Menggugat
RUU KUHP/KUHAP
Hifdzil
Alim ; Peneliti
dari Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM,
Ketua Bidang Nonlitigasi LPBH PWNU DIY
|
SUARA
MERDEKA, 01 Maret 2014
“Susah menyakini kalau hanya dalih ”umur” yang digunakan
memperbarui kitab hukum dan acara pidana itu”
DPR dan
Pemerintah bersikeras melanjutkan pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sikap
ini disampaikan oleh Ketua DPR Marzuki Alie (SM, 24/2/14). Kengototan untuk meneruskan rapat karena produk
hukum ini adalah warisan kolonial, umurnya mencapai 68 tahun, maka wajar
perlu diubah.
Apabila dalil
ketua lembaga perwakilan rakyat memang demikian adanya, maka tak ada keraguan
terhadapnya. Bahwa umur KUHP dan KUHAP, kurang bisa menjawab persoalan hukum
yang perkembangannya sangat cepat, lebih cepat dari pada jangkauan
undang-undang itu sendiri. Namun, susah menyakini kalau hanya dalih “umur”
yang digunakan untuk memperbarui kitab hukum dan acara pidana tersebut.
Pusat Kajian
Anti (Pukat) Korupsi Fakultas Hukum UGM mencermati substansi pasal yang
diatur dalam RUU KUHAP. Sebenarnya, tidak semua ketentuan yang tercantum di
ketentuan perubahan KUHAP bertentangan dengan penegakan hukum. Penegakan
hukum tak hanya diterjemahkan sebagai hukum pemberantasan korupsi, tapi juga
yang terkait dengan hukum lainnya.
Misal secara
umum, pengaturan restorative justice
dinilai positif ke depannya untuk penegakan hukum. Tak hanya itu, pengaturan
mengenai kejahatan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga tak buruk.
Setidaknya, dua hal ini menunjukkan tak semua yang diatur oleh rancangan
KUHAP bertentangan dengan penegakan hukum.
Hanya ketika
melangkah ke sektor lain --seperti pemberantasan korupsi, sistem penegakan
hukum pidana (criminal justice system),
dan pelaksanaan kekuasaan kehakiman-- rancangan hukum formal pidana itu
tampak compang-camping. Terkesan tidak saling melengkapi, dan berisiko
menciptakan kemunduran dalam penegakan hukum. Alhasil, masyarakat banyak yang
menggugat RUU KUHAP.
Pukat Korupsi
Fakultas Hukum UGM mencatat minimal empat hal pertimbangan yang dapat mendudukkan
RUU KUHAP di kursi pesakitan karena memundurkan usaha dan sinkronisasi penegakan
hukum (21/2/14). Pertama; melanjutkan pembahasan RUU KUHAP, tapi melambatkan
pembahasan RUU KUHP kelihatannya hanya akan menghasilkan kesia-siaan.
KUHP adalah
hukum material yang mengatur substansi dan unsur pelanggaran atau kejahatan.
Adapun KUHAP adalah hukum formal yang memiliki kewajiban dan cara menjalankan
hukum material tersebut. Bagaimana mungkin mengebut rapat soal RUU KUHAP
sebagai hukum formal, apabila RUU KUHP sebagai hukum material bergerak sangat
lambat.
Sahlan Said,
mantan hakim PN Yogyakarta (21/2/14), menanggapi fakta pembahasan RUU KUHAP
dan RUU KUHP dengan perumpamaan ìcangkulî dan ìsawahî. RUU KUHAP ibarat
cangkul dan RUU KUHP ibarat sawah. Menyelesaikan RUU KUHAP terlebih dahulu
dan memundurkan RUU KUHP bagaikan memiliki cangkul, tetapi tak mempunyai
sawah. Bukankah cangkul dimanfaatkan untuk mengerjakan sawah? Jika tak ada
sawahnya maka cangkul hanya alat belaka. Tak bermanfaat.
Keterbatasan Waktu
Kedua;
substansi RUU KUHAP yang saat ini ada di tangan DPR, mau tak mau, akan berimplikasi
pada sistem peradilan yang ada sekarang. Jika rancangan hukum formal pidana
diketok sekarang, sekurang-kurangnya UU Kekuasaan Kehakiman, UU Mahkamah
Agung, UU Badan Peradilan, UU Kejaksaan, UU Kepolisian, dan UU KPK harus
disesuaikan. Masalahnya adalah apakah anggota DPR yang terhormat periode
2009-2014 memiliki cukup waktu untuk membahas perubahan undang-undang terkait
itu? Dengan keterbatasan waktu dan pemilihan umum yang bakal digelar 9 April
2014, nonsense rasanya.
Ketiga;
malapetaka timbul dari ketentuan RUU KUHAP yang bakal meniadakan
penyelidikan. Lembaga yang selama ini mendukung aparat penegak hukum, semisal
Badan Narkotika Nasional dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan,
akan merasakan kegetiran yang sangat. Mengingat dua lembaga itu tak lagi
punya hak untuk melakukan investigasi (penyelidikan).
Keempat; khusus
di sektor pemberantasan korupsi, penghapusan penyelidikan; pengaturan
mengenai penahanan; izin penyadapan yang dimaktubkan dalam RUU KUHAP;
cenderung tak dapat mengerek usaha pemberantasan korupsi. Alih-alih
memajukan, RUU KUHAP malah memundurkan upaya pengejaran koruptor.
Empat perihal
itu, naga-naganya cukup menjadi penanding kausa ìumurî yang dijadikan pijakan
oleh Ketua DPR untuk bersikeras melanjutkan pembahasan RUU KUHAP dan KUHP.
Lagi pula, andai pun argumen meneruskan pembahasan berkutat pada soal usia
undang-undang, kenapa tidak dari 10 tahun lalu diselesaikan? Kenapa harus
sekarang ketika banyak anggota DPR sudah jadi pesakitan karena korupsi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar