Minggu, 02 Maret 2014

Krisis Kepercayaan

Krisis Kepercayaan

James Luhulima  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  01 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
AKHIR-akhir ini, soal kekhawatiran pada pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi mulai disuarakan kembali. Kekhawatiran itu berawal dari dimulainya pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh pemerintah dan DPR.

Dalam naskah akademik RUU KUHAP yang dipersiapkan Tim Revisi KUHAP yang dipimpin Andi Hamzah, Guru Besar Ilmu Hukum Pidana di Universitas Trisakti, Jakarta, April 2008, disebutkan, penyadapan dilakukan atas perintah tertulis dari penyidik setelah mendapatkan izin dari hakim komisaris. Dengan demikian, tidak ada kecuali, KPK pun melakukan penyadapan harus dengan izin hakim komisaris. Hakim komisaris adalah hakim pemeriksa pendahuluan.

Ketua KPK Abraham Samad keberatan dengan ketentuan penyadapan hanya dapat dilakukan apabila ada izin dari hakim komisioner. Penyadapan dengan izin hakim komisioner itu, menurut Abraham Samad, akan melemahkan lembaga yang kini dipimpinnya.

Andi Hamzah, saat dikonfirmasi, mengatakan belum membaca naskah akademik yang ditandatanganinya. Namun, ia merasa kalimat ”tidak ada kecuali” sudah tidak ada lagi dalam naskah itu. ”Tetapi, nanti bisa dibicarakan di DPR bahwa KPK itu diatur dengan undang-undang tersendiri.”

Masalah kekhususan tersebut diatur dalam revisi KUHAP Pasal 3 Ayat (2), yang memperbolehkan undang-undang hukum pidana di luar KUHP mengatur beberapa ketentuan hukum acara pidana sendiri yang menyimpang dari KUHAP. Kewenangan ini mencakup kewenangan penyadapan untuk kepentingan penyelidikan dugaan korupsi.

Hal senada juga ditegaskan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin. Ia mengatakan, pemerintah tidak memiliki niat apa pun untuk melemahkan KPK. RUU KUHAP dan RUU KUHP merupakan ketentuan umum (lex generalis) sehingga tidak menghilangkan kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

”RUU KUHAP memberi keleluasaan pada produk UU di luar KUHAP mengatur hukum acaranya masing-masing. Dengan ketentuan itu, KPK tetap dapat melakukan penyadapan tanpa izin pengadilan,” ujar Amir. Atas dasar itulah, Amir Syamsuddin memutuskan untuk melanjutkan pembahasan RUU KUHAP dan RUU KUHP.

KPK tidak dapat menerima keputusan tersebut serta mendesak pembahasan RUU KUHAP dan RUU KUHP dihentikan. Setidaknya ada tiga ketentuan dalam RUU KUHAP dan RUU KUHP yang dinilai KPK kontroversial, yakni, pertama, ketentuan tentang penyelidikan dihapus. Kedua, penyadapan harus mendapatkan izin dari hakim pemeriksa pendahuluan. Dan, ketiga, korupsi tidak lagi masuk dalam kategori kejahatan luar biasa (extraordinary crime), melainkan masuk pidana umum.

Ketidakpercayaan

Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan penegasan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin, tetapi karena derajat kepercayaan kepada eksekutif, legislatif, dan yudikatif pada saat ini sangat rendah, kecurigaan itu tidak dapat dibendung. KPK merasa tidak bisa mempercayakan eksistensinya kepada eksekutif dan legislatif yang menjadi ”obyek buruannya”.

Bahkan, Bambang Widjojanto, Wakil Ketua KPK, mempertanyakan, apa benar revisi KUHP itu tidak mendekonstruksi dan mendelegitimasi sifat extraordinary kejahatan korupsi menjadi tindak pidana umum? Apakah benar UU Tipikor tetap menjadi UU yang bersifat lex specialis?

Meminta izin kepada hakim komisioner untuk melakukan penyadapan pada tahap sekarang ini dianggap sebagai hal yang tidak masuk akal. Bayangkan hakim setingkat Ketua Mahkamah Konstitusi, seperti Akil Mochtar, melakukan tindakan yang sulit diterima akal sehat. Ia ditahan KPK karena diduga menerima suap. Bahkan, kemudian, KPK mendakwa Akil Mochtar dengan 6 dakwaan kumulatif, terdiri dari 4 perkara korupsi terkait penanganan sengketa pemilu kepala daerah di MK dan 2 perkara tindak pidana pencucian uang. Padahal, keputusan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi itu mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat.

KPK adalah sebuah lembaga ad hoc. KPK dibentuk karena dalam urusan korupsi, kepolisian dan kejaksaan dianggap tidak dapat diandalkan. Dengan kata lain, jika pada suatu masa, dalam urusan korupsi, kepolisian dan kejaksaan dapat diandalkan, lembaga seperti KPK tidak diperlukan.

Namun, membiarkan KPK melakukan penyadapan tanpa izin dari pihak lain juga tidak mungkin. Kita tidak boleh melupakan kata-kata bijak yang dilontarkan Lord Acton (1837-1869), ”Powers tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely (Kekuasaan cenderung disalahgunakan, dan kekuasaan mutlak pasti disalahgunakan)”.

Walaupun demikian, karena situasinya memaksa, atau bisa juga disebut darurat, untuk saat ini, biarkan KPK melakukan penyadapannya tanpa izin. Saat ini, semua penahanan yang dilakukan KPK didasarkan pada penyadapan. Tanpa penyadapan, bisa dikatakan, KPK tidak memiliki kasus dan para koruptor pun bebas berkeliaran.

Jika KPK diharuskan meminta izin kepada hakim komisioner sebelum melakukan penyadapan, dapat dipastikan informasi tentang penyadapan itu akan bocor. Itu berarti KPK tidak dapat menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya, seperti yang berlangsung sekarang ini. Keadaan seperti ini tentunya tidak dapat kita biarkan terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar