Effective
Teaching Communication
Ahmad Baedowi ; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Maret 2014
DALAM masa kampanye seperti
sekarang ini, sebenarnya banyak pelajaran berarti bisa diambil para guru
dalam melatih keterampilan komunikasi para calon anggota legislatif (caleg).
Para caleg, dengan beragam ide dan bakat, mencoba merebut hati rakyat dengan
melakukan kampanye secara terbuka lewat beragam pendekatan. Ada yang
menggunakan cara-cara lama dengan melakukan orasi, tetapi tak jarang banyak
yang menggunakan media dan alat peraga kampanye yang sederhana tapi efektif,
seperti sambil mengamen, mengatur tempat parkir dengan menjadi juru parkir, mengajak
masyarakat untuk memancing, dan membersihkan bantaran sungai.
Pendek kata, baik pendekatan
maupun cara para caleg berkomunikasi dengan calon pemilih mereka menunjukkan
ragam bentuk komunikasi yang dalam bahasa pendidikan formal disebut sebagai
gaya belajar kontekstual. Meskipun belum tentu berhasil, paling tidak usaha
dan kreativitas para caleg patut diapresiasi, terutama dalam memberi
pelajaran amat berharga kepada para guru. Artinya, dalam jangka panjang, cara
komunikasi guru dengan siswa mereka sesungguhnya akan sangat bergantung pada
seberapa banyak energi kreatif yang mereka miliki dan seberapa sering itu
digunakan untuk meningkatkan antusiasme siswa dalam belajar.
Salah satu ciri komunikasi
efektif yang paling mudah dan murah tetapi jarang dilakukan para guru kita
ialah kemampuan mendengar. Kemampuan mendengar efektif sangat dibutuhkan
karena di tengah tantangan kehidupan yang serbacepat dan instan cenderung
membuat siswa kita menjadi lebih mudah stres dan putus asa.
Karena itu,
kemampuan untuk mendengarkan segala macam bentuk keluhan siswa sebenarnya
sangat dibutuhkan karena sejatinya mendengar merupakan kemampuan pertama kita
yang diberikan Tuhan, tetapi jarang digunakan secara efektif. Mungkin ada
baiknya, baik guru maupun para caleg lebih mengenali audiens mereka dengan
mendengarkan langsung setiap keluhan dan masalah yang mereka hadapi
sehari-hari.
Kemampuan dialogis
Mengapa kemampuan komunikasi
yang efektif berguna dalam sebuah proses belajar mengajar? Sebab, para guru
harus memiliki kesadaran bahwa mereka mengajar anak-anak yang dalam status
belajar dan seorang guru harus terus memberikan reaksi secara sensitif
terhadap apa yang berkembang dalam sebuah proses belajar mengajar. Jika
kemampuan berkomunikasi dalam mengajar hanya berlangsung secara monolog,
ketika guru lebih banyak mendiktekan situasi berdasarkan seleranya, proses
belajar mengajar pasti akan membosankan siswa. Namun jika proses belajar
mengajar dilakukan secara dialogis, ketika baik guru maupun siswa saling
menakar keinginan dan kemampuan masing-masing, pasti akan banyak sekali gaya,
strategi, teknik, dan metode mengajar yang kreatif karena bertumbuh dari
proses komunikasi dua arah yang dialogis.
Harus kita akui bahwa tak semua
guru memiliki kesadaran dan sensitivitas yang baik dalam membangun kesadaran
akan pentingnya proses komunikasi yang efektif antara siswa dan guru.
Berdasarkan pengalaman saya mengajar (dan mengikuti pelajaran di kelas),
variasi strategi dan metode komunikasi pengajaran memiliki banyak keuntungan,
antara lain 1) Memungkinkan penerapan belajar aktif di kelas, 2)
Memfasilitasi munculnya aneka peran serta anak didik dalam proses belajar, 3)
Meningkatkan minat anak didik terhadap materi yang dibahas, serta 4) Membantu
mempertahankan fokus peserta didik terhadap suatu topik. Dengan beragam
strategi dan metode komunikasi yang dialogis seperti bermain peran (role playing), melakukan riset pasar,
curah pendapat dalam kelompok, penugasan berdasarkan minat, dan sebagainya
akan membuat proses KBM berlangsung lebih menyenangkan.
Metode dan strategi pengajaran
yang membosankan, dengan komunikasi satu arah yang bertumpu pada ceramah
guru, dan melelahkan, selain sudah ketinggalan zaman, amat merugikan murid.
Mereka kehilangan kesempatan belajar dengan penuh gairah dan rasa sukacita.
Persis seperti dibilang John Holt, salah seorang pendidik dan penulis
Amerika, “The biggest enemy to learning
is the talking teacher.“
Dalam proses belajar mengajar,
menimbulkan tindakan nyata ialah indikator efektivitas komunikasi yang paling
penting. Untuk menimbulkan tindakan, para guru harus berhasil terlebih dahulu
menanamkan pengertian, membentuk, dan mengubah sikap atau menumbuhkan
hubungan yang baik. Tindakan merupakan hasil kumulatif seluruh proses
komunikasi. Itu tidak hanya memerlukan pemahaman tentang seluruh mekanisme
psikologis yang terlibat dalam proses komunikasi, tetapi juga faktor-faktor
yang memengaruhi perilaku anak-anak kita. Agar komunikasi kita menjadi
efektif, diperlukan perluasan makna komunikasi termasuk merancang strategi
dan metode pengajaran yang pas serta meningkatkan kemampuan mendengar semua
persoalan siswa.
Agar proses belajar mengajar
berlangsung lebih menarik, fungsi fasilitator seorang guru seharusnya lebih
ditonjolkan ketimbang fungsi guru itu sendiri. Mengapa fungsi fasilitator
perlu ditingkatkan? Fasilitator biasanya harus memiliki bekal berupa dua
peran pokok sekaligus, yaitu peran fasilitatif dan peran diagnostik. Seorang
guru yang menempatkan dirinya sebagai seorang fasilitator akan memiliki
kemudahan dalam membangun komunikasi secara lebih efektif dengan anak didik
mereka. Peran seorang fasilitator ialah memudahkan proses komunikasi dalam
belajar dan mengajar, dan pada saat yang sama, mendiagnosis keadaan, situasi,
dan atmosfer kelas dan sekolah dengan cermat sehingga dapat mengambil
inisiatif untuk melancarkan pelaksanaan KBM.
Sebagai seorang fasilitator,
guru dapat mengelola, mengatur, dan merangsang interaksi dan komunikasi yang
melibatkan peserta didik sehingga suasana sharing (berbagi) informasi dan pengetahuan
terbina, dan motivasi bersama dapat dibangkitkan dan dipertahankan selama
proses belajar mengajar berlangsung. Fungsi fasilitator juga dapat
meningkatkan keterbukaan dan akurasi komunikasi dalam proses KBM, baik
mengenai isu dan topik yang sedang dibahas maupun mengenai persepsi,
perasaan, dan sikap-sikap para peserta didik. Di bidang tersebut, peran
fasilitator bersifat nonevaluative,
noncoercive, dan nondirective. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar