Titik
Balik Malaysia Airlines
Ismatillah A Nu’ad ;
Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
|
JAWA
POS, 11 Maret 2014
PESAWAT
Malaysia Airlines Boeing MH370 yang jatuh di perairan Vietnam menjadi pusat
pemberitaan media massa di seluruh dunia. Siaran Al Jazeera dan CNN,
misalnya, memberitakan secara detail kronologi kecelakaan pesawat milik
penerbangan resmi Malaysia itu. Kasus tersebut sekaligus mengingatkan kita
pada berbagai kecelakaan pesawat terbang komersial yang dialami industri
pesawat di Indonesia.
Peristiwa
Malaysia Airlines itu menjadi titik balik bahwa perlu ada reformasi industri
pesawat terbang. Selama ini, kesan yang ditangkap publik, arah kebijakan
politik transportasi yang dibuat legislatif dan dijalankan pemerintah di
negeri ini masih sangat kendur. Artinya, kebijakan transportasi belum cukup
komprehensif dan masih riskan dengan berbagai bentuk manipulasi. Hal itu bisa
dilihat, misalnya, dalam tragedi kecelakaan pesawat sebelumnya. Banyak
informasi yang beredar bahwa industri transportasi pesawat kita kerap membeli
pesawat eks pakai dari negara lain, lalu dipermak hingga menjadi seperti
barang bagus, lantas dijadikan barang industri dalam negeri.
Melihat
kondisi pesawat semacam itu, jangan tanya soal legalisasi, birokrasi kita
masih sangat gampang dipermainkan. Proses perizinan dipastikan berjalan
lancar, asalkan politik uang bermain. Histori semacam itulah yang sering menjadi
penyebab tidak becusnya dunia transportasi pesawat di Indonesia.
Bermula
dari kendur dan rapuhnya sistem deregulasi industri pesawat, industri pesawat
komersial di Indonesia jadi tidak keruan. Bahkan, Garuda Indonesia sebagai
industri pesawat komersial milik badan usaha milik negara (BUMN) sempat
dilarang (ban) terbang ke Eropa
seperti ke Belanda dan lain-lain.
Meski,
akhirnya otoritas Uni Eropa kini sudah memperbolehkan lagi beberapa maskapai
penerbangan Indonesia melintas di langit Eropa. Empat maskapai yang boleh
kembali melintas adalah Garuda Indonesia, Airfast Indonesia, Mandala
Airlines, dan Primer Air. Mereka diperbolehkan setelah memperbaiki standar
keamanan penerbangan internasional.
Uni
Eropa pernah melarang beberapa maskapai penerbangan Indonesia karena maraknya
kecelakaan pesawat yang terjadi. Mulai hilangnya pesawat Adam Air di perairan
Sulawesi, 1 Januari 2007, hingga kecelakaan pesawat Garuda pada tahun yang
sama yang menewaskan 21 orang serta tragedi kecelakaan pesawat lainnya.
Semestinya
dalam industri pesawat komersial di Indonesia diberlakukan standar keamanan
penerbangan internasional, bukan lokal, untuk menjamin keselamatan penumpang.
Tingginya biaya standar keamanan internasional ditengarai ikut memicu
terjadinya industri pesawat nasional ogah mengikuti prosedur sehingga
mengakibatkan banyaknya ''manipulasi'' keamanan pesawat. Karena itulah,
kalangan legislatif dan pemerintah -melihat seringnya kasus kecelakaan dan
manipulasi yang dilakukan industri- harus segera membenahi sistem
deregulasinya yang masih sangat karut-marut.
Kondisi
semacam itu mungkin juga tidak bisa dilepaskan dari tidak adanya cetak biru (blue print) sistem transportasi
nasional. Kalaupun ada, sifatnya belum komprehensif. Bukan cuma kalangan
legislatif dan pemerintah, namun juga birokrasi di bawahnya seperti
Kementerian Perhubungan, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Bappenas, serta seluruh pemerintah daerah yang belum terkoordinasi
secara teratur.
Sebagaimana
lazimnya, pada dasarnya, dalam dunia bisnis, upaya untuk memperoleh
keuntungan yang sebesar-besarnya merupakan perilaku yang sudah dianggap
wajar. Tetapi, langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut semestinya
harus tetap berada dalam koridor yang diperbolehkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Kondisi
itu tentu tidak hanya membatasi perilaku sektor swasta, tetapi juga berlaku
untuk negara dalam hal negara bertindak sebagai pelaku usaha seperti dalam
kasus BUMN. Meski demikian, tentu ada sektor-sektor tertentu yang oleh undang-undang
memang diberi monopoli karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Misalnya,
PLN.
Ditambah,
perkembangan bisnis angkutan udara di Indonesia merupakan salah satu sektor
yang pertumbuhannya sangat tinggi, termasuk pertambahan jumlah armada
pesawat. Semestinya pertumbuhan itu juga didukung pertumbuhan beberapa sektor
industri lain yang terkait, termasuk sumber daya manusia (SDM) dan
deregulasinya.
Investor
yang berencana mendirikan perusahaan penerbangan baru harus memahami besarnya
kebutuhan finansial. Kecukupan modal sangat dibutuhkan untuk mengoperasikan
pesawat yang sehat dan terawat dalam rangka menjamin keselamatan dan
keamanan. Sesuai dengan Undang-Undang Penerbangan terbaru, sebuah maskapai
berjadwal wajib mengoperasikan sedikitnya sepuluh pesawat dengan perincian
lima dimiliki dan sisanya dikuasai.
Melihat
pasar industri penerbangan yang terus tumbuh, kiranya perlu ada harmonisasi
kebijakan dan aksi antara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (DJU), INACA
(Indonesia Air Carrier Association),
PGHI (Persatuan Ground Handling
Indonesia), serta PT Angkasa Pura (AP) I dan PT Angkasa Pura (AP) II.
Sebab, otoritas penerbangan kita pernah menjadi yang terburuk di dunia saat
semua pesawat yang dikeluarkan DJU dilarang terbang melintasi Eropa.
Untuk
meningkatkan kualitas layanan dan keselamatan penerbangan, kebijakan merger
antara perusahaan asing dan industri penerbangan komersial domestik,
misalnya, perlu dilakukan. Tujuannya, mampu menghadapi liberalisasi
penerbangan di Asia Tenggara dan keluar dari keterpurukan finansial yang
belakangan ini melanda dunia penerbangan domestik. Merger dianggap sebagai
jalan keluar untuk menghindari semakin banyaknya maskapai penerbangan
nasional yang terus rontok dan akhirnya membahayakan penumpang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar