Perangkap
Demokrasi Media Sosial
Garin Nugroho ; Budayawan;
Pengajar Pascasarjana di Beberapa PT
|
KOMPAS, 19 November
2016
Dalam diskusi kecil tentang demokrasi dan media sosial, tersimpulkan bahwa
demokrasi era media sosial di masyarakat yang tidak melewati budaya baca
tulis yang kuat menghasilkan euforia penggunaan media sosial atas nama
kebebasan bicara, yang melahirkan demokrasi yang penuh paradoks yang
dampaknya sering tak terkendali.
Sebuah paradoks yang sangat penting dicermati pada era politik
media sosial (medsos) ini. Pertama, Indonesia dengan tingkat budaya membaca
yang rendah menjadikan lemahnya tiga aspek penting nilai demokrasi yang
kritis dan produktif, yakni budaya
berproses, menganalisis, dan mereferensi sebagai syarat demokratisasi
hipermedia.
Kondisi ini menjadi dasar yang rapuh sebuah bangsa ketika
melompat langsung jadi salah satu
bangsa terbesar pengonsumsi medsos yang bekerja dalam percepatan
teknokapitalis. Satu era ketika data
dan informasi bisa dimanipulasi dan dikuasai penyebarannya oleh siapa pun.
Harus dicatat, studi komunikasi budaya menunjukkan Indonesia
mengalami periode awal pergeseran penuh lompatan kultur dialog masalah etnis
hingga religi: dari kultur serba tatap muka jadi serba maya. Sebuah migrasi
penuh guncangan yang kompleks. Lebih jauh lagi, euforia medsos sering
kehilangan filosofi utama demokrasi, yakni kebebasan berbasis pengetahuan,
keterampilan, etika. Gejala ini bisa dilihat dengan gamblang pada perilaku
kubu-kubu pendukung kandidat dalam pilkada DKI Jakarta: saling mem-bully
tanpa etika dengan beragam alasan.
Kedua, salah satu ciri penting demokratisasi medsos adalah
euforia mengelola ruang medsos sebagai representasi psikologi sosial
partisipasi elite politik dalam kehidupan rakyat. Gejala ini bisa dilihat
sekiranya membuka medsos berbagai grup elite politik, sebutlah kelompok wakil
rakyat di DPR, maka terbaca ruang medsos jadi ruang silaturahim nyaman kelompok elite politik. Mereka berbicara
hingga berdebat beragam persoalan, tetapi sering kali tanpa perlu turun
langsung ke kehidupan masyarakat.
Demikian juga, sering kali kinerja menteri lebih pada dampak
penyebaran di medsos, bukan pada kualitas pelayanan warga. Bisa diduga, studi
komunikasi budaya menyebut era medsos sebagai era pemimpin pelayanan medsos ketimbang era
pemimpin pelayanan warga.
Ketiga, kultur teknologi kapitalis medsos yang serba mudah,
cair, dan terbuka serta tersebar melahirkan paradoks tersendiri. Di satu
sisi, bertumbuhnya kedewasaan berdemokrasi yang sangat cair dan terbuka tanpa
memandang usia, agama, hingga kelas sosial. Di sisi lain, terbentang fakta
ketaksiapan serta ketimpangan budaya dalam dialog serba banal di medsos.
Sebuah dialog yang sering tanpa respek, baik respek berbasis usia ataupun
latar belakang sosial hingga religi. Kini lumrah anak muda tanpa bekal sosial
politik memaki atau menghakimi seorang negarawan ataupun agamawan bersahaja.
Pada akhirnya, sekiranya tak dicermati akan melahirkan dampak luka budaya,
sosial, dan politik yang panjang.
Pada tahap selanjutnya, kultur medsos lebih melahirkan haters
dan lovers layaknya kultur dunia hiburan. Maka, kepopuleran sering tak
berkait dengan kualitas, tetapi kemampuan hadir di medsos. Dampak kultur
semacam itu melahirkan massa politik yang hitam-putih, serba berkubu dalam
hukum "benci dan cinta", kehilangan ruang dialog dan kritik pada
kandidatnya sendiri.
Gejala ini bisa, lagi-lagi, dibaca pada pilkada DKI Jakarta.
Pada akhirnya, atmosfer saling membully antarkubu kandidat tak lebih dari
transformasi perkelahian jalanan tanpa bertemu fisik. Harus dicatat,
perkelahian dunia maya ini menjadi muara besar katarsis dalam dunia nyata.
Alhasil, euforia medsos ini sering melahirkan ironi demokrasi,
yakni melahirkan elite politik baru bukan karena pengetahuan, keterampilan politik serta
kenegarawanannya, melainkan kemampuan pameran perhatian mengelola massa dalam
kultur medsos. Sekiranya ini terjadi, medsos bukanlah jalan utama kematangan
demokratisasi dan adabnya, melainkan menjadi riuh rendah demokrasi banal
serba maya dengan dampak pada dunia nyata yang sering tak terkendali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar