Rabu, 12 Maret 2014

Batam

Batam

Amarzan Loebis  ;   Wartawan Tempo
TEMPO.CO,  11 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
PADA awal l990-an, orang Batam punya cara untuk menertawakan diri sendiri. Dengan mengandaikan BATAM sebagai singkatan, mereka menciptakan kepanjangannya, "Begitu Anda Tiba, Anda Menyesal". Kepanjangan itu mungkin merujuk pada peribahasa Melayu: "indah nama dari rupa". Batam pada masa itu memang lebih merupakan hamparan tanah merah dengan gedung-gedung yang sebagian besar dibangun tergesa-gesa.

Kini, kawasan hijau hampir mendominasi Batam. Tahun lalu, Bandar Udara Internasional Hang Nadim mencatat kunjungan hampir 1,5 juta pelancong, hanya kalah oleh Ngurah Rai (3,24 juta) dan Soekarno-Hatta (2,24 juta). Sejak semula, kota pulau ini memang dirancang sebagai satu di antara pintu masuk ke Indonesia. Tapi, sejak semula pula, tampaknya rancangan itu lebih banyak tinggal rancangan.

Menteri Pariwisata silih berganti, tapi tak tampak program yang jelas menjamah Batam, apalagi sekujur Provinsi Kepulauan Riau. Batam berkembang lebih karena improvisasi. Informasi, sebagai mata rantai penting perencanaan pariwisata, sangat terbatas. Ambil contoh sederhana: siapa yang bisa menjelaskan Hang Nadim, nama yang diambil untuk bandara internasional pulau itu?

Penelisikan saya menemukan tiga versi tentang Hang Nadim. Menurut versi pertama, dia anak Hang Tuah, laksamana Melayu yang didongengkan pernah mengecoh Mahapatih Gajah Mada. Versi kedua menyatakan dia anak Hang Jebat, yang setelah ayahnya dibunuh Hang Tuah lalu "diadopsi" oleh sang pembunuh. Versi ketiga malah rada aneh: dia anak tak dikenal yang menyelamatkan Temasek dari serangan ikan todak, tapi kemudian dibunuh atas perintah Sultan Temasek.

Itu baru satu contoh. Siapa yang bisa menjelaskan Nongsa, Sekupang, Pulau Abang, Pulau Buluh, Pulau Bulan, atawa Pulau Janda Berhias? Paling jauh, yang mudah dijelaskan cuma Nagoya, tempat para karyawan kontraktor Jepang dulu berkumpul, melewatkan malam pada masa awal pembangunan Batam, lalu menamakan tempat itu menurut kampung halaman mereka.

Dalam tiga bulan mendatang, Batam akan menjadi tuan rumah dua pergelaran istimewa, yakni Musabaqah Tilawatil Quran Tingkat Nasional ke-25 dan Pekan Produk Kreatif Indonesia ke-8. Ini untuk pertama kalinya MTQN digelar di Kepulauan Riau; untuk pertama kalinya pula PPKI diselenggarakan di luar Pulau Jawa.

Hanya dibutuhkan sedikit kecerdasan bagi para pengampu kepentingan untuk memaslahatkan momentum ini bagi keranggian kepariwisataan Kepulauan Riau. Satu di antara yang paling mustahak, barangkali, adalah logistik informasi yang lengkap dan jelas. Tak banyak orang tau, misalnya, bahwa di seberang Jembatan Barelang-aslinya bernama Jembatan Tengku Fisabilillah-yang panjangnya 664 meter terdapat "monumen sejarah manusia perahu" setelah Perang Vietnam usai.

Barak-barak eks pengungsi Vietnam itu kini membisu tak terpelihara. Padahal, pada waktu-waktu tertentu masih datang para bekas penghuninya, yang kini bertebaran di delapan penjuru angin, untuk merawat ingatan dan bertafakur di sana. Dengan kata lain, Batam masih mencitrakan lahan pariwisata yang belum terjamah secara sungguh-sungguh. Tempat ini baru sebatas sop ikan, gonggong, atau ramai-ramai belanja tas, arloji, dan parfum KW di daerah sentral Nagoya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar