Spiritualitas
Keagamaan dan Kekuasaan
Abdul Munir Mulkhan ; Guru
Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta;
Komisioner Komnas HAM 2007–201;
Wasekjen PP Muhammadiyah 2000–2005
|
JAWA POS, 13 November
2016
Nglurug tanpo bolo, menang
tanpo ngasorake (Jawa) atau menyerang tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan
(yang dikalahkan) acap melatari sikap politik penguasa Orde Baru. Kata hikmah
yang populer pada masa Orde Baru itu sering menjadi rujukan para pihak dalam
memahami praktik politik dan kekuasaan. Kalimat penuh nuansa spiritual, luas
tanpa batas, tersebut penting dihidupkan kembali saat warga bangsa ini sedang
berada dalam labirin turbulensi konflik berbau SARA yang amat sensitif.
Suatu saat, tidak lama sesudah
hijrah, ketua kabilah di kawasan Makkah–Madinah, yang selama ini memusuhi
Nabi Muhammad SAW, tertangkap tentara Islam ditahan di Madinah. Nabi
memperlakukan tahanan itu secara istimewa dengan memberi mereka sarapan dari
susu unta sang Rasul.
Setiap Rasul memberi sarapan,
tahanan yang dikenal dengan nama Ibn Ustal itu terus menghina dan merendahkan
dengan berkata, ”Hai Muhammad, tidak perlu kau bersusah payah berdakwah jika
yang kaucari kekuasaan atau kekayaan. Tinggal minta kepadaku, akulah pemilik
kekuasaan dan kekayaan sekitar Madinah ini!”
Hingga suatu hari, Rasul
memerintahkan tahanan tersebut dibebaskan tanpa syarat. Melihat hal itu, Ibn
Ustal terperanjat heran, tidak bisa memahami perlakuan Rasul yang aneh.
Bagaimana mungkin, dirinya yang selama ini memusuhi dan terus menghina Rasul
dibebaskan tanpa syarat. Ibn Ustal berpikir, Muhammad ini bukan manusia
biasa.
Ibn Ustal pun ngeloyor
meninggalkan Masjid Nabawi. Tiba di suatu oase, dia bersuci, berbalik kembali
ke hadapan Nabi. Ibn Ustal berucap: ”Wahai Muhammad, selama ini tidak ada
orang yang paling aku benci di dunia ini, kecuali engkau. Kini aku bersumpah,
wallahi, tidak ada orang di dunia ini yang paling aku cintai, kecuali
engkau.” Ibnu Ustal lalu membaca dua kalimat syahadat.
Kisah tersebut menjadi
pelajaran berharga dalam menghadapi problem politik kebangsaan negeri ini.
Perlakuan manusiawi, ngewongke
(Jawa: memanusiakan) lebih sering mengubah seseorang secara radikal. Semua
terbuka dan menjadi mungkin di hadapan Tuhan Yang Mahagaib.
Tuhan Yang Mahagaib,
mengandaikan ketiadaan padanan kata yang bisa menjelaskan hakikat diri-Nya
yang selalu dalam misteri (laista
kamistlihi syai’un). Perbedaan dan pertentangan melebur menjadi satu saat
bersentuhan dengan-Nya. Inilah puncak spiritualitas ketuhanan yang
memungkinkan semua hal yang ada dalam alam kehidupan ini menjadi tak
bermakna, kecuali diri-Nya sendiri.
Sayang, kita sering
terperangkap cara pandang positivis, kehidupan dipahami sebagai wilayah
materiil habis bagi. Akibatnya, praktik politik dan keagamaan menjadi beku,
gagal memberi ruang para pihak yang berbeda. Klaim kebenaran sekelompok orang
membuat tidak ada pihak lain yang boleh atau mendapat bagian dari kebenaran
serupa. Praktik kekuasaan dan keagamaan materiil positivis membuat hidup
kebangsaan dan keagamaan isolatif, terasing dari dirinya sendiri.
Sementara kehidupan adalah
panta rei, bagai air mengalir tanpa putus dalam ranah spiritual tanpa habis
bagi. Di sini semua orang tanpa batas bisa menempati wilayah yang sama, tanpa
setiap pihak merasa dirugikan, terkurangi, dan tersisihkan.
Ketuhanan universal seharusnya
bisa menjadi rumah bagi semua orang dalam beragam cara pandang dan praktik
ritual. Tuhan Yang Mahabesar sama sekali tidak terkurangi secuil pun
kebesaran-Nya tatkala ada segelintir manusia yang ingkar kepada-Nya.
Kekuasaan politik berbasis ketuhanan seharusnya merupakan rumah bagi semua
orang dalam beragam keyakinan keagamaan dan ideologi politik.
Kekuasaan politik bukan sekadar
wilayah materiil menduduki jabatan presiden, menteri, gubernur, bupati, atau
wali kota. Kekuasaan politik memerlukan ranah spiritual sebagai roh, sebagai
energi yang membuat kekuasaan politik menjadi dinamis, indah, memiliki
vitalitas dan daya hidup, pengikat komunitasnya. Menduduki jabatan bukan
untuk membungkam lawan politiknya. Sebaliknya, kekuasaan adalah harmonisasi
menyatukan beragam komunitas bagi tujuan kemanusiaan yang lebih besar dari
sekadar kepentingan fisik materiil.
Bisakah yang menduduki jabatan
politik memberikan tempat bagi siapa pun, ruang untuk berteduh? Bersediakah
mereka yang meyakini sebagai calon ahli surga menyebarkan kesejukan surgawi
bagi mereka yang ingkar? Melalui kesejukan surgawi itu, mereka yang ingkar
bisa tersentuh sanubari kemanusiaannya untuk berubah menuju hidayah-Nya.
Sementara orang memandang pihak
lain yang ingkar atau diduga ingkar harus dihukum atas keingkarannya. Namun,
perlu disadari, kehidupan adalah wilayah terbuka bagi perubahan karena hanya
Tuhan sendiri yang tetap dan abadi. Sejarah selalu bercerita tentang
orang-orang yang berubah, misalnya kisah Ibn Ustal. Tidak sedikit sejarah
yang mengisahkan orang-orang yang dikenal sebagai pelaku maksiat dan ingkar
lalu berubah menjadi saleh. Kisah serupa bisa dibaca dalam dunia politik
ketika sekelompok orang berubah menjadi pendukung lawan politiknya atau
sebaliknya.
Spiritualitas kekuasaan dan
keagamaan tidak hanya menyediakan ruang bagi semua orang untuk terlibat, tapi
juga meniscayakan peluang perubahan bagi semua orang melalui proses beragam.
Pendekatan dakwah lebih mengedepankan ruang pertobatan dan dialog daripada
menempatkan pihak lain sebagai lawan yang harus dihancurkan.
Di sini pertanyaan ”bersediakah
kita menyerahkan nasib mereka yang ingkar kepada hidayah Tuhan dengan tetap
menjalin hubungan dialogis dengan siapa pun yang berbeda paham keagamaan dan
cara pandang politiknya?” patut diajukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar