Minggu, 03 Agustus 2014

Mewaspadai Keamanan Pangan

                                Mewaspadai Keamanan Pangan

Toto Subandriyo  ;   Praktisi Industri Pangan, Alumnus Bioindustri,
Departemen Teknologi Industri Pertanian, IPB
KORAN SINDO, 02 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Meski semua berubah di negeri ini, ada satu hal yang tak pernah berubah dari tahun ke tahun. Setiap menjelang dan setelah lebaran, para pedagang dan produsen makanan selalu memanfaatkan situasi untuk menangguk keuntungan besar meski dengan cara-cara yang tidak terpuji (moral hazard).

Beberapa hari terakhir media cetak dan elektronik Tanah Air gencar memberitakan beredarnya berbagai jenis makanan yang tidak memenuhi ketentuan keamanan pangan. Mulai daging sapi gelonggongan, ayam tiren (mati kemaren), makanan dengan pewarna dan pengawet yang dilarang, makanan kedaluwarsa, hingga daging celeng (babi hutan) yang dioplos dengan daging sapi.

Tajuk  KORAN SINDO (8/7) berjudul ”Daging Celeng” telah mengulas secara lugas tentang peredaran daging celeng yang dioplos dengan daging sapi pada sejumlah pasar tradisional di Jakarta dan sekitarnya. Menyitir data Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian, bahwa volume penyelundupan daging celeng meningkat sebesar 200% dari tahun lalu. Sepanjang Januari-Juni 2014, volume daging celeng selundupan tercatat sebanyak 35.341 kg.

Secara psikologis, kewaspadaan masyarakat menjelang lebaran seperti saat ini mengendur seiring meningkatnya denyut nadi aktivitas sosial ekonomi. Saat ini kegiatan konsumtif lebih mendominasi kegiatan warga. Pada situasi seperti ini, masyarakat tidak lagi berpikir rasional dalam memenuhi kebutuhan puasa dan lebaran. Bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, situasi seperti ini merupakan peluang empuk untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.

Pangan ASUH

Mau tidak mau, suka tidak suka, pemerintah di semua tingkatan harus segera melakukan upaya untuk melindungi masyarakat dari praktik-praktik tidak terpuji. Melindungi masyarakat dari produk daging sapi yang mengandung cacing hati (Fasciola hepatica), produk makanan berformalin, produk makanan dengan pewarna terlarang Rodamin B dan methanyl yellow, produk makanan kedaluwarsa, produk pangan yang tidak halal, dan sebagainya.

Sesuai aturan, pangan yang diedarkan ke masyarakat haruslah pangan yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Pangan yang aman adalah pangan yang tidak mengandung residu obat-obatan dan bahan pengawet terlarang. Pangan sehat berasal dari sumber yang sehat dan tidak mengalami pencemaran kuman. Pangan utuh murni diperoleh dari hewan ternak sembelihan tertentu tidak tercampur dengan bagian hewan lain.

Sedangkan pangan halal adalah pangan yang sesuai syariat Islam, tidak haram, bukan daging dari hewan mati sebelum disembelih. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan telah menegaskan bahwa setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan, dilarang menggunakan bahan apa pun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga telah mengamanatkan bahwa konsumen mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa. Secara generik, masyarakat memahami keamanan pangan dalam pengertian sempit. Keamanan pangan selalu diidentikkan dengan peristiwa keracunan.

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, mendefinisikan keamanan pangan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah agama.

Pemeriksaan pangan yang gencar dilaksanakan beberapa hari terakhir oleh tim terpadu dari unsur Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, mendapati penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) terlarang. Di antaranya penggunaan formalin sebagai pengawet, Rodamin B dan methanyl yellow sebagai pewarna. Keduanya sangat membahayakan kesehatan manusia.

Formalin merupakan nama dagang dari larutan formaldehid dalam air dengan kadar 30-40% yang berfungsi sebagai pembunuh hama (disinfektan) dan pengawet mayat. Mengonsumsi makanan berformalin secara akut dapat mengakibatkan sakit perut dan kejang, kerusakan hati dan jantung, gangguan sistem syaraf pusat, dan gangguan ginjal.

Rodamin B dan methanyl yellow adalah pewarna tekstil dan dilarang untuk pewarna makanan. Karena warnanya sangat menarik, produsen kue, penjual cendol, es sirup, dan kerupuk, sering menggunakan pewarna ini sebagai daya pemikat. Padahal, zat pewarna ini dapat menyebabkan gangguan hati, kandung kemih, saluran pencernaan, dan jaringan kulit. Sedangkan methanyl yellow dapat menyebabkan iritasi pada mata, paru-paru, tenggorokan, dan usus.

Untuk konsumsi bahan pangan segar, peredaran daging gelonggongan dipastikan akan semakin marak mendekati lebaran. Daging ini diperoleh dari sapi yang sebelum disembelih dipaksa minum air sebanyak-banyaknya menggunakan pompa bertekanan tinggi (jet pump). Praktik tidak terpuji ini dilakukan agar lambung dan sistem pencernaan sapi penuh dengan air, tonase daging menjadi berlipat.

Satu kilogram daging gelonggongan setara dengan 0,7 kilogram daging normal. Daging ini kualitasnya sangat rendah, karena kadar air yang tinggi secara tidak wajar akan merusak kandungan protein dan zat-zat gizi lainnya, serta mudah busuk. Untuk membedakan, permukaan daging gelonggongan selalu basah oleh air sampai ke serat-seratnya, sedangkan daging normal hanya lembap di permukaannya.

Tingkat keasaman (pH) daging gelonggongan bisa di atas 6, sedangkan daging normal berkisar 5,3-5,8. Penjual daging gelonggongan tidak berani menjual daging tersebut dengan digantung, karena air yang telah digelonggong akan menetes.

Sanksi Hukum

Harus selalu ada pihak-pihak yang tak bosan mengingatkan kepada masyarakat untuk tetap waspada. Kewaspadaan yang tinggi tersebut diperlukan agar masyarakat konsumen terlindungi dan memperoleh hak-hak normatif mereka secara wajar. Langkah cepat dan tegas harus segera dilakukan untuk mencegah berbagai kecurangan para pedagang pangan ini. Langkah cepat ini setidaknya ditujukan untuk tiga alasan.

Pertama, memberikan rasa aman dan nyaman terhadap konsumen dalam mengonsumsi makanan. Kedua, melindungi produsen yang benar-benar jujur dari kebangkrutan karena omzet yang menurun drastis akibat beredarnya khabar dan praktik-praktik usaha yang tidak sehat. Ketiga, memberikan sanksi hukum yang tegas bagi para pelanggar ketentuan dan para produsen nakal.

Produk pangan yang membahayakan kesehatan manusia harus segera ditarik dari peredaran dan dimusnahkan. Langkah penegakan hukum menjadi kata kunci agar para produsen yang bertindak nakal tidak mengulangi perbuatannya.

Penegakan hukum yang lemah membuat berbagai kasus keamanan pangan selalu mencuat ke wacana publik, membuat heboh masyarakat sejenak, masuk peti es, dan heboh kembali setelah muncul kasus serupa. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar