Waspadai
Gerakan Mengubur Century
Bambang Soesatyo; Anggota Tim
Pengawas Penyelesaian Kasus Bank Century DPR RI
|
KORAN
SINDO, 03 Maret 2014
|
Beredar
selentingan kabar, Istana ingin agar kasus Century kelar sebelum pemerintahan
ini berakhir. Ditawarkan, Boediono mundur, tapi Century tutup buku. Jujur,
saya meragukan kabar miring ini.
Tapi,
kalau informasi itu benar, harus dilawan. Tidak boleh lagi bangsa ini
disandera oleh kasus-kasus yang tidak tuntas karena barter politik atau
praktik transaksional. Kesan ada perlawanan yang kuat dari pihak-pihak
tertentu pada hari-hari ini, termasuk ada berbagai gerakan yang dibungkus
dalam bentuk seminar dan diskusi ekonomi yang dilakukan kelompok-kelompok
tertentu, sulit dihindari.
Mereka
mencoba melindungi pelaku utama dari skandal keuangan terbesar pascareformasi
tersebut dengan berbagai argumen ekonomi yang mengelabui dan membodohi
rakyat. Entah kenapa, mereka terus berupaya. Mulai dari menjegal kehadiran
Boediono ke DPR hingga mengaburkan substansi bahwa kebijakan FPJP maupun bailout pada Bank Century itu untuk
menyelamatkan ekonomi Indonesia.
Hebatnya
lagi, mereka kini tanpa malu-malu berusaha membalikkan faktafakta
penyimpangan dan keganjilan yang terjadi baik dalam proses pemberian FPJP
maupun bailoutkepada Bank Century. Mereka lupa bahwa KPK telah meningkatkan
kasus tersebut ke penyidikan karena ada tindak pidana korupsi dan
penyalahgunaan wewenang. BPK bahkan telah menghitung besaran kerugian negara.
Tidak hanya Rp6,76 triliun, tapi ditambah FPJP Rp689,3 miliar sehingga total
kerugian negara Rp7,4 triliun.
Harus
diakui, proses hukum kasus Bank Century di KPK memang berjalan lambat, namun
setahun belakangan ini masyarakat bisa melihat ada kemajuan yang luar biasa.
Setidak-tidaknya diawali dengan penetapan tersangka terhadap dua mantan
deputi Gubernur BI, Budi Mulya (BM) sebagai mantan deputi V Bidang Pengawasan
BI dan Siti Chalimah Fadjriah (SCF) sebagai mantan deputi IV Bidang
Pengelolaan Moneter Devisa BI.
Kemajuan
lanjutan juga terlihat pada langkah KPK memeriksa mantan menkeu Sri Mulyani
di Washington, Amerika Serikat. Dia diperiksa dalam kapasitas sebagai ketua
Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK). Bersama Sri Mulyani, KPK juga
memeriksa sejumlah orang dan komisi antikorupsi itu melukiskan rangkaian
hasil pemeriksaan ini sebagai sangat produktif.
Menurut dugaan saya, jika BAP Sri Mulyani kelak dibuka di pengadilan,
publik pasti akan geger karena konon menyentuh nama keramat. KPK
juga sudah menggeledah markas BI dan menyita sejumlah dokumen, memeriksa
puluhan saksi termasuk Jusuf Kalla, serta meminta pendapat ahli. Lalu, apakah
kita masih bebal dan berkilah bahwa kebijakan pemberian FPJP dan bailout adalah perbuatan yang mulia?
Masihkah
kita tidak malu mengatakan bahwa kebijakan tersebut untuk menyelamatkan
ekonomi Indonesia? Seperti kita ketahui hampir lima tahun sudah megaskandal
penyelamatan Bank Century (kini Bank Mutiara) mengemuka di ruang publik.
Selama hampir empat tahun sejak rapat paripurna DPR awal 2010 yang
memerintahkan proses hukum atas kasus tersebut, keputusan politik itu tidak
dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Rakyat
melihat sendiri bahwa proses hukum atas kasus itu jalan di tempat alias tanpa
kemajuan signifikan. Akibat itu, muncul kesan bahwa pemerintah dan institusi
penegak hukum tidak memiliki kemauan politik menuntaskan kasus tersebut.
Terlebih inisiatif untuk percepatan proses hukum kasus itu selalu ditentang
oleh kekuatan politiktertentu. Contohnya, tiap kali dimunculkan inisiatif
bagi perpanjangan masa tugas Tim Pengawas (Timwas) DPR untuk proses hukum
kasus tersebut, selalu saja muncul perlawanan.
Inisiatif
Timwas DPR untuk memanggil dan mendengarkan keterangan dari pihak lain
termasuk Boediono yang relevan pun seringkali dicibir. Intinya, ada ketakutan
dari kalangan tertentu dalam menghadapi kemungkinan kemunculan banyak fakta
baru yang berkaitan dengan megaskandal tersebut. Sampai-sampai anggota Dewan
Pertimbangan Presiden pun ikut-ikutan ”carmuk” atau cari muka dengan
mengatakan bahwa pemanggilan Boediono ke DPR oleh Timwas Century tidak
relevan.
Ikut campurnya Wantimpres, menolak pemanggilan mantan Gubernur BI
Boediono oleh DPR terkait Kasus Century, semakin mempertegas ada pihak-pihak
mahapenting yang merasa ketakutan Boediono bicara terbuka di Timwas Century
DPR. Itulah
barangkali yang menjelaskan mengapa banyak pihak terus berupaya membangun
opini bahwa persoalan kasus Bank Century di DPR telah selesai dan serahkan
saja ke KPK.
Mereka
tahu pemeriksaan di KPK sesuai aturan hukum acara dilakukan tertutup.
Padahal, pemanggilan Boediono tersebut secara substansial adalah dua hal yang
berbeda dan tidak saling memengaruhi. Pemanggilan
DPR bertujuan meminta konfirmasi atas pernyataan yang berbeda sekaligus
memperjelas siapa sesungguhnya aktor intelektual Skandal Century. Dia sebagai
gubernur BI ketika itu atau ada pihak lain yang lebih tinggi.
Lebih
dari itu, kehadiran Boediono diharapkan dapat meluruskan sejumlah spekulasi
negatif yang berkembang di masyarakat. Timwas sangat menyayangkan sikap
Boediono yang tidak bertanggung jawab dan tidak bersikap ksatria itu.
Seharusnya tidak perlu takut datang ke DPR jika dirinya merasa benar tanpa
harus dihadirkan secara paksa.
DPR
memerlukan keterangannya untuk kepentingan bangsa dan negara sebagaimana
diatur dalam Pasal 72 dalam UU MD3 No 27 Tahun 2009. Seorang pejabat negara
bisa dipanggil paksa jika keterangannya diperlukan untuk kepentingan bangsa
dan negara. Keterangan Boediono penting dan sangat dibutuhkan, terutama
terkait soal pernyataannya yang menuding bahwa pihak yang bertanggung jawab
atas membengkaknya bailout Rp632
miliar menjadi Rp6,76 triliun adalah LPS.
Sementara
LPS sesuai UU bertanggung jawab ke Presiden. Pertanyaannya, kenapa baru
sekarang Boediono menembak Presiden dan ingin menyeret Presiden dalam pusaran
skandal Century? Apakah itu pertanda bahwa Boediono seperti juga halnya Sri
Mulyani, tidak mau dikorbankan sendirian? Wallahualam.
Tindak Pidana Korupsi
Skandal
Bank Century merupakan penyelewengan pada pemberian Fasilitas Pinjaman Jangka
Pendek (FPJP) dari Bank Indonesia dan penalangan atau bailout dari Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS). Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyerahkan
laporan hasil perhitungan (LHP) kerugian negara dari kasus Bank Century ke
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)akhir 2013 atas permintaan KPK.
BPK
menyimpulkan bahwa pemberian Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) sebesar
Rp689,394 miliar dan bailoutRp6,742 triliun merupakan kerugian negara.
Terkait kasus ini, KPK telah menetapkan tersangka dua mantan deputi Gubernur
Bank Indonesia, Budi Mulya dan Siti Chalimah Fadjrijah. Secara politik kasus
bailout Bank Century telah dinyatakan DPR RI sebagai penyimpangan.
Keputusan
ini diambil pada 3 Maret 2010 dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat
melalui sebuah proses voting terbuka. Sebanyak 315 anggota DPR menyetujui
opsi C yang menyatakan proses pemberian FPJP dan bailout pada Bank Century
menyimpang, mengalahkan 212 anggota DPR pendukung opsi A yang menganggap
tidak ada persoalan pada proses tersebut. Kini dalam waktu yang tidak terlalu
lama lagi kasus tersebut akan memasuki babak baru.
Pertama,
berani dan punya nyalikah Polri menghadirkan paksa Boediono yang kini wakil
presiden ke DPR atas perintah UU. Untuk menjawab misteri di balik kata-kata
Boediono bahwa pihak yang bertanggung jawab atas membengkaknya bailout dari
Rp632 miliar menjadi Rp6,7 triliun adalah LPS?
Kedua, akan
terbukakah seluruh kesaksian dalam BAP di KPK yang menyebut secara gamblang
pihak-pihak yang terlibat termasuk aktor intelektual yang diduga paling
menikmati dana bailout Bank Century di pengadilan Budi Mulia beberapa pekan
mendatang? Kita tunggu saja.
Paling tidak, hasil pemilu legislatif 9 April 2014 dan pemilu
presiden/wakil presiden 9 Juli 2014 mendatang akan ikut menentukan, apakah
aktor intelektual skandal Bank Century tersebut akan tetap melenggang bebas
atau terlibas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar