Window
Time dan Pembajakan
Kemala Atmojo ;
Pengamat Industri Perfilman
|
TEMPO.CO,
11 Maret 2014
Ada yang
mengejutkan dalam industri perfilman Indonesia, yakni tiadanya Rencana Induk Perfilman
Nasional (RIPN). Sudah berpuluh tahun industri ini berjalan tanpa arah yang
jelas. Pertanyaannya, terutama bagi pemerintah, apakah industri ini dianggap
penting atau tidak penting? Kalau memang tidak penting, pemerintah memang
tidak perlu repot-repot membuat Rencana Induk. Lalu untuk apa ada
undang-undang tentang film dan direktorat film di sebuah kementerian? Tapi,
jika memang dianggap penting, mau tak mau Rencana Induk harus segera dibuat.
Syukurlah,
saya dengar usaha untuk membuat RIPN ini mulai bergulir di Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Beberapa kali Kacung Marijan, Direktur Jenderal
Kebudayaan Kemdikbud, menyatakan keinginannya untuk membuat RIPN. Hal ini
memang sesuai dengan bunyi Pasal 52 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang
Perfilman: "Pemerintah bertugas
menyusun, menetapkan, dan mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan dan rencana
induk perfilman nasional dengan memperhatikan masukan dari badan perfilman
Indonesia."
Penyusunan
RIPN tentulah harus dimulai dari identifikasi masalah. Soal ini, dengan mudah
setiap insan perfilman kita dapat menyebutkan bahwa hampir di semua lini kita
memiliki kelemahan: sumber daya manusia, skenario, riset, produksi, promosi,
ekshibisi, pembiayaan, dokumentasi, dan teknologi. Lalu, di semua sektor
tersebut, perlu dilakukan penelitian awal agar kita mendapat gambaran dan
pegangan yang jelas untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya.
Namun,
selain hal-hal mendasar seperti tersebut di atas, perlu juga diingat
karakteristik bisnis dari industri ini. Sebut saja dalam hal peredaran film.
Bisnis peredaran film cukup unik dan tidak mudah untuk dicarikan padanannya
dalam perdagangan umum komoditas lain. Bisnis film mencakup banyak sisi
komersial, yang secara umum memang menjadi orientasi utama perdagangan, tapi
juga memiliki aspek eksklusivitas sebagai karya cipta yang bersifat arbitrer
dan tidak dapat dipahami dengan kacamata komersial saja.
Sebuah
film mempunyai beberapa format dalam eksploitasinya: theatrical, home video,
pay TV, cable TV, public TV, Internet TV, dan lain-lain. Format eksploitasi
ini tampaknya perlu disadari dan dipegang teguh agar membawa hasil yang
maksimal bagi pemilik hak ciptanya. Di dunia perfilman, urutan prioritas
dalam rangkaian eksploitasi tersebut disebut sebagai window time. Artinya, selama suatu film sedang berada dalam tahap
eksploitasi theatrical-nya, maka
kegiatan eksploitasi dalam prioritas berikutnya harus ditunda dulu sampai
eksploitasi di tahap yang sedang berlangsung selesai. Mekanisme window time
inilah yang menjamin maksimalisasi hasil eksploitasi film. Mekanisme window time mempunyai implikasi
eliminasi persaingan antar substitusi format penyajian film.
Dengan
pengaturan prioritas format penayangan, diharapkan eksploitasi suatu film
tidak akan mengalami persaingan kanibalistik yang akan merugikan pemegang hak
cipta film. Dengan begitu, secara sengaja telah dilakukan eliminasi
persaingan antar-judul yang sama dalam format yang berbeda. Maka penting
sekali bagi para produser untuk memperhatikan, memegang teguh, dan menjaga
prinsip window time ini agar dapat
memaksimalkan eksploitasi ekonomi filmnya.
Celakanya,
dan ini satu problem lain lagi, masalah pembajakan di negeri ini belum
sepenuhnya dapat diberantas. Maka, dengan maraknya produk DVD ilegal hasil
pembajakan di pasar, hal itu sebenarnya telah meniadakan kebijakan window
time film. Dengan demikian, terjadi penggerogotan pasar bioskop oleh pasar
DVD bajakan. Proses ini sebenarnya bukan sekadar pelanggaran hak cipta film,
namun juga masuk ke dalam wilayah persaingan yang tidak sehat antara sektor
usaha legal dan yang ilegal. Dampak lanjutannya adalah menurunnya potensi
pasar bioskop. Penurunan pasar ini pada gilirannya akan menjadi entry barrier
bagi siapa saja yang hendak membuka usaha perbioskopan secara nasional.
Kesimpulannya,
pekerjaan rumah insan perfilman Indonesia memang cukup banyak. Salah satunya:
stop pembajakan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar