Strategi
Rusia di Ukraina
Mohamad Rosyidin ; Staf Pengajar
Hubungan Internasional
Universitas
Diponegoro, Semarang
|
REPUBLIKA,
24 Maret 2014
Sungguh menarik sekaligus
mengkhawatirkan mencermati perkembangan politik internasional di kawasan
Eurasia akhir-akhir ini. Kebijakan intervensi militer Rusia di Ukraina dan
pengakuan kemerdekaan Crimea dari Ukraina seolah-olah membawa dunia kembali
ke masa Perang Dingin yang penuh suasana ketegangan.
Apa yang telah dilakukan Rusia
di Ukraina sepertinya menyalahi zaman. Ketika semangat globalisasi menggerakkan
negara-negara di dunia untuk aktif melakukan kerja sama di pelbagai bidang,
Rusia justru melakukan agresi ke wilayah yurisdiksi Ukraina. Terlebih lagi,
Rusia melakukannya saat Ukraina dilanda kekacauan politik pasca kejatuhan
Viktor Yanukovych.
Terlepas dari dalih bahwa
intervensi itu dilakukan untuk melindungi etnis Rusia yang ada di Crimea,
tindakan Rusia itu bagaimanapun juga tetap tidak bisa dibenarkan menurut
hukum internasional. Rusia jelas melanggar prinsip penghormatan terhadap kedaulatan
yang dijunjung tinggi sebagai prinsip dan norma hubungan internasional.
Apa yang tampak di permukaan
sebenarnya tidak cukup mudah untuk dipahami. Tindakan agresif Rusia di Ukraina
besar kemungkinan dipengaruhi oleh ambisi negara itu untuk memulihkan
kekuasaannya seperti pada era Uni Soviet. Dalam diskursus politik luar negeri
Rusia, ada doktrin yang menginginkan Rusia kembali menjadi negara adidaya (velikaya derzhava).
Setelah Uni Soviet runtuh pada
tahun 1989 yang menandai berakhirnya masa Perang Dingin, Rusia kehilangan
status dan peranannya di dunia internasional. Naiknya Boris Yeltsin menjadi
presiden membuat prioritas kebijakan Rusia bergeser dari politik-militer ke
ekonomi. Kondisi perekonomian nasional yang terpuruk memaksa Yelstin bersikap
pragmatis dan mengesampingkan isu-isu politik dan militer.
Pragmatisme Yeltsin berhasil membuat
perekonomian Rusia membaik, tetapi secara politik Rusia tetap tidak memiliki
pengaruh. Ketika Vladimir Putin menggantikannya pada 1998 ia membawa misi
untuk mengembalikan kejayaan Uni Soviet. Putin merupakan tokoh kharismatik
yang memiliki keyakinan tinggi bahwa Rusia bisa bangkit kembali menjadi
negara adidaya.
Intervensi militer di Ukraina
dalam rangka membebaskan Crimea menunjukkan garis kebijakan luar negeri Putin
yang ofensif. Kebijakan itu merepresentasikan strategi revisionis, yaitu
kecenderungan suatu negara untuk memperluas pengaruh dan ke kuasaan di negara
lain ketimbang mem pertahankan distribusi kekuasaan yang sudah ada. Sanksi
ekonomi dari Barat justru memperumit keadaan. Pola konfliknya bergeser dari
konflik dua ne- gara (Rusia-Ukraina) menjadi konflik global (Rusia-Barat).
Meminjam istilah Brzezinski,
Ukraina dapat diibaratkan sebagai papan catur besar di mana negara-negara
besar saling memperebutkan pengaruh dan kekuasaan di negara itu. Hal ini
disebabkan karena Ukraina adalah negara yang unik. Ukraina, meminjam istilah Samuel
Huntington, adalah `negara terbelah' (torn
state) seperti halnya Turki dan Meksiko yang mengalami kebingungan
identitas ke mana ia akan berpaling.
Memberi pengakuan kemerdekaan
kepada Crimea berarti Rusia memberi sinyal kepada Ukraina untuk mengikuti
kehendaknya. Dengan cara itu, Rusia mampu menunjukkan kepada Barat bahwa
posisinya masih merupakan kekuatan dunia yang patut diperhitungkan.
Pendekatan koersif yang dipilih
Rusia dalam menyikapi krisis politik di Ukraina mencerminkan kegagalan kekuatan
lunak (soft power). Kendati berhaluan
konservatif, Putin sebenarnya menyadari pentingnya kekuatan lunak. Namun
demikian, jalan Rusia masih panjang untuk memanfaatkan strategi kekuatan
lunak karena minimnya pengaruh Rusia dalam hal budaya, ideologi, dan
nilai-nilai sosial.
Kebudayaan Rusia belum terlalu
dikenal oleh negara-negara lain. Budaya ortodoks Rusia hanya berpengaruh di
sebagian kecil masyarakat negara lain. Dari sisi ideologi, demokrasi semu
yang dipraktikkan Rusia tidak terlalu menarik bagi negara lain.
Terakhir, dari sisi nilai-nilai
yang dianut masyarakat Rusia, belum banyak negara yang mengenal nilai-nilai
Rusia yang khas dan unik. Pengenalan nilai-nilai dan juga budaya Rusia yang
gencar dilakukan oleh perwakilan Rusia di banyak negara belum mampu dimanfaatkan
untuk mencapai kepentingan nasional Rusia.
Kelemahan sumber-sumber kekuatan
lunak membuat pemerintahan Putin tak punya pilihan lain selain menggunakan
kekuatan keras (hard power). Dengan
postur pertahanannya yang sangat besar, kebijakan luar negeri Rusia dalam beberapa
waktu ke depan akan tetap bertumpu pada militer. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar