Sabtu, 09 Agustus 2014

Kabinet Profesional, Utopia atau Kenyataan?

Kabinet Profesional, Utopia atau Kenyataan?

Ikrar Nusa Bhakti  ;  Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI
MEDIA INDONESIA, 04 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

KEMENANGAN pasangan calon presiden/calon wakil presiden nomor urut 2 JokoWidodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) pada pemilu presiden 9 Juli 2014 merupakan kemenangan rakyat. Rakyat Indonesia dari golongan `sandal jepit' sampai ke kelas paling atas memberikan dukungan yang signifikan pada kemenangan Jokowi-JK. Rakyat menyambut datangnya angin perubahan di negeri ini.
Lima tahun ke depan, 2014-2019, dapat dikatakan juga sebagai era revolusi harapan-harapan rakyat yang meningkat. Bukan hanya para pelaku ekonomi, khususnya pelaku pasar modal, yang bereaksi positif atas kemenangan Jokowi-JK, kalangan rakyat jelata dan bahkan kalangan artis pun menyambut gembira kemenangan tokoh yang mendukung ekonomi kreatif ini.
Seorang artis muda, Cinta Laura, yang baru saja menyelesaikan kuliahnya di Columbia University, New York, Amerika Serikat, berani mengatakan: “Indonesia akan maju, sukses, dan sejahtera kalau pemimpinnya jujur!“ (Media Indonesia, 10 Juli 2014). Cinta Laura hanya satu dari ratusan artis Indonesia yang secara gegap gempita mendukung pasangan Jokowi-JK. Sherina, artis yang secara terbuka menulis di Twitter-nya `Akhirnya Pilih Jokowi' dan Abdee Slank yang mampu menggerakkan ratusan artis untuk konser musik akbar Dua Jari di Gelora Bung Karno pada 5 Juli 2014 ialah medan magnet yang juga membawa kemenangan Jokowi-JK. Mereka tidak mengharapkan balas budi apa pun kecuali ingin melihat Indonesia maju, sukses, dan rakyatnya sejahtera.
Pemimpin yang jujur tidak akan mampu membangun negeri ini jika tidak dibantu para menteri yang kepemimpinannya kuat, jujur, punya rekam jejak yang baik, tidak pernah tersangkut pelanggaran hak-hak asasi manusia, tidak pernah menjadi terpidana dalam kasus korupsi, mampu memimpin kementerian, dan menjadi manajer yang baik. Seorang pemimpin bukan saja dalam hubungan atasan bawahan, melainkan juga seorang pemimpin yang dalam posisi horizontal mampu meyakinkan para pengikutnya akan adanya impian bersama yang harus dicapai, dan bagaimana menggerakkan para pengikutnya untuk mencapai impian bersama tersebut.
Para anggota kabinet bukan hanya mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, melainkan juga pemerataan pertumbuhan. Kebutuhan dasar rakyat, yaitu pendidikan dan kesehatan, merupakan hal yang paling penting untuk dituntaskan pada masa-masa awal pemerintahan Jokowi-JK. Pembangunan infrastruktur, persoalan perizinan, pembebasan tanah untuk kebutuhan publik, menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia ialah hal-hal yang juga harus dikerjakan dalam lima tahun mendatang. Renegosiasi antara pemerintah Indonesia dan para perusahaan tambang asing juga tugas yang harus dijalankan pemerintahan Jokowi-JK mendatang. Presiden terpilih Jokowi juga berjanji untuk membantu setiap keluarga miskin Rp1 juta sebulan, jika pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 7% atau lebih per tahun. Ini bukanlah impian semusim. Jika dirinci lebih lanjut, ada sembilan janji politik Jokowi-JK yang termaktub di dalam `Nawacita' yang harus dicapai dalam lima tahun mendatang. Janji-janji politik itu merupakan `utang politik' yang harus dibayar Jokowi-JK kepada seluruh rakyat Indonesia, dan bukan hanya kepada para pemilih mereka.
Agar janji-janji politik mereka benar-benar terwujud, Jokowi-JK harus didukung para anggota kabinet yang benar-benar berdedikasi penuh untuk kemajuan bangsa. Akankah tim impian kabinet profesional ini benar-benar terwujud, ataukah ini utopia semata? Hanya waktu yang akan menjawabnya.
Kabinet profesional
Terminologi `kabinet profesional', mirip dengan `zaken kabinet', `kabinet kerja', `kabinet karya', atau `kabinet ahli'. Terminologi politik itu di Indonesia muncul pertama kalinya ketika Presiden Soekarno membubarkan Kabinet Ali Sastroamidjojo II pada 1957 yang anggotanya sebagian besar terdiri atas elite partaipartai politik dan memerintahkan Ir Djuanda untuk membentuk zaken kabinet yang terdiri atas `golongan fungsional/ karya ABRI' dan `golongan fungsional/karya nonABRI'. Elite-elite parpol dikesampingkan dalam kabinet ahli tersebut karena dipandang terlalu banyak berdiskusi dan rapat, kurang kerja nyata.
Sejak itu, zaken kabinet menjadi terminologi politik yang membedakan secara hitam putih antara kabinet yang anggotanya bukan berasal dari parpol dan kabinet yang anggotanya berasal dari partai-partai politik.
Di era Orde Baru dan juga era reformasi, termi nologi zaken kabinet atau kabinet ahli kerap kali muncul kembali, seakan mereka yang `ahli' hanya berasal dari kalangan ABRI, PNS, cendekiawan, akademisi, organisasi kemasyarakatan yang tidak berafiliasi dengan partai politik atau individu yang memiliki reputasi internasional. Mereka yang berasal dari partai politik dinilai sebagai individu-individu yang lebih mengutamakan kepentingan individu dan partai, dan bukan bekerja untuk kepentingan bangsa.
Di era reformasi yang sudah berusia 16 tahun ini, sepatutnya dikotomi antara kabinet ahli dan kabinet yang berasal dari parpol dihilangkan. Seorang yang dianggap ahli atau profesional bisa saja berasal dari kalangan par tai atau nonpartai. Persoalannya bukan pada apakah seseorang itu menjadi anggota parpol, melainkan para profesionalisme dirinya. Akademisi nonparpol pun belum tentu memiliki keahlian, kepemimpinan, kejujuran, atau kecakapan manajerial yang lebih baik daripada seorang yang berasal dari kalangan parpol. Selain itu, mereka yang menjadi terpidana korupsi dalam 10 tahun terakhir ini juga bukan hanya menteri yang berasal dari kalangan parpol, me lainkan juga akademisi yang tidak menduduki jabatan menteri, tetapi memiliki jabatan penting di berbagai lembaga pemerintah.
Karena itu, kabinet profesional yang dibangun Jokowi-JK haruslah memadukan sumber daya manusia yang berasal dari parpol dan nonpar pol. Karena kecurigaan masyarakat kebanyakan terhadap parpol masih kuat, perbandingan di dalam kabinet bisa 70% nonparpol dan 30% dari parpol. Agar pemerintahan ini bergerak secara dinamis, ada baiknya juga agar 70% anggota kabinet berusia di bawah 50 tahun dan hanya 30% yang di atas 50 tahun.
Screening oleh rakyat
Di era Orde Baru, Presi den Soeharto menerima nama-nama menteri dari berbagai sumber. Nama-nama calon menteri itu sudah mengalami screening politik dari Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) yang sekarang disebut BIN. Presiden Soeharto tidak serta-merta mengangkat nama-nama yang disodorkan menjadi menteri, tetapi juga menyebut nama-nama baru dan mengamati sepak terjang politik mereka, rekam jejak mereka, dan juga profesionalisme mereka. Karena itu, jangan heran jika di era Orde Baru jarang sekali Presiden Soeharto melakukan penggantian kabinet di tengah jalan, seperti yang terjadi di era Presiden Abdurrahman Wahid atau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Di era Presiden Yudhoyono, penggantian kabinet atau pengurangan jatah menteri dari satu parpol tidak saja disebabkan kurang kapa belnya sang menteri, tetapi juga karena hukuman terhadap parpol asal sang menteri yang dianggap bertentangan dengan kebijakan politik Presiden Yudhoyono. Seorang menteri yang bukan dari parpol bisa juga diganti karena tidak profesional.
Presiden terpilih Joko Widodo mem buat era baru dalam memilih calon men teri. Meskipun presiden tetap memiliki hak prerogatif dalam menentukan para menterinya, rakyat sebagai pemilih dan pemilik kedaulatan diberi kesempatan untuk mengusulkan nama-nama men teri yang mereka anggap kapabel. Na mun, ini bukan berarti bahwa tidak ada nama titipan atau adanya orang-orang yang ingin dicantumkan namanya men jadi calon menteri. Dalam politik yang serbaterbuka ini, praktik memasukkan nama kerabat atau kelompoknya tentunya masih terjadi.
Namun, satu hal penting yang dilakukan Jokowi, ia ingin agar rakyat menilai, meneliti latar belakang seseorang, rekam jejaknya, dan profesionalismenya, sebelum orang tersebut dipilih menjadi anggota kabinet Jokowi-JK.
Dengan kata lain, rakyat dapat melakukan screening langsung terhadap calon menterinya. Jika pilihan rakyat ternyata masuk kabinet, tentunya rakyat juga akan mendukung kebijakankebijakan kementerian mereka yang prorakyat dan akan mengawal para menteri tersebut jika sang menteri berhadapan dengan DPR.
Bukan suatu utopia
Membentuk kabinet profesional yang benar benar tim impian (the dream team) bukanlah su atu yang muluk yang tidak mungkin terbentuk. The dream team dapat terbentuk jika masukan masyarakat benar-benar atas dasar penilaian yang objektif dan bukan didasari kepentingan politik atau ekonomi kelompoknya.
Pada 4 Agustus 2014 ini presiden terpilih Jokowi akan membentuk tim transisi untuk menyiapkan transisi pemerintahan dari Presi den Yudhoyono ke presiden Joko Widodo pada 20 Oktober mendatang. Jokowi-JK tentunya juga akan berembuk dengan partai-partai koalisi untuk membentuk tim pemburu (the head hunter) untuk menemukan orang-orang terbaik di negeri ini yang pantas duduk di kabinet.
Semua itu harus selesai sebelum 20 Ok tober 2014 saat presiden Joko Widodo dan wakil presiden Jusuf Kalla dilantik. Meskipun Jokowi-JK menurut undang-undang harus membentuk kabinet 14 hari setelah pelan tikan, bukan mustahil pada 20 Oktober itu kabinet sudah terbentuk pada sore harinya agar sejak hari pertama pemerintahan Jokowi-JK sudah langsung bekerja.
Kita belum tahu apakah akan ada partai lain dari kubu Prabowo-Hatta yang me nyeberang ke kubu Jokowi-JK. Partai partai politik pendukung Prabowo Hatta memang sudah terkunci melalui deklarasi koalisi permanen yang mereka tanda tangani. Namun, politik itu dinamis dan tidak statis. Bisa saja Partai Golkar, PPP, atau PAN menyeberang ke Jokowi-JK jika terjadi perubahan kepemimpinan di partai-partai tersebut melalui musyawarah nasional atau muktamar nasional yang dilakukan partai-partai tersebut sebelum 20 Oktober 2014. Tanpa adanya Munas Golkar atau Muk tamar PPP atau PAN, tampaknya elite di partai-partai tersebut merasa sung kan dengan Prabowo Subianto untuk meninggalkan koalisi permanen.
Kita semua berharap, kabinet yang akan terbentuk benar-benar sesuai dengan harapan rakyat, tim impian yang dapat membawa Indonesia maju, sukses, berdikari, mampu berkompetisi dalam percaturan politik internasional, mampu bersaing secara ekonomi, dan berkeadilan terhadap segenap anak-anak bangsa tanpa memandang suku, agama, ras, atau golongan. Itulah impian kita bersama sebagai anak-anak bangsa Indonesia, jayalah negeri kita!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar