Batam
Amarzan Loebis ;
Wartawan Tempo
|
TEMPO.CO,
11 Maret 2014
PADA
awal l990-an, orang Batam punya cara untuk menertawakan diri sendiri. Dengan
mengandaikan BATAM sebagai singkatan, mereka menciptakan kepanjangannya, "Begitu Anda Tiba, Anda
Menyesal". Kepanjangan itu mungkin merujuk pada peribahasa Melayu: "indah nama dari rupa".
Batam pada masa itu memang lebih merupakan hamparan tanah merah dengan
gedung-gedung yang sebagian besar dibangun tergesa-gesa.
Kini,
kawasan hijau hampir mendominasi Batam. Tahun lalu, Bandar Udara
Internasional Hang Nadim mencatat kunjungan hampir 1,5 juta pelancong, hanya
kalah oleh Ngurah Rai (3,24 juta) dan Soekarno-Hatta (2,24 juta). Sejak
semula, kota pulau ini memang dirancang sebagai satu di antara pintu masuk ke
Indonesia. Tapi, sejak semula pula, tampaknya rancangan itu lebih banyak
tinggal rancangan.
Menteri
Pariwisata silih berganti, tapi tak tampak program yang jelas menjamah Batam,
apalagi sekujur Provinsi Kepulauan Riau. Batam berkembang lebih karena
improvisasi. Informasi, sebagai mata rantai penting perencanaan pariwisata, sangat
terbatas. Ambil contoh sederhana: siapa yang bisa menjelaskan Hang Nadim,
nama yang diambil untuk bandara internasional pulau itu?
Penelisikan
saya menemukan tiga versi tentang Hang Nadim. Menurut versi pertama, dia anak
Hang Tuah, laksamana Melayu yang didongengkan pernah mengecoh Mahapatih Gajah
Mada. Versi kedua menyatakan dia anak Hang Jebat, yang setelah ayahnya
dibunuh Hang Tuah lalu "diadopsi" oleh sang pembunuh. Versi ketiga
malah rada aneh: dia anak tak dikenal yang menyelamatkan Temasek dari
serangan ikan todak, tapi kemudian dibunuh atas perintah Sultan Temasek.
Itu baru
satu contoh. Siapa yang bisa menjelaskan Nongsa, Sekupang, Pulau Abang, Pulau
Buluh, Pulau Bulan, atawa Pulau Janda Berhias? Paling jauh, yang mudah
dijelaskan cuma Nagoya, tempat para karyawan kontraktor Jepang dulu
berkumpul, melewatkan malam pada masa awal pembangunan Batam, lalu menamakan
tempat itu menurut kampung halaman mereka.
Dalam
tiga bulan mendatang, Batam akan menjadi tuan rumah dua pergelaran istimewa,
yakni Musabaqah Tilawatil Quran Tingkat Nasional ke-25 dan Pekan Produk
Kreatif Indonesia ke-8. Ini untuk pertama kalinya MTQN digelar di Kepulauan
Riau; untuk pertama kalinya pula PPKI diselenggarakan di luar Pulau Jawa.
Hanya
dibutuhkan sedikit kecerdasan bagi para pengampu kepentingan untuk
memaslahatkan momentum ini bagi keranggian kepariwisataan Kepulauan Riau.
Satu di antara yang paling mustahak, barangkali, adalah logistik informasi
yang lengkap dan jelas. Tak banyak orang tau, misalnya, bahwa di seberang
Jembatan Barelang-aslinya bernama Jembatan Tengku Fisabilillah-yang
panjangnya 664 meter terdapat "monumen sejarah manusia perahu"
setelah Perang Vietnam usai.
Barak-barak
eks pengungsi Vietnam itu kini membisu tak terpelihara. Padahal, pada
waktu-waktu tertentu masih datang para bekas penghuninya, yang kini
bertebaran di delapan penjuru angin, untuk merawat ingatan dan bertafakur di
sana. Dengan kata lain, Batam masih mencitrakan lahan pariwisata yang belum
terjamah secara sungguh-sungguh. Tempat ini baru sebatas sop ikan, gonggong,
atau ramai-ramai belanja tas, arloji, dan parfum KW di daerah sentral Nagoya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar