Krisis
Kepercayaan
James
Luhulima ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS,
01 Maret 2014
AKHIR-akhir
ini, soal kekhawatiran pada pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi mulai disuarakan
kembali. Kekhawatiran itu berawal dari dimulainya pembahasan Rancangan
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan RUU Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana oleh pemerintah dan DPR.
Dalam naskah
akademik RUU KUHAP yang dipersiapkan Tim Revisi KUHAP yang dipimpin Andi
Hamzah, Guru Besar Ilmu Hukum Pidana di Universitas Trisakti, Jakarta, April
2008, disebutkan, penyadapan dilakukan atas perintah tertulis dari penyidik
setelah mendapatkan izin dari hakim komisaris. Dengan demikian, tidak ada
kecuali, KPK pun melakukan penyadapan harus dengan izin hakim komisaris.
Hakim komisaris adalah hakim pemeriksa pendahuluan.
Ketua KPK
Abraham Samad keberatan dengan ketentuan penyadapan hanya dapat dilakukan
apabila ada izin dari hakim komisioner. Penyadapan dengan izin hakim
komisioner itu, menurut Abraham Samad, akan melemahkan lembaga yang kini
dipimpinnya.
Andi Hamzah,
saat dikonfirmasi, mengatakan belum membaca naskah akademik yang
ditandatanganinya. Namun, ia merasa kalimat ”tidak ada kecuali” sudah tidak
ada lagi dalam naskah itu. ”Tetapi,
nanti bisa dibicarakan di DPR bahwa KPK itu diatur dengan undang-undang
tersendiri.”
Masalah
kekhususan tersebut diatur dalam revisi KUHAP Pasal 3 Ayat (2), yang
memperbolehkan undang-undang hukum pidana di luar KUHP mengatur beberapa
ketentuan hukum acara pidana sendiri yang menyimpang dari KUHAP. Kewenangan
ini mencakup kewenangan penyadapan untuk kepentingan penyelidikan dugaan
korupsi.
Hal senada juga
ditegaskan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin. Ia
mengatakan, pemerintah tidak memiliki niat apa pun untuk melemahkan KPK. RUU
KUHAP dan RUU KUHP merupakan ketentuan umum (lex generalis) sehingga tidak menghilangkan kewenangan KPK untuk
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
”RUU KUHAP memberi keleluasaan pada produk UU di luar
KUHAP mengatur hukum acaranya masing-masing. Dengan ketentuan itu, KPK tetap
dapat melakukan penyadapan tanpa izin pengadilan,” ujar Amir.
Atas dasar itulah, Amir Syamsuddin memutuskan untuk melanjutkan pembahasan
RUU KUHAP dan RUU KUHP.
KPK tidak dapat
menerima keputusan tersebut serta mendesak pembahasan RUU KUHAP dan RUU KUHP
dihentikan. Setidaknya ada tiga ketentuan dalam RUU KUHAP dan RUU KUHP yang
dinilai KPK kontroversial, yakni, pertama, ketentuan tentang penyelidikan
dihapus. Kedua, penyadapan harus mendapatkan izin dari hakim pemeriksa
pendahuluan. Dan, ketiga, korupsi tidak lagi masuk dalam kategori kejahatan
luar biasa (extraordinary crime),
melainkan masuk pidana umum.
Ketidakpercayaan
Sesungguhnya
tidak ada yang salah dengan penegasan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin,
tetapi karena derajat kepercayaan kepada eksekutif, legislatif, dan yudikatif
pada saat ini sangat rendah, kecurigaan itu tidak dapat dibendung. KPK merasa
tidak bisa mempercayakan eksistensinya kepada eksekutif dan legislatif yang
menjadi ”obyek buruannya”.
Bahkan, Bambang
Widjojanto, Wakil Ketua KPK, mempertanyakan, apa benar revisi KUHP itu tidak
mendekonstruksi dan mendelegitimasi sifat extraordinary
kejahatan korupsi menjadi tindak pidana umum? Apakah benar UU Tipikor tetap
menjadi UU yang bersifat lex specialis?
Meminta izin
kepada hakim komisioner untuk melakukan penyadapan pada tahap sekarang ini
dianggap sebagai hal yang tidak masuk akal. Bayangkan hakim setingkat Ketua
Mahkamah Konstitusi, seperti Akil Mochtar, melakukan tindakan yang sulit
diterima akal sehat. Ia ditahan KPK karena diduga menerima suap. Bahkan,
kemudian, KPK mendakwa Akil Mochtar dengan 6 dakwaan kumulatif, terdiri dari
4 perkara korupsi terkait penanganan sengketa pemilu kepala daerah di MK dan
2 perkara tindak pidana pencucian uang. Padahal, keputusan yang diambil oleh
Mahkamah Konstitusi itu mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat.
KPK adalah
sebuah lembaga ad hoc. KPK dibentuk
karena dalam urusan korupsi, kepolisian dan kejaksaan dianggap tidak dapat
diandalkan. Dengan kata lain, jika pada suatu masa, dalam urusan korupsi,
kepolisian dan kejaksaan dapat diandalkan, lembaga seperti KPK tidak
diperlukan.
Namun,
membiarkan KPK melakukan penyadapan tanpa izin dari pihak lain juga tidak
mungkin. Kita tidak boleh melupakan kata-kata bijak yang dilontarkan Lord
Acton (1837-1869), ”Powers tends to
corrupt, and absolute power corrupt absolutely (Kekuasaan cenderung disalahgunakan, dan kekuasaan mutlak pasti
disalahgunakan)”.
Walaupun
demikian, karena situasinya memaksa, atau bisa juga disebut darurat, untuk
saat ini, biarkan KPK melakukan penyadapannya tanpa izin. Saat ini, semua
penahanan yang dilakukan KPK didasarkan pada penyadapan. Tanpa penyadapan,
bisa dikatakan, KPK tidak memiliki kasus dan para koruptor pun bebas
berkeliaran.
Jika KPK
diharuskan meminta izin kepada hakim komisioner sebelum melakukan penyadapan,
dapat dipastikan informasi tentang penyadapan itu akan bocor. Itu berarti KPK
tidak dapat menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya, seperti yang
berlangsung sekarang ini. Keadaan seperti ini tentunya tidak dapat kita
biarkan terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar