Tentang
Negarawan Sejati
A
Zaini Bisri ; Wartawan
Suara Merdeka, Mahasiswa S-3 Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 01 Maret 2014
AKHIR-AKHIR ini banyak orang
membicarakan tentang kebutuhan bangsa Indonesia terhadap sosok negarawan.
Figur negarawan dipersepsikan sebagai tokoh bangsa yang mampu mengatasi
krisis multidimensi dalam lingkup domestik dan internasional, dari
kemiskinan, korupsi, dan penegakan hukum hingga kedaulatan bangsa dan tata
dunia baru yang lebih adil.
Contoh negarawan kita yang hampir tanpa
perdebatan adalah Mohammad Hatta. Selain dia sebagai tokoh pendiri bangsa (founding father), Bung Hatta juga
terkenal karena sikapnya yang selalu mengutamakan kepentingan bangsa di atas
segalanya. Konon, Hatta pula yang pada 1945 membujuk tokoh-tokoh Islam agar
mau berbesar hati menghapus tujuh kata dari Piagam Jakarta agar tidak
menyinggung perasaan orang-orang Nasrani dari perwakilan Indonesia timur.
Dalam konteks global, Pericles dari
Yunani, Abraham Lincoln, dan Winston Churhill dianggap sebagai
negarawan-negarawan besar dalam sejarah. Setidak-tidaknya itulah penilaian J
Rufus Fears, guru besar Amerika yang mendalami sejarah kebebasan manusia.
Lincoln selalu memperjuangkan hak-hak
rakyat Amerika pada masa perang saudara. Churchill, meski dikritik karena
nasihatnya tentang imperialisme, dia berhasil meyakinkan rakyat Inggris bahwa
imperialisme itu pada akhirnya akan membebaskan penduduk negeri jajahan dari
belenggu keterbelakangan.
Untuk kondisi Indonesia saat ini,
lebih-lebih menjelang suksesi kepemimpinan nasional lewat Pemilu 2014, wacana
tentang ”darurat negarawan” mencuat
sejalan dengan krisis yang dialami Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK
baru-baru ini yang membatalkan Perppu MK (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014)
memicu perdebatan tentang persyaratan ideal seorang hakim konstitusi.
Jimly Asshiddiqie mengatakan, hakim
konstitusi harus seorang negarawan yang bebas dari konflik kepentingan, bukan
politikus. Menurut mantan ketua MK itu, status negarawan mutlak karena MK
bertugas memutus sengketa pemilu, di samping menafsirkan undang-undang sesuai
kehendak konstitusi.
Putusan MK yang menggugurkan
persyaratan calon hakim konstitusi harus bebas dari keanggotaan partai politik
minimal tujuh tahun, dikhawatirkan akan merusak kepercayaan publik terhadap
lembaga negara pengawal UUD 1945 itu. Bukan hanya itu, putusan tersebut
dianggap sebagai pintu masuk bagi politikus untuk mendistorsi setiap
ketetapan hukum yang merugikan dirinya atau partainya.
Syarat
Negarawan
Secara etimologis, menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, negarawan diartikan sebagai seseorang yang ahli mengurus
negara. Dia pemimpin politik yang taat asas menyusun kebijakan negara dengan
suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan bijak dan
berwibawa. Pemimpin politik itu bisa menyandang jabatan negara atau tanpa
jabatan di pemerintahan.
Dalam Encyclopaedia Britannica
disebutkan, negarawan (states-man)
adalah orang yang berpengalaman menjalankan prinsip-prinsip pemerintahan.
Negarawan juga diartikan sebagai seseorang yang a wise, skillful, and respected political leader (bijak, terampil, dan pemimpin politik yang
dihormati).
Menurut Rufus Fears (Brett & Kate
McCay, 2012), ada empat syarat untuk menjadi negarawan sejati. Syarat-syarat
itu meliputi prinsip yang kuat, moral yang teruji, visi yang jelas, dan
kemampuan membuat konsensus untuk mewujudkan visi itu. Syarat keempat, yaitu
kemampuan menciptakan konsensus, membedakan seorang negarawan dari politikus.
Bisa saja seorang politikus memiliki prinsip, moral, dan visi, namun dia
tidak memiliki kemampuan meracik konsensus.
Seorang negarawan bisa mengubah
kebijakan dan cara untuk menjalankan kebijakannya, tapi dia tidak akan keluar
dari prinsip-prinsip yang dipegangnya dalam jangka panjang. Moral politikus
tergantung persepsi publik. Seorang politikus akan selalu berusaha
menyenangkan dan memenuhi kebutuhan konstituennya. Dia bertindak atas apa
yang menjadi aspirasi masyarakat. Negarawan, masih kata Fears, bertindak atas
dasar keyakinannya tentang apa yang dianggapnya benar. Dia tidak diperintah
oleh hasil jajak pendapat publik.
Visi seorang negarawan sangat jelas
tentang bagaimana dan ke mana negara dan rakyatnya harus melangkah. Dia tahu
keinginan dan caranya untuk membawa negara dan bangsa ke arah yang
dicita-citakan.
Dalam membuat konsensus, negarawan akan
menggiring dan mengondisikan rakyat untuk mengikuti gagasannya. Berbeda dari
politikus yang mengandalkan iklan dan propaganda, yang oleh Fears disebut
sebagai ”alat-alat tiran”,
negarawan akan mengandalkan kekuatan argumentasi dan kata-katanya. Untuk itu,
negarawan biasanya seorang penulis gagasan yang andal dan orator yang ulung.
Melihat kriteria terakhir itu,
kepemimpinan di Indonesia boleh disebut mengalami kemunduran. Tokoh-tokoh
politik di masa lalu seperti HOS Cokroaminoto, Soekarno, Hatta, Tan Malaka,
Mohammad Natsir, Sjahrir, Mohammad
Roem dan masih banyak lagi pada umumnya penulis gagasan yang kuat dan orator
yang hebat. Karena itu, kebanyakan mereka dikategorikan sebagai negarawan.
Tidak salah kalau para elite Indonesia
saat ini seyogianya bisa menengok ke belakang untuk menyerap inspirasi
kebangsaan dan kenegarawanan dari tokoh pendahulu mereka. Dari situ bisa
diketahui kenapa mereka merumuskan tujuan negara dengan dua kata sakti: adil
dan makmur. Mereka mencita-citakan negara ini diperintah secara adil agar
rakyatnya makmur.
Menurut para pendiri bangsa, demokrasi
adalah keadilan dan kesejahteraan untuk seluruh rakyat. Perwujudannya dalam
praktik kenegaraan sesungguhnya tidaklah terlalu sulit. Dalam kasus MK
misalnya, bagaimana para hakim konstitusi bisa melahirkan putusan yang adil.
Putusan ini hanya lahir dari hakim yang berpegang teguh pada prinsip
kebenaran dan independensi, dibimbing oleh moral yang kuat, dan memiliki visi kenegarawanan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar