Kabinet
Profesional, Utopia atau Kenyataan?
Ikrar Nusa Bhakti ; Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Agustus 2014
KEMENANGAN pasangan calon presiden/calon
wakil presiden nomor urut 2 JokoWidodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) pada
pemilu presiden 9 Juli 2014 merupakan kemenangan rakyat. Rakyat Indonesia
dari golongan `sandal jepit' sampai ke kelas paling atas memberikan dukungan
yang signifikan pada kemenangan Jokowi-JK. Rakyat menyambut datangnya angin
perubahan di negeri ini.
Lima tahun ke depan, 2014-2019,
dapat dikatakan juga sebagai era revolusi harapan-harapan rakyat yang
meningkat. Bukan hanya para pelaku ekonomi, khususnya pelaku pasar modal,
yang bereaksi positif atas kemenangan Jokowi-JK, kalangan rakyat jelata dan
bahkan kalangan artis pun menyambut gembira kemenangan tokoh yang mendukung
ekonomi kreatif ini.
Seorang artis muda, Cinta
Laura, yang baru saja menyelesaikan kuliahnya di Columbia University, New
York, Amerika Serikat, berani mengatakan: “Indonesia akan maju, sukses, dan
sejahtera kalau pemimpinnya jujur!“ (Media Indonesia, 10 Juli 2014). Cinta
Laura hanya satu dari ratusan artis Indonesia yang secara gegap gempita
mendukung pasangan Jokowi-JK. Sherina, artis yang secara terbuka menulis di
Twitter-nya `Akhirnya Pilih Jokowi' dan Abdee Slank yang mampu menggerakkan
ratusan artis untuk konser musik akbar Dua Jari di Gelora Bung Karno pada 5
Juli 2014 ialah medan magnet yang juga membawa kemenangan Jokowi-JK. Mereka
tidak mengharapkan balas budi apa pun kecuali ingin melihat Indonesia maju,
sukses, dan rakyatnya sejahtera.
Pemimpin yang jujur tidak akan
mampu membangun negeri ini jika tidak dibantu para menteri yang
kepemimpinannya kuat, jujur, punya rekam jejak yang baik, tidak pernah
tersangkut pelanggaran hak-hak asasi manusia, tidak pernah menjadi terpidana
dalam kasus korupsi, mampu memimpin kementerian, dan menjadi manajer yang
baik. Seorang pemimpin bukan saja dalam hubungan atasan bawahan, melainkan
juga seorang pemimpin yang dalam posisi horizontal mampu meyakinkan para
pengikutnya akan adanya impian bersama yang harus dicapai, dan bagaimana
menggerakkan para pengikutnya untuk mencapai impian bersama tersebut.
Para anggota kabinet bukan
hanya mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, melainkan juga
pemerataan pertumbuhan. Kebutuhan dasar rakyat, yaitu pendidikan dan
kesehatan, merupakan hal yang paling penting untuk dituntaskan pada masa-masa
awal pemerintahan Jokowi-JK. Pembangunan infrastruktur, persoalan perizinan,
pembebasan tanah untuk kebutuhan publik, menjadikan Indonesia sebagai poros
maritim dunia ialah hal-hal yang juga harus dikerjakan dalam lima tahun
mendatang. Renegosiasi antara pemerintah Indonesia dan para perusahaan
tambang asing juga tugas yang harus dijalankan pemerintahan Jokowi-JK
mendatang. Presiden terpilih Jokowi juga berjanji untuk membantu setiap
keluarga miskin Rp1 juta sebulan, jika pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai
7% atau lebih per tahun. Ini bukanlah impian semusim. Jika dirinci lebih
lanjut, ada sembilan janji politik Jokowi-JK yang termaktub di dalam
`Nawacita' yang harus dicapai dalam lima tahun mendatang. Janji-janji politik
itu merupakan `utang politik' yang harus dibayar Jokowi-JK kepada seluruh
rakyat Indonesia, dan bukan hanya kepada para pemilih mereka.
Agar janji-janji politik mereka
benar-benar terwujud, Jokowi-JK harus didukung para anggota kabinet yang
benar-benar berdedikasi penuh untuk kemajuan bangsa. Akankah tim impian
kabinet profesional ini benar-benar terwujud, ataukah ini utopia semata?
Hanya waktu yang akan menjawabnya.
Kabinet profesional
Terminologi `kabinet
profesional', mirip dengan `zaken kabinet', `kabinet kerja', `kabinet karya',
atau `kabinet ahli'. Terminologi politik itu di Indonesia muncul pertama
kalinya ketika Presiden Soekarno membubarkan Kabinet Ali Sastroamidjojo II
pada 1957 yang anggotanya sebagian besar terdiri atas elite partaipartai
politik dan memerintahkan Ir Djuanda untuk membentuk zaken kabinet yang
terdiri atas `golongan fungsional/ karya ABRI' dan `golongan fungsional/karya
nonABRI'. Elite-elite parpol dikesampingkan dalam kabinet ahli tersebut
karena dipandang terlalu banyak berdiskusi dan rapat, kurang kerja nyata.
Sejak itu, zaken kabinet
menjadi terminologi politik yang membedakan secara hitam putih antara kabinet
yang anggotanya bukan berasal dari parpol dan kabinet yang anggotanya berasal
dari partai-partai politik.
Di era Orde Baru dan juga era
reformasi, termi nologi zaken kabinet atau kabinet ahli kerap kali muncul
kembali, seakan mereka yang `ahli' hanya berasal dari kalangan ABRI, PNS,
cendekiawan, akademisi, organisasi kemasyarakatan yang tidak berafiliasi
dengan partai politik atau individu yang memiliki reputasi internasional. Mereka
yang berasal dari partai politik dinilai sebagai individu-individu yang lebih
mengutamakan kepentingan individu dan partai, dan bukan bekerja untuk
kepentingan bangsa.
Di era reformasi yang sudah
berusia 16 tahun ini, sepatutnya dikotomi antara kabinet ahli dan kabinet
yang berasal dari parpol dihilangkan. Seorang yang dianggap ahli atau
profesional bisa saja berasal dari kalangan par tai atau nonpartai.
Persoalannya bukan pada apakah seseorang itu menjadi anggota parpol,
melainkan para profesionalisme dirinya. Akademisi nonparpol pun belum tentu
memiliki keahlian, kepemimpinan, kejujuran, atau kecakapan manajerial yang
lebih baik daripada seorang yang berasal dari kalangan parpol. Selain itu,
mereka yang menjadi terpidana korupsi dalam 10 tahun terakhir ini juga bukan
hanya menteri yang berasal dari kalangan parpol, me lainkan juga akademisi
yang tidak menduduki jabatan menteri, tetapi memiliki jabatan penting di
berbagai lembaga pemerintah.
Karena itu, kabinet profesional
yang dibangun Jokowi-JK haruslah memadukan sumber daya manusia yang berasal
dari parpol dan nonpar pol. Karena kecurigaan masyarakat kebanyakan terhadap
parpol masih kuat, perbandingan di dalam kabinet bisa 70% nonparpol dan 30%
dari parpol. Agar pemerintahan ini bergerak secara dinamis, ada baiknya juga
agar 70% anggota kabinet berusia di bawah 50 tahun dan hanya 30% yang di atas
50 tahun.
Screening oleh rakyat
Di era Orde Baru, Presi den
Soeharto menerima nama-nama menteri dari berbagai sumber. Nama-nama calon
menteri itu sudah mengalami screening politik dari Badan Koordinasi Intelijen
Negara (Bakin) yang sekarang disebut BIN. Presiden Soeharto tidak serta-merta
mengangkat nama-nama yang disodorkan menjadi menteri, tetapi juga menyebut
nama-nama baru dan mengamati sepak terjang politik mereka, rekam jejak
mereka, dan juga profesionalisme mereka. Karena itu, jangan heran jika di era
Orde Baru jarang sekali Presiden Soeharto melakukan penggantian kabinet di
tengah jalan, seperti yang terjadi di era Presiden Abdurrahman Wahid atau
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Di era Presiden Yudhoyono,
penggantian kabinet atau pengurangan jatah menteri dari satu parpol tidak
saja disebabkan kurang kapa belnya sang menteri, tetapi juga karena hukuman
terhadap parpol asal sang menteri yang dianggap bertentangan dengan kebijakan
politik Presiden Yudhoyono. Seorang menteri yang bukan dari parpol bisa juga
diganti karena tidak profesional.
Presiden terpilih Joko Widodo
mem buat era baru dalam memilih calon men teri. Meskipun presiden tetap
memiliki hak prerogatif dalam menentukan para menterinya, rakyat sebagai
pemilih dan pemilik kedaulatan diberi kesempatan untuk mengusulkan nama-nama
men teri yang mereka anggap kapabel. Na mun, ini bukan berarti bahwa tidak
ada nama titipan atau adanya orang-orang yang ingin dicantumkan namanya men
jadi calon menteri. Dalam politik yang serbaterbuka ini, praktik memasukkan
nama kerabat atau kelompoknya tentunya masih terjadi.
Namun, satu hal penting yang
dilakukan Jokowi, ia ingin agar rakyat menilai, meneliti latar belakang
seseorang, rekam jejaknya, dan profesionalismenya, sebelum orang tersebut
dipilih menjadi anggota kabinet Jokowi-JK.
Dengan kata lain, rakyat dapat
melakukan screening langsung terhadap calon menterinya. Jika pilihan rakyat
ternyata masuk kabinet, tentunya rakyat juga akan mendukung
kebijakankebijakan kementerian mereka yang prorakyat dan akan mengawal para
menteri tersebut jika sang menteri berhadapan dengan DPR.
Bukan suatu utopia
Membentuk kabinet profesional
yang benar benar tim impian (the dream
team) bukanlah su atu yang muluk yang tidak mungkin terbentuk. The dream team dapat terbentuk jika
masukan masyarakat benar-benar atas dasar penilaian yang objektif dan bukan
didasari kepentingan politik atau ekonomi kelompoknya.
Pada 4 Agustus 2014 ini
presiden terpilih Jokowi akan membentuk tim transisi untuk menyiapkan
transisi pemerintahan dari Presi den Yudhoyono ke presiden Joko Widodo pada
20 Oktober mendatang. Jokowi-JK tentunya juga akan berembuk dengan
partai-partai koalisi untuk membentuk tim pemburu (the head hunter) untuk menemukan orang-orang terbaik di negeri
ini yang pantas duduk di kabinet.
Semua itu harus selesai sebelum
20 Ok tober 2014 saat presiden Joko Widodo dan wakil presiden Jusuf Kalla
dilantik. Meskipun Jokowi-JK menurut undang-undang harus membentuk kabinet 14
hari setelah pelan tikan, bukan mustahil pada 20 Oktober itu kabinet sudah
terbentuk pada sore harinya agar sejak hari pertama pemerintahan Jokowi-JK
sudah langsung bekerja.
Kita belum tahu apakah akan ada
partai lain dari kubu Prabowo-Hatta yang me nyeberang ke kubu Jokowi-JK.
Partai partai politik pendukung Prabowo Hatta memang sudah terkunci melalui
deklarasi koalisi permanen yang mereka tanda tangani. Namun, politik itu dinamis
dan tidak statis. Bisa saja Partai Golkar, PPP, atau PAN menyeberang ke
Jokowi-JK jika terjadi perubahan kepemimpinan di partai-partai tersebut
melalui musyawarah nasional atau muktamar nasional yang dilakukan
partai-partai tersebut sebelum 20 Oktober 2014. Tanpa adanya Munas Golkar
atau Muk tamar PPP atau PAN, tampaknya elite di partai-partai tersebut merasa
sung kan dengan Prabowo Subianto untuk meninggalkan koalisi permanen.
Kita semua berharap, kabinet
yang akan terbentuk benar-benar sesuai dengan harapan rakyat, tim impian yang
dapat membawa Indonesia maju, sukses, berdikari, mampu berkompetisi dalam
percaturan politik internasional, mampu bersaing secara ekonomi, dan
berkeadilan terhadap segenap anak-anak bangsa tanpa memandang suku, agama,
ras, atau golongan. Itulah impian kita bersama sebagai anak-anak bangsa
Indonesia, jayalah negeri kita! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar