Oposisi
Anak Sah Sistem Demokrasi
W Riawan Tjandra ;
Pengajar Hukum Kenegaraan
pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 01 Agustus 2014
Dalam
negara demokrasi, jika ada kekuasaan yang memerintah maka sah pula kehadiran
kekuasaan yang beroposisi.
Di
Amerika Serikat, Australia, Inggris, bahkan Malaysia dan pada umumnya di
negara-negara demokrasi, kehadiran kekuatan oposisi telah menjadi pranata demokrasi
yang sangat penting. Ajaran klasik Lord Acton bahwa “power tends to corrupt, but
absolute power corrupts absolutely“ selalu menjadi sebuah inspirasi yang
tak kunjung usang untuk dijadikan sebagai pegangan untuk membangun sistem
pemerintahan demokratis.
Harus
dicegah suatu kekuasaan menjadi absolut, apalagi sebuah kekuasaan diklaim
sebagai “populis” tak luput dari potensi korup dan bisa mengalami pembusukan
politik (political decay), jika
tanpa suatu kontrol politik. Hanya kekuasaan Sang Ilahi saja yang absolut dan
tak beroposisi, karena kodratnya yang tak bisa salah dan serba-maha. Oposisi
dalam dunia politik berarti partai penentang di dewan perwakilan yang
menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang
berkuasa.
Opposition
lazim diterjemahkan menjadi oposisi. Kata itu berasal dari bahasa Latin
oppnere, yang berarti menentang, menolak, melawan. Nilai konsep, bentuk,
cara, dan alat oposisi itu bervariasi. Nilainya antara kepentingan bersama
sampai pada kepentingan pribadi atau kelompok. Sejauh kekuasaan itu dibangun
oleh (sekumpulan) manusia, niscaya berpotensi melakukan kesalahan dan
memiliki sejumlah kelemahan.
Sebaik
apa pun sistem demokrasi dibangun, selalu memiliki potensi melakukan
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power) dan bisa bertindaksewenang-wenang (willekeurig). Di titik inilah urgensi hadirnya sebuah kekuasaan
oposisi. Langkah-langkah sebagian elite politik yang di masa kompetisi
pilpres menamakan diri sebagai “koalisi merah putih” dan kemudian membentuk
“koalisi permanen” adalah sebuah keniscayaan serta merupakan hal yang sah
dalam sistem demokrasi.
Tak
perlu ada keraguan dan bahkan mengharamkan kekuasaan oposisi jika suatu
negara menisbatkan dirinya sebagai sebuah negara demokrasi. Di era pemerintahan
SBY dan Partai Demokrat berkuasa di parlemen, meskipun masih terlihat
“setengah hati”, PDIP menamakan dan memosisikan dirinya sebagai partai
oposisi. Dengan demikian, tak perlu mendikotomikan hadirnya kekuatan oposisi
dengan sistem presidensial. Lebih salah kaprah lagi jika hadirnya kekuatan
oposisi dianggap sebagai suatu gangguan terhadap pemerintah.
Oposisi
dalam parlemen selain merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem parlemen
demokratis, jika berkaca pada pengalaman negara-negara demokrasi modern,
hadirnya kekuatan oposisi dalam parlemen berdampak terhadap paling sedikit
tiga hal. Pertama, meningkatkan kualitas kebijakan dan fungsi parlemen yang
dihasilkan melalui perdebatan-perdebatan dalam pelaksanaan fungsi legislasi,
pengawasan dan penganggaran.
Kedua,
melalui checks and balances di
dalam tubuh parlemen, kekuasaan parlemen dicegah menjadi absolut dan hanya
“membebek” terhadap pendapat eksekutif. Konstitusi tak pernah mengharamkan
kekuatan oposisi karena sistem oposisi merupakan salah satu ciri dari negara
demokrasi konstitusional. Dan ketiga, kekuatan oposisi dalam tubuh parlemen,
jika benar-benar mampu menjadi kekuatan penyeimbang, justru akan meningkatkan
kualitas pengawasan parlemen terhadap eksekutif.
Kekuasaan
eksekutif yang cenderung berpotensi menjadi birokratis, tanpa pengawalan
sebuah kekuatan oposisi akan cenderung menjadi stagnan. Kekuatan oposisi
dalam pola parlemen di AS di antara Partai Republik dan Partai Demokrat,
justru dapat mendorong eksekutif di AS menghasilkan kebijakan-kebijakan di
dalam maupun luar negeri yang akuntabel dan controllable.
Demokrasi
sejati selalu bertumpu atas konsensus dan disensus. Hal itu dijustifikasi
oleh tesis Zizek mengenai asas logika perbedaan minimal yang senantiasa
menghadirkan sudut pandang baru pada setiap fase kehidupan. Dalam demokrasi
modern, pembatasan kuasa negara perlu dimanifestasikan dalam sebuah sistem
yang memungkinkan kekuatan oposisi berperan untuk memantau kualitas
bekerjanya eksekusi kebijakan.
Maka,
hakikat keabsahan tindakan publik yang harus digantungkan pada norma sebuah
undang-undang yang dihasilkan oleh parlemen, sejatinya adalah legitimasi
politik yang mengandaikan afirmasi rakyat dalam sistem demokrasi perwakilan.
Kekuatan oposisi mencerminkan pluralitas rakyat yang tak harus selalu
menyanjung-nyanjung dan bermanis muka di hadapan pemimpinnya.
Justru
rakyat melalui wakilnya di parlemen harus melaksanakan kontrol kritis
terhadap kuasa eksekutif yang memiliki mandat yang sebangun dengan fungsi
berbeda dengan kuasa legislatif yang masing-masing mendapat otoritas dari
amanah rakyat, Hadirnya oposisi sebagai kuasa “negativitas” dalam sistem
parlemen merepresentasi realitas dari apa yang oleh Laclau dikatakan bahwa
masyarakat tak dapat dan tak mungkin dibentuk secara total, ia selalu retak,
berubah, dan mengalami disintegrasi.
Dalam
pandangan Zizek, keretakan struktur dalam realitas sosiopolitik adalah
sesuatu yang tak terhindarkan, bahkan dalam suatu masyarakat yang diatur oleh
rezim totaliter sekalipun. Dalam posisi ini subjek-subjek secara politik
selalu harus diposisikan sebagai pergerakan antara yang simbolik terhadap
yang riil.
Oleh
karena itu, kehadiran oposisi dalam sistem demokrasi adalah upaya subjek
untuk mengaktualisasikan makna demokrasi hakiki yang salah satunya ditandai
oleh sebuah relasi yang bergerak antara konsensus dan disensus, checks and balances, dan harmoni-disharmoni,
Terlepas dari hal itu sebuah kuasa akan menjadi totaliter dan absolut. Tak
satu undang-undang pun mengharamkan oposisi, karena disadari bahwa salah satu
komponen negara demokrasi yang membedakannya dengan negara non-demokrasi
adalah eksisnya unsur oposisi.
Karena,
oposisi dapat menjadi kekuatan pengontrol dan penyeimbang jalan pelaksanaan
pemerintahan dalam suatu negara, sehingga pemerintahan dan negara dapat
dicegah untuk tidak terjerumus ke dalam keadaan abuse of power. Oleh sebab itu, oposisi adalah salah satu elemen
penting untuk membangun negara demokrasi yang kuat. Dari sudut pandang
penting mekanisme checks and balances,
oposisi semestinya tidak perlu dicemaskan dan kemudian menjadi takut untuk
menerima kehadirannya.
Justru,
adanya kekuatan oposisi dapat menjaga pelaksanaan negara demokrasi berjalan
dengan baik dan demokratis. Beroposisi politik berarti melakukan kegiatan
pengawasan atas kekuasaan politik yang bisa keliru dan bisa benar. Ketika
kekuasaan menjalani kekeliruan, oposisi berfungsi mengabarkan kepada publik
kekeliruan itu sambil membangun penentangan dan perlawanan atasnya.
Sebaliknya,
ketika kekuasaan menjalankan fungsinya secara benar, maka oposisi
menggarisbawahinya sambil membangun kesadaran dan aksi publik untuk meminta
kelanjutan dan konsistensi dari praktik kebenaran itu. Maka, sama mulianya
dengan kuasa yang memerintah, kuasa oposisi juga mengabdi pada mandat rakyat
untuk mencegah kekuasaan berkembang menjadi tirani dan mencederai rakyat,
sang pemilik sejati kekuasaan dalam negara demokrasi.
Akhirnya,
selamat memerintah dan selamat beroposisi bagi para pemegang mandat rakyat di
eksekutif dan parlemen! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar