“Quo
Vadis” Partai Politik Islam
Ahmad Fuad Fanani ;
Direktur Riset Maarif Institute for Culture and Humanity;
Pengajar di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
KOMPAS,
11 Maret 2014
|
DALAM Pemilu Legislatif dan
Pilpres 2014, tampaknya performa partai-partai Islam belum meningkat. Jika
dibandingkan partai-partai nasionalis, menurut beberapa survei terakhir,
suara partai Islam pada Pemilu 2014 malah diperkirakan turun.
Survei LSI Network pada Maret
2013, misalnya, menunjukkan bahwa partai nasionalis seperti PDI Perjuangan,
Partai Golkar, Partai Demokrat, Nasdem, Hanura, dan Gerindra akan memperoleh
70 persen dan partai Islam sisanya. Dalam beberapa survei lain, popularitas
dan elektabilitas tokoh-tokoh partai Islam juga tertinggal dibandingkan para
tokoh nasionalis.
Melihat kondisi itu, sebagian
politisi partai Islam pesimis. Sebagian yang lain tetap optimis bahwa partai
Islam akan tetap eksis dengan berbagai prasyarat untuk mengatasi
masalah-masalah mendasar.
Masalah dan tantangan
Meningkatnya Islamisasi atau
santrinisasi di Indonesia (MC Ricklefs, 2012) ternyata tidak berkorelasi
positif dengan peningkatan suara partai Islam. Meskipun partai Islam masuk ke
kekuasaan sepanjang pemilu 1999-2009, keberadaan mereka di pemerintahan tidak
banyak berdampak pada perolehan suara.
Memang partai Islam ketika
berkuasa mendapatkan resources dan capital untuk membiayai partai politik
yang tidak murah. Namun, dalam soal suara, mereka sekadar mempertahankan
perolehan suara agar lolos electoral
and parliamentary threshold.
Contohnya adalah Partai Bulan
Bintang (PBB) yang pada tahun 2004 menjadi sponsor utama pencalonan SBY dan
JK. Pada Pemilu 2009, perolehan suara PBB turun dan tidak lolos ambang batas
suara di parlemen. PKS saja yang suaranya naik, itu pun tidak signifikan.
Tampaklah bahwa yang mendapatkan
manfaat dari keberhasilan pemerintahan SBY-JK hanyalah Partai Demokrat.
Perolehan Partai Demokrat pada Pemilu 2004 adalah 7,45 persen, pada Pemilu
2009 naik drastis menjadi 20,85 persen.
Koalisi partai-partai
pendukungnya, termasuk Partai Golkar, sama sekali tidak mendapatkan kenaikan
suara. Fenomena ini mungkin akan terulang kembali pada 2014. Hal itu bisa
kita lihat dari berbagai hasil survei saat ini.
Faktor lain yang menyebabkan
terus menurunnya suara partai Islam adalah sulitnya menemukan isu-isu
strategis yang mereka perjuangkan.
Meskipun mayoritas masyarakat
Indonesia beragama Islam, isu penegakan syariat Islam tidak banyak menarik
dukungan publik. Rakyat Indonesia tampaknya lebih tertarik pada isu-isu yang
berkaitan langsung dengan kebutuhan mereka dan perbaikan bangsa Indonesia ke
depan.
Sebagai satu-satunya partai
Islam yang suaranya naik pada Pemilu 2004, PKS tidak mengampanyekan penegakan
syariat Islam. Slogan ”Bersih dan Peduli” yang mereka usung justru diminati
publik.
Menurut Giora Eliraz (Islam and Polity in Indonesia: An
Intriguing Case Study, 2007), kemenangan PKS dalam Pemilu 2004 karena
mereka bisa membangun citra sebagai partai yang bersih dan peduli problem
masyarakat. Mereka juga berusaha menampilkan diri sebagai partai Islam yang
terbuka dan pluralis.
Menurunnya performa dan suara
partai Islam juga tidak bisa dipisahkan dari faktor perpecahan dalam internal
mereka. Hal itu tampak dari PKB yang pecah dan melahirkan PKBI.
PAN yang dianggap tidak
mengakomodasi kubu muda Muhammadiyah akhirnya melahirkan PMB, konflik PPP
melahirkan PBR, dan sebagainya. Yang terbaru adalah perpecahan kubu
”sejahtera” dan kubu ”keadilan” dalam tubuh PKS.
Konflik internal di kalangan
partai Islam itu juga dipicu oleh terlalu dominannya tokoh tertentu.
Misalnya, Amien Rais di PAN, Gus Dur di PKB, Hilmy Aminuddin di PKS, dan
sebagainya.
Tokoh-tokoh itu secara tidak
langsung mengembangkan ”feodalisme politik” yang menyebabkan tersumbatnya
demokrasi di tubuh partai-partai Islam.
Faktor penting lain tentu saja
adalah persoalan korupsi banyak tokoh partai Islam. Tertangkapnya Luthfi
Hasan Ishaaq yang saat itu Presiden PKS memengaruhi citra PKS di mata publik.
Kasus korupsi ini tidak hanya
dialami PKS, tetapi juga partai-partai Islam lainnya. Publik menjadi apatis
dan mempertanyakan komitmen keislaman dan keagamaan mereka.
Tantangan lain yang menurunkan
suara partai Islam adalah pendirian sayap-sayap Islam dalam partai-partai
nasionalis. PDI-P dengan Baitul Musliminnya, Demokrat dengan Majelis Dzikir
SBY, dan Gerindra dengan GEMIRA (Gerakan Muslim Indonesia Raya).
Berkaitan dengan itu,
partai-partai Islam seharusnya segera mengevaluasi dan merumuskan model
politik baru.
Partai Islam seyogianya mau
menjadikan dirinya partai yang bersih dan berkomitmen melawan korupsi,
membangun asketisme politik dan kemakmuran rakyat.
Jangan sampai mereka teriak
tentang penegakan nilai-nilai Islam, tetapi di belakang getol korupsi.
Selain itu, partai Islam harus
mau belajar dari cara berpolitik dan model politisi Islam zaman dulu yang
terkenal brilian dan mengabdikan hidupnya untuk rakyat.
Saat ini tidak ada tokoh partai
Islam yang kualitas dan karismanya menyamai tokoh-tokoh bangsa, seperti Agus
Salim, Natsir, Buya Hamka, dan Mohammad Roem.
Masih ada waktu bagi
partai-partai Islam untuk mengupayakan agar mampu bersaing dengan
partai-partai nasionalis dan berkontribusi pada masa depan bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar