Rabu, 12 Maret 2014

“Quo Vadis” Partai Politik Islam

“Quo Vadis”  Partai Politik Islam

Ahmad Fuad Fanani  ;   Direktur Riset Maarif Institute for Culture and Humanity; Pengajar di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KOMPAS,  11 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
DALAM Pemilu Legislatif dan Pilpres 2014, tampaknya performa partai-partai Islam belum meningkat. Jika dibandingkan partai-partai nasionalis, menurut beberapa survei terakhir, suara partai Islam pada Pemilu 2014 malah diperkirakan turun.

Survei LSI Network pada Maret 2013, misalnya, menunjukkan bahwa partai nasionalis seperti PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Demokrat, Nasdem, Hanura, dan Gerindra akan memperoleh 70 persen dan partai Islam sisanya. Dalam beberapa survei lain, popularitas dan elektabilitas tokoh-tokoh partai Islam juga tertinggal dibandingkan para tokoh nasionalis.

Melihat kondisi itu, sebagian politisi partai Islam pesimis. Sebagian yang lain tetap optimis bahwa partai Islam akan tetap eksis dengan berbagai prasyarat untuk mengatasi masalah-masalah mendasar.

Masalah dan tantangan

Meningkatnya Islamisasi atau santrinisasi di Indonesia (MC Ricklefs, 2012) ternyata tidak berkorelasi positif dengan peningkatan suara partai Islam. Meskipun partai Islam masuk ke kekuasaan sepanjang pemilu 1999-2009, keberadaan mereka di pemerintahan tidak banyak berdampak pada perolehan suara.

Memang partai Islam ketika berkuasa mendapatkan resources dan capital untuk membiayai partai politik yang tidak murah. Namun, dalam soal suara, mereka sekadar mempertahankan perolehan suara agar lolos electoral and parliamentary threshold.
Contohnya adalah Partai Bulan Bintang (PBB) yang pada tahun 2004 menjadi sponsor utama pencalonan SBY dan JK. Pada Pemilu 2009, perolehan suara PBB turun dan tidak lolos ambang batas suara di parlemen. PKS saja yang suaranya naik, itu pun tidak signifikan.

Tampaklah bahwa yang mendapatkan manfaat dari keberhasilan pemerintahan SBY-JK hanyalah Partai Demokrat. Perolehan Partai Demokrat pada Pemilu 2004 adalah 7,45 persen, pada Pemilu 2009 naik drastis menjadi 20,85 persen.

Koalisi partai-partai pendukungnya, termasuk Partai Golkar, sama sekali tidak mendapatkan kenaikan suara. Fenomena ini mungkin akan terulang kembali pada 2014. Hal itu bisa kita lihat dari berbagai hasil survei saat ini.

Faktor lain yang menyebabkan terus menurunnya suara partai Islam adalah sulitnya menemukan isu-isu strategis yang mereka perjuangkan.

Meskipun mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, isu penegakan syariat Islam tidak banyak menarik dukungan publik. Rakyat Indonesia tampaknya lebih tertarik pada isu-isu yang berkaitan langsung dengan kebutuhan mereka dan perbaikan bangsa Indonesia ke depan.

Sebagai satu-satunya partai Islam yang suaranya naik pada Pemilu 2004, PKS tidak mengampanyekan penegakan syariat Islam. Slogan ”Bersih dan Peduli” yang mereka usung justru diminati publik.

Menurut Giora Eliraz (Islam and Polity in Indonesia: An Intriguing Case Study, 2007), kemenangan PKS dalam Pemilu 2004 karena mereka bisa membangun citra sebagai partai yang bersih dan peduli problem masyarakat. Mereka juga berusaha menampilkan diri sebagai partai Islam yang terbuka dan pluralis.

Menurunnya performa dan suara partai Islam juga tidak bisa dipisahkan dari faktor perpecahan dalam internal mereka. Hal itu tampak dari PKB yang pecah dan melahirkan PKBI.

PAN yang dianggap tidak mengakomodasi kubu muda Muhammadiyah akhirnya melahirkan PMB, konflik PPP melahirkan PBR, dan sebagainya. Yang terbaru adalah perpecahan kubu ”sejahtera” dan kubu ”keadilan” dalam tubuh PKS.

Konflik internal di kalangan partai Islam itu juga dipicu oleh terlalu dominannya tokoh tertentu. Misalnya, Amien Rais di PAN, Gus Dur di PKB, Hilmy Aminuddin di PKS, dan sebagainya.

Tokoh-tokoh itu secara tidak langsung mengembangkan ”feodalisme politik” yang menyebabkan tersumbatnya demokrasi di tubuh partai-partai Islam.

Faktor penting lain tentu saja adalah persoalan korupsi banyak tokoh partai Islam. Tertangkapnya Luthfi Hasan Ishaaq yang saat itu Presiden PKS memengaruhi citra PKS di mata publik.

Kasus korupsi ini tidak hanya dialami PKS, tetapi juga partai-partai Islam lainnya. Publik menjadi apatis dan mempertanyakan komitmen keislaman dan keagamaan mereka.

Tantangan lain yang menurunkan suara partai Islam adalah pendirian sayap-sayap Islam dalam partai-partai nasionalis. PDI-P dengan Baitul Musliminnya, Demokrat dengan Majelis Dzikir SBY, dan Gerindra dengan GEMIRA (Gerakan Muslim Indonesia Raya).

Berkaitan dengan itu, partai-partai Islam seharusnya segera mengevaluasi dan merumuskan model politik baru.

Partai Islam seyogianya mau menjadikan dirinya partai yang bersih dan berkomitmen melawan korupsi, membangun asketisme politik dan kemakmuran rakyat.
Jangan sampai mereka teriak tentang penegakan nilai-nilai Islam, tetapi di belakang getol korupsi.

Selain itu, partai Islam harus mau belajar dari cara berpolitik dan model politisi Islam zaman dulu yang terkenal brilian dan mengabdikan hidupnya untuk rakyat.

Saat ini tidak ada tokoh partai Islam yang kualitas dan karismanya menyamai tokoh-tokoh bangsa, seperti Agus Salim, Natsir, Buya Hamka, dan Mohammad Roem.

Masih ada waktu bagi partai-partai Islam untuk mengupayakan agar mampu bersaing dengan partai-partai nasionalis dan berkontribusi pada masa depan bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar