulgarnya tertutupi isu surel pribadi Clinton, momentum sekarang berpihak
kepada Trump. Apabila Trump sukses memanfaatkan skandal yang mengguncang
Clinton untuk keuntungannya, suara pemilih mengambang akan mampu dia rebut.
Namun, seberapa besar hal itu dapat meningkatkan suara elektoralnya sangat
bergantung pada negara bagian mana yang dia menangi. Dalam hal ini, sebagai
swing state yang menyumbangkan electoral
vote terbesar, Florida bakal jadi penentu siapakah yang melenggang ke
Gedung Putih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar