Menakar
Tanggung Jawab Kasus Century
Eddy OS Hiariej ;
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
|
KOMPAS,
11 Maret 2014
PERKARA
kebijakan talangan (bail out) Bank
Century memasuki babak baru menyusul persidangan perdana kasus a quo dengan terdakwa Budi Mulya
selaku Deputi Gubernur Bank Indonesia saat kebijakan talangan diambil.
Dalam
dakwaan disebutkan Budi Mulya bersama Boediono selaku Gubernur BI, dan deputi
gubernur BI lain yang menjabat saat itu, terlibat dalam pemberian fasilitas
pendanaan jangka pendek (FPJP) sebesar Rp 689,39 miliar. Masih menurut
dakwaan, bail out Bank Century
sebagai bank gagal yang berdampak
sistemik
merugikan keuangan negara sebesar Rp 7,45 triliun dengan rincian FPJP sebesar Rp 689,39
miliar dan penyertaan modal sementara (PMS) sebesar Rp 6,76 triliun.
Menurut
jaksa, pembengkakan PMS yang semula Rp 632 miliar menjadi Rp 6,76 triliun
karena data yang digunakan BI untuk menghitung kebutuhan dana tidak akurat
dan tidak menggunakan data terkini. Dalam dakwaan, nama Boediono disebut
sampai 67 kali sehingga menimbulkan pertanyaan sampai sejauh mana tanggung
jawab Boediono dalam perkara a quo.
Terpisah
Dalam
konteks hukum pidana, perlu dipahami bahwa ada pemisahan antara perbuatan
pidana dan pertanggungjawaban pidana. Seseorang yang melakukan perbuatan
pidana belum tentu dijatuhi pidana, tergantung apakah orang tersebut dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana ataukah tidak.
Akan
tetapi, seseorang yang dijatuhi pidana sudah pasti telah melakukan perbuatan
pidana dan kepadanya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Dalam
konteks hukum pidana pula, pertanggungjawaban dapat disamakan dengan
kesalahan dalam pengertian yang luas.
Ada tiga
elemen dalam kesalahan yang bersifat kumulatif. Artinya, seseorang dinyatakan
bersalah dan kepadanya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana jika
memenuhi ketiga elemen tersebut.
Pertama,
kemampuan bertanggung jawab. Kedua, adanya sikap batin antara pelaku dan
perbuatan pidana yang dilakukan. Sikap batin ini melahirkan dua bentuk
kesalahan, yaitu kesengajaan dan kealpaan. Syarat kesengajaan adalah weten en wilen (mengetahui dan
menghendaki), sedangkan syarat kealpaan adalah kurang adanya kehati-hatian
atau kurang adanya penduga-dugaan.
Ketiga,
tidak ada alasan penghapus pertanggungjawaban pidana yang secara garis besar
dibagi menjadi alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar
menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan yang meliputi perintah jabatan,
perintah undang-undang, pembelaan terpaksa, dan keadaan darurat. Sementara
alasan pemaaf menghapuskan sifat dapat dicelanya pelaku yang teridiri dari
kemampuan bertanggung jawab, pembelaan terpaksa yang melampaui batas,
perintah jabatan yang tidak sah, dan daya paksa.
Pada dasarnya, bail out Bank
Century adalah suatu kebijakan yang dapat diadili dalam konteks hukum pidana
jika kebijakan tersebut dijadikan sebagai pintu masuk untuk melakukan
kejahatan. Hal ini tentunya harus dibuktikan dengan ajaran kausalitas dalam
hukum pidana bahwa antara kebijakan dan kejahatan tersebut merupakan satu
rangkaian terjadinya suatu tindak pidana.
Selain
itu, ada aji mumpung (moral hazard)
dalam pengambilan kebijakan tersebut. Secara gamblang, WPJ Pompe dalam Handboek Van Het Nederlandse Strafrecht
menyatakan bahwa dalam hukum pidana yang dipersoalkan tidak hanya kesalahan
yuridis, tetapi juga moral hazard
dalam melakukan suatu perbuatan. Moral
hazard berkaitan erat dengan sikap batin seseorang dalam melakukan suatu
perbuatan dan tentunya tidak mudah dibuktikan.
Oleh
karena itu, dengan menggunakan teori kesengajaan yang diobyektifkan, moral hazard dapat terlihat dari
kesesuaian fakta-fakta atas dasar bukti yang valid. Di samping itu pula,
kebijakan tersebut melanggar peraturan. Pengertian peraturan di sini sangat
luas. Tidak harus melanggar undang-undang, tetapi cukup melanggar peraturan
perundang-undangan lainnya termasuk peraturan yang dibuat oleh pejabat publik
atau suatu lembaga negara.
Pembuktian tiga elemen
Bila bail out Bank Century dihubungkan
dengan ketiga elemen kesalahan sebagaimana diurakain di atas, dapat tidaknya
Boediono dimintai pertanggungjawaban pidana bisa dilihat dari hal sebagai berikut.
Pertama,
perihal elemen kemampuan bertanggung jawab, kiranya tidak perlu dibahas lebih
lanjut bahwa Boediono memiliki kecakapan bertindak, terlebih dalam
kapasitasnya sebagai ahli ekonomi. Kedua, terkait adanya sikap batin antara
pelaku dan perbuatan yang dilakukan yang dapat berbentuk kesengajaan ataukah
kealpaan. Mengenai adanya unsur kealpaan haruslah
dikesampingkan karena Pasal 2 ayat (1) ataupun Pasal 3 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mensyaratkan adanya bentuk kesalahan
berupa kealpaan, melainkan secara implisit mensyaratkan bentuk kesalahan
berupa kesengajaan.
Persoalan
lebih lanjut yang harus dibuktikan sebagaimana dalam dakwaan bahwa
pembengkakan PMS yang semula Rp 632 miliar menjadi Rp 6,76 triliun karena
data yang digunakan BI untuk menghitung kebutuhan dana tidak akurat dan tidak
menggunakan data terkini. Apakah ketidakakuratan data diketahui ataukah tidak
oleh Boediono sebagai Gubernur BI?
Jika
ketidakakuratan data sebagai dasar pengambilan keputusan diketahui, maka
unsur kesengajaan telah terbukti. Sebaliknya, jika ketidakakuratan data
sebagai dasar pengambilan keputusan tidak diketahui, maka sesungguhnya
Boediono berada dalam feitelijke
dwaling (kesesatan fakta). Dalam konteks teori, feitelijke dwaling adalah salah satu kesesatan
dalam kesengajaan yang dapat tidak dijatuhi pidana.
Ketiga,
elemen tidak adanya alasan penghapus pertanggungjawaban pidana, baik alasan
pembenar maupun alasan pemaaf. Bail out
Bank Century selalu dikaitkan dengan bank gagal berdampak sistemik dan pada
saat itu berada dalam situasi krisis ekonomi. Hal ini harus dibuktikan lebih
lanjut, apakah jika Bank Century tidak di-bail
out akan terjadi krisis luar biasa seperti tahun 1998 ataukah tidak.
Bila
kegagalan Bank Century tidak berdampak sistemik seperti yang diwacanakan,
maka ada moral hazard dalam
kebijakan bail out tersebut.
Sebaliknya, bila kegagalan Bank Century berdampak sistemik dan jika tidak di-bail out akan menimbulkan kerugian
yang lebih besar, berarti kebijakan tersebut diambil dalam keadaan darurat
sebagai suatu alasan pembenar.
Dalam keadaan darurat berlaku prinsip necessitas non habet legem yang berarti keadaan darurat tidak
mengenal hukum. Dengan demikian, sifat melawan hukumnya suatu
perbuatan pidana dapat dikesampingkan.
Terakhir
yang perlu menjadi catatan bahwa disebutkannya nama Boediono sebanyak 67 kali
dalam dakwaan Budi Mulya tidak serta-merta berarti Boediono dapat dituntut
pertanggungjawabannya secara pidana. Jika penyebutan nama Boediono hanya
untuk merekonstruksi dugaan tindak pidana sebagai suatu rangkaian perbuatan,
maka keberadaan nama Boediono hanyalah saksi yang perlu didengarkan
keterangannya dalam perkara a quo.
Akan
tetapi, jika penyebutan nama Boediono dalam konteks delik penyertaan bersama
Budi Mulya, maka Boediono dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana
dengan terlebih dulu membuktikan dua hal sebagai syarat delik penyertaan.
Pertama, adanya meeting of mind
(kesepakatan) atau paling tidak adanya saling pengertian antara Budi Mulya
dan Boediono sebagai perwujudan niat untuk melakukan kejahatan (subyektif
penyertaan). Kedua, adanya kerja sama yang nyata antara Budi Mulya dan
Boediono dalam melakukan kejahatan (obyektif penyertaan). Subyektif dan
obyektif penyertaan adalah dua hal mutlak yang harus dibuktikan dalam delik
penyertaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar