Cermin
Retak Demokrasi
Aminuddin ;
Peneliti pada Literasi Politik
dan Edukasi untuk Demokrasi (LPED); Alumnus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
|
KOMPAS, 18 November
2016
Ritual demokrasi Pemilihan
Kepala Daerah DKI Jakarta boleh jadi diinterpretasikan sebagai proses
demokrasi lokal paling keras, kasar, dan menyedot energi bangsa. Betapa
tidak! Hampir seluruh rakyat di pelosok negeri ikut larut dalam kegaduhan.
Bahkan, orang yang tak memiliki hak pilih di Ibu Kota memberi perhatian, bahkan
penilaian khusus. Lebih memprihatinkan lagi, proses pilkada melewati batas
keadaban dan rel yang semestinya.
Berbagai analisis mengemuka di
publik bahwa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI mencerminkan keretakan
demokrasi di DKI Jakarta. Pertama, pernyataan Gubernur DKI Jakarta (nonaktif)
Basuki Tjahja Purnama alias Ahok dinilai menistakan agama mendapatkan reaksi
dari organisasi yang mengatasnamakan Islam. Bahkan, isu ini berpotensi
membawa sentimen etnoreligi. Andai Ahok tidak maju menjadi calon gubernur,
besar kemungkinan kasus ini cukup di kursi penegak hukum tanpa harus
diekspresikan dengan aksi demonstrasi 4 November (411).
Maka, analisis yang
menyimpulkan bahwa aksi 411 ada kaitannya dengan konspirasi politik benar
adanya. Bahkan, Presiden Jokowi secara gamblang membenarkan hal itu.
Menurut Jokowi, ada segelintir
elite politik yang menunggangi aksi 411 sehingga terjadi kerusuhan setelah
shalat maghrib. Padahal, demonstrasi harus selesai pukul 18.00. Ini sesuai
dengan amanat UU No 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka
Umum, unjuk rasa harus berakhir pada pukul 18.00.
Kedua, Ahok yang memang sejak
dulu ”dibenci” oleh elite-elite politik karena kegemarannya mendobrak tradisi
di dalam parpol juga menjadi pemicu mengapa pernyataan Ahok sarat politis.
Ahok memang tidak mudah tunduk kepada parpol. Ahok lebih tunduk kepada
kehendak rakyat sehingga parpol yang tidak sejalan dengan kemauan publik, dia
lawan. Langkah Ahok yang membongkar sejumlah kejanggalan dalam proses
anggaran di DKI (di pemerintahan dan parlemen) bisa juga menjadi pemicu
”kebencian” elite terhadap Ahok.
Akumulasi
Sekian banyak langkah Ahok yang
tidak sejalan dengan politisi dan parpol terakumulasi menjadi kebencian. Pada
akhirnya, kasus surat Al-Maidah yang terjadi di Kepulauan Seribu seolah-olah
momentum bagi kalangan tertentu untuk ”menggoreng” karier politik Ahok.
Kalangan elite yang juga disokong oleh ormas seperti Front Pembela Islam
(FPI) bahu-membahu menggerakkan masyarakat.
Pucuknya, lautan manusia di
Jakarta tidak terhindarkan. Padahal, jika mereka sabar dan menunggu proses
hukum, aksi-aksi seperti itu tidak perlu dilakukan. Menyerahkan sepenuhnya
kepada hukum menjadi hal yang relevan sembari dikawal. Apalagi, Polri sudah
berjanji memproses hukum dengan transparan dan terbuka.
Kasus Ahok yang melebar ke aksi
demonstrasi merepresentasikan bahwa negara ini belum menerima orang-orang
minoritas. Ahok dengan cara komunikasinya yang blakblakan, keras, dan tanpa
kompromi justru dinilai sebagai pemimpin yang tidak mencerminkan budaya
keindonesiaan.
Bahkan, tindakan Ahok yang
tanpa kompromi tersebut dipelintir menjadi isu yang keras kepala dan tidak
mau mendengarkan orang lain. Padahal, dengan kepemimpinan keras inilah warga
DKI Jakarta lebih disiplin dan taat peraturan. Membaca hal itu, demokrasi di
Pilkada DKI seolah-olah ditentukan oleh kehendak pasar. Artinya, politik
tidak menentukan siapa calon yang berintegritas dan memiliki portofolio
bagus, tetapi sejauh mana kemampuan elite menggerakkan pasar politik. Maka,
calon-calon yang jelas memiliki integritas tinggi malah dipelintir menjadi
calon yang rasis, melecehkan agama, dan sebagainya.
Atas dasar inilah pilkada di
DKI ibarat pasar bagi elite-elite politik yang berkepentingan. Elite yang
bersemayam di parpol menjadikan pilkada sebagai orientasi besar untuk
mengegolkan jualannya, yakni kandidat yang didukung dan bisa disetir. Ketika
pilkada sebagai pasar politik, justru yang terbangun di dalamnya adalah
oligarki-oligarki. Oligarki sebagai simpul pasar politik. Oligarki
teralienasi ke seluruh pasar demokrasi kita.
Alhasil, pilkada bak pesta yang
diselenggarakan di hutan rimba. Siapa yang kuat, dia yang memperoleh kursi
kekuasaan. Ketika pilkada seolah-olah diselenggarakan di hutan belantara,
tepatlah apa yang dikemukakan oleh Jeffrey A Winters (2011) bahwa demokrasi
kita ”demokrasi kriminal”.
Selain itu, demokrasi di DKI
mengonfirmasi bahwa rakyat minoritas harus disingkirkan. Di Indonesia,
minoritas acap kali diidentikkan dengan agama dan etnisitas, non-Muslim, dan
non- Jawa. Dalam konteks kekuasaan, kaum minoritas dianggap sebagai ancaman
untuk mengambil alih kekuasaan mayoritas. Maka, kaum mayoritas acap kali
menggunakan isu SARA (suku, agama ras, dan antargolongan), dalam kampanye.
Misalnya, larangan bagi umat Islam untuk memilih pemimpin dari kalangan
non-Muslim.
Politik identitas
Indonesia tentu saja masih
dipercayai dibentuk oleh aspek multikultural, multi-etnisitas, dan
multireligi. Namun, realitas ini hanya berjalan di tatanan kelas atas seperti
cendekiawan, negarawan, dan kaum beragama.
Di aras bawah, aspek tersebut
hanya menjadi benturan yang berakibat pada pengerdilan dan diskriminasi
minoritas. Aspek tersebut belum menyentuh elite-elite politik.
Multi-etnisitas, multireligi malah dianggap sebagai ancaman untuk
melegitimasi kekuasaannya sehingga hak politik kaum minoritas dipinggirkan.
Untuk memperbaiki cermin retak
demokrasi di Pilkada DKI, politik identitas menjadi konsep penting untuk
mengangkat kaum minoritas dalam demokrasi. Politik identitas memberi ruang
kepada kaum minoritas untuk mendapatkan hak-haknya. Politik identitas
mendorong yang minor, yang tertekan, yang subultern berbicara dengan
suara-suara mereka sendiri (Spivak, 1996).
Dalam politik identitas pula,
keberagaman jadi warna-warni dalam kehidupan tanpa harus dikekang hak
politiknya. Politik identitas meniscayakan perbedaan tanpa mencari-cari
persamaan (Budiman, 2010). Dengan begitu, demokrasi dimaknai sebagai proses
untuk mencari pemimpin yang bisa menyatukan perbedaan. Bukan membenturkan
perbedaan karena ketidaksamaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar