Pemilu
dan Anomali “Suara Tuhan”
Muchlas J Samorano ; Peneliti pada
Pusat Studi Agama dan Politik
UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta
|
OKEZONENEWS,
24 Maret 2014
Istilah
bahwa rakyat adalah kuasa, bukan streotip baru dalam sistem pemerintahan
demokrasi. Sebagaimana demokrasi jamak dipahami sebagai sebuah lingkaran
pemerintahan berbasis rakyat: oleh rakyat (by the people), dari rakyat (from
the people), dan untuk rakyat (for
the people). Makanya, people is power menjadi semacam ‘kartu truf’
demokrasi kerakyatan. Setiap mana produk kebijakan pemerintah yang menyimpang
dari kepentingan rakyat kolektif, bisa saja diklaim sebagai kebijakan
otoritatif.
Daripada
itu, menelaah akar genealogi lahirnya istilah “suara rakyat, suara tuhan (vox populi, vox dei)”, sebenarnya tak
terlepas dari perang ideologis antara sipil dengan elit kuasa di Prancis,
pada zaman pemerintahan kisar Raja Louis XIV sebelum revolusi. Saat martabat
kemanusiaan, waktu itu, terisolir oleh tindak-tanduk kesewenangan Raja Louis
yang mendakwa bahwa “hukum adalah
dirinya (L’etat c’est moi)”,
maka rakyat menbuat kesaksian berlawanan sebagai reaksi ideologis atas
kecongkakan itu: vox populi, vox dei.
Sampai
kini, adagium vox populi vox dei
cukup ampuh untuk menguatkan peranan rakyat dalam khitah demokrasi. Jejak
perjalan kebangsaan tentu memang dimulai dari derita dan perjuangan rakyat,
dan hal ini menjadi kenyataan universal dan mengglobal. Revolusi Prancis,
misalnya, adalah bukti penguatan
istilah people is power, juga
revolusi Iran dan Afganistan, atau revolusi Bolshevik di Rusia, dan
revolusi-revolusi lain dari abad pertengahan hingga akhir abad keduapuluh (Hasan Ma’arif: 2001, 118).
Pun
demikian, jejak perjalanan bangsa Indonesia diwarnai oleh ketegangan antara
rakyat dan elit pemerintah. Pemerintahan yang cenderung represif akan menuai
reaksi perlawanan dari rakyat. Kita lihat, misalnya, peralihan estafet
kekuasaan dari Orla ke Orba ditandai oleh gejolak perlawanan rakyat (sipil
dan militer, pen.) yang berujung pada peristiwa Malari 66. Sementara, transisi pemerintahan dari Orba
ke Reformasi juga diwarnai kecamuk perlawanan rakyat (kecuali militer),
hingga menemukan momentumnya pada tragedi 98. Salah dua misal ini adalah
bukti riil betapa rakyat adalah tonggak pemerintahan yang berfungsi sebagai
kontrol pemerintah (subyek kekuasaan), satu sisi, dan menjadi tumpuan final
pemerintahan (obyek kekuasaan), sisi lainnya.
Paradoks Golput
Namun
begitu, 15 tahun perjalanan demokrasi, sengkarut gerakan golput terus saja
menjadi “hantu” di setiap suksesi kepemimpinan Indonesia. Data mutakhir yang
dilansir KPU menunjukkan semakin tingginya angka golput dari Pemilu 1999
hingga 2009: 8 persen dengan tingkat partisipasi 92 persen (1999), 23 persen
dengan tingkat partisipasi 77 persen (2004), 39 persen dengan tingkat
partisipasi 59 persen (2009). Atas dasar ini, tingkat partisipasi rakyat
sangat menentukan suksesnya pemilu yang demokratis.
Golput menuai
perhatian serius tidak hanya oleh pemerintah, tapi meluas kepada seluruh
elemen kebangsaan, seperti LSM, HAM, dan organisasi keagamaan. Daripada itu,
upaya pemerintah untuk menekan angka golput tetap tidak akan berhasil, selama
akar ideologi golput adalah keyakinan dan opsi personal. Bagaimana pun,
seperti pernah disinggung Haris Azhar, bahwa golput adalah ekspresi
partisipasi politik, turut serta dalam kegiatan publik, pilihan hati nurani,
dan kebebasan berpendapat.
Paradoks
kenyataan antara peranan rakyat sebagai reinkarnasi daulat tuhan (vox populi, vox dei) dengan sengkarut
golput (non-voters), menjadi
semacam anomali dalam pemilu. Padahal, akar historis keduanya memiliki
kemiripan, yakni sebagai wahana protes terhadap elit pemerintah.
Sejarah
mencatat, golput adalah perlawanan massal masyarakat terhadap pemerintah Orba
yang otoriter-monopolistik. Gerakan ini kali pertama diusung oleh Arief
Budiman pada tahun 1971 sebagai protes terhadap mekanisme pemilu yang
represif dan non-kompetitif, berlanjut hingga 1977. Setelah itu, golput
kembali menemukan momentumnya pada pemilu 2009, di mana angka golput melebihi
perolehan suara akumulatif semua partai, termasuk Partai Demokrat yang
memiliki suara unggul.
Pada
dasarnya, pemilu adalah agenda suksesi politik yang menentukan laju
perjalanan bangsa lima tahun berikutnya. Prinsip demokratisasi akan diukur
oleh tingakat partisipasi rakayat. Oleh sebabnya, penting menelaah aktifitas
golput, apakah sebagai perlawanan dan protes politik atau hanya apatisme belaka.
Kurang dari sebulan, 186 juta pemilih akan menseleksi 19. 700 calon
legislatif dari 12 parpol yang tersebar di 2. 450 daerah pemilihan. Standar
dan kriteria pemimpin harus pula dipertimbangkan sedemikian matang, baik dari
kapabilitas, integritas, pengalaman, dan moral calon. Lalu, apakah golput
juga berarti menyia-nyiakan reinkarnasi suara Tuhan?
Mesti
disadari, buta politik rakyat sangat dipengaruhi oleh buta nurani elit
pemerintah. Berbagai laku aktor
politik dan birokrat terakhir ini yang banyak terseret terhadap
kubangan korupsi, nepotisme, oportunis, telah membuat rakyat gerah untuk
memilih (abstain). Makanya, penyebab golput yang paling santer adalah soal
ideologi dan idealisme, ketimbang soal teknis-administratif seperti
karut-marut DPT, rumitnya regulasi perpindahan TPS, serta sosialisasi dan
pendidikan politik yang minus.
Tak
pelak, golput atas nama idealisme yang gerah dengan tingkah-polah kontestan
adalah juga bentuk pengejawantahan suara Tuhan (vox dei). Pemerintah, kata Carl. J. Friedrich, sejatinya adalah
kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat. Maka begitu,
pemerintahan demokratis yang kokoh, stabil, dan bermartabat selalu
memprioritaskan kepentingan kolektif rakyat di atas kepentingan yang lain.
Sebagai ideologi, tak ada yang bisa memberangus aksi golput kecuali
pembuktian dari kontestan pemilu atas sejambang janji manis politiknya itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar