Sembrono
Agus Dermawan T ;
Kritikus Seni
|
TEMPO.CO,
11 Maret 2014
Sikap
ketidakhati-hatian atau sembrono sudah menjadi virus. Ekses dari kesembronoan
itu sudah ribuan kali tercontohkan dalam kisah nyata. Yang paling aktual
tentulah terbakarnya hutan dengan asap yang bikin pengap negara tetangga;
kecelakaan bertubi di jalan raya; gudang amunisi militer meledak;
terbongkarnya skandal seks; serta tertangkapnya berderet pejabat birokrasi
dan hukum sebagai pelaku korupsi.
Dalam
jagat Jawa ada perkataan, "Sing
sembrana, kelara-lara" (Yang
tidak berhati-hati akan sakit dalam tempo lama). Pada era sebelum
1970-an, piwulang (pengajaran) ini sering saya jumpai
dalam bentuk poster kecil bertulis huruf Jawa di ruang-ruang publik rakyat,
seperti warung kopi, tukang cukur, serta ruang tamu kamituwo atau lurah.
Belum
lama ini Indonesia dihebohkan oleh pengunduran diri Anggito Abimanyu sebagai
dosen di Universitas Gajah Mada. Langkah itu merupakan bentuk tanggung jawab
atas kesembronoannya dalam mempublikasikan artikel Gagasan Asuransi Bencana
di sebuah harian, edisi 10 Februari 2014. Seperti diakui, artikel itu
ternyata adalah plagiasi dari karangan Hotbonar Sinaga dan Munawar Kasan, yang
pernah dimuat di harian yang sama delapan tahun sebelumnya.
Kesembronoan besar Anggito diteruskan oleh Judi Latif dalam kadar yang
lebih kecil. Dalam Kompas 11 Februari 2014, Judi menulis analisis politik
berjudul Visi Indonesia Raya II. Di situ dikatakan bahwa lagu Ibu Pertiwi
diciptakan oleh Kamsudi Samsuddin pada dekade 1950-1960. Padahal, lagu itu
diciptakan oleh Charles Crozat Converse pada 1876 dengan judul What a Friend We Have in Jesus. Yapi
Tambayong (alias Remy Sylado) dalam Ensiklopedi Musik (1992) bahkan
menjelaskan bahwa, secara hukum, hak cipta lagu ini dipegang oleh Biglow
& Main. Lagu tersebut sudah diterjemahkan dalam bahasa Melayu pada
1930-an oleh P.H. Pouw dari penerbit Christian & Missionary Alliance, di
Makassar. Secarik surat pembaca dari "orang awam" bahkan mengajari
Judi bahwa pencipta syairnya adalah Joseph Medlicott Certiver (1820-1886).
Kesalahan mendasar tersebut telah berkali-kali dikoreksi sejak Koes
Hendratmo melakukan kekeliruan yang sama dalam acara "Berpacu dalam
Melodi" pada 1990. Jadi, masyarakat sah apabila beranggapan mustahil
seorang Judi Latif tidak tahu. Kecuali, pengamat politik yang cerdas itu
sedang berlaku sembrono, dengan sikap meremehkan pengetahuan budaya dan seni.
Pada
awal Maret lalu, pelukis Srihadi Soedarsono merayakan kawin-emas bersama
istri satu-satunya, pelukis Farida. Ketika saya bertanya mengenai resep yang
membikin perkawinannya bertahan, profesor seni ini menjawab. "Lakoni hidup aja sembrana."
Sikap "jangan sembrono" itu memang membawa namanya dalam kebesaran.
Masyarakat menaruh hormat, sehingga ketika dalam resepsi sebuah lukisannya
yang berukuran sedepa dilelang untuk disumbangkan ke Yayasan Kick Andy, angka
Rp 1,6 miliar pun terbilang. Pemenang lelang itu, pengusaha Ismail Sofjan,
berkata: "Meski sangat ekspresif,
lukisan ini lahir dari kecermatan, dari kedalaman, dari kehati-hatian."
Atau, jauh dari kesembronoan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar