Jakarta
Kota Pluralisme
Sabam Sirait ;
Politikus Senior
|
MEDIA
INDONESIA, 12 Maret 2014
|
JIKA ada orang yang mengatakan
Jakarta milik suku Betawi, hal itu tidak sepenuhnya benar. Saya berkata
begitu bukan karena saya orang Batak, melainkan karena memang begitulah
sejarah mencatat.
Dalam buku Jakarta, Sejarah 400
Tahun, yang ditulis Susan Blackburn, disebutkan bahwa cikal bakal kota ini
ialah Sunda Kelapa, pelabuhan laut yang masuk wilayah Kerajaan Pajajaran yang
berpusat di sekitar Bogor. Keberadaan Pelabuhan Sunda Kelapa, yang berada di
muara Kali Ciliwung itu, tercatat sekitar abad ke-12.
Pertengahan abad ke-16,
tepatnya di 1527, Sunda Kelapa ditaklukkan Fatahillah--seorang panglima
perang Kerajaan Banten. Fatahillah berhasil mengusir serdadu Portugis yang
menjaga pelabuhan itu lalu mengubah nama pelabuhan itu menjadi Jayakarta.
Pada 1619, Jayakarta direbut
pasukan VOC, organisasi perhimpunan perusahaan Belanda, yang kemudian
mengubah lagi nama kota pelabuhan itu menjadi Batavia. Di masa penjajahan
Belanda, Batavia atau Jakarta sudah dihuni berbagai macam suku bangsa
pribumi--seperti Sunda, Jawa, Melayu, Bali, Bugis, dan Ambon--serta
orang-orang Tionghoa, Arab, India, Portugis, dan tentu saja Belanda. Dalam
data sensus penduduk Jakarta 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai
golongan etnik tersebut. Namun, menariknya, tidak ada catatan mengenai
golongan etnik Betawi.
Menurut para sejarawan dan
antropolog, Betawi sebagai kategori etnik baru muncul pertengahan abad ke-19.
Di masa itu, kaum bumiputra dari berbagai macam suku yang bermukim di Batavia
meningkat pesat sehingga pemerintah kolonial tak dapat lagi membagi komunitas
orang bumiputra menjadi kelompok-kelompok etnik tersendiri. Dengan demikian,
pada abad ke-19, orang Indonesia yang dilahirkan di Batavia secara umum
disebut orang Betawi sebagai pengakuan bahwa orang Indonesia di kota itu
membentuk sebuah kelompok etnik tersendiri.
Pengakuan terhadap adanya orang
Betawi sebagai sebuah kelompok etnik dan sebagai satuan sosial dan politik
baru muncul pada 1923, saat Mohammad Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi,
mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang
Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Sifat campur aduk dalam
kebudayaan Betawi ialah cerminan dari hasil pengaruh berbagai macam
kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun
kebudayaan asing.
Ketika saya pertama kali menginjakkan
kaki ke Jakarta, di awal 1950-an, warga Jakarta sudah makin beragam. Pendu
duk Jakarta terdiri dari berbagai kelompok etnik yang sangat ba nyak
jumlahnya. Memang orang Betawi, Sunda, Jawa-Madura, dan keturunan China masih
merupakan bagian mayoritas. Namun, orang-orang dari Sumatra--dari suku
Minangkabau, Batak, Melayu, dan Palembang -serta dari penjuru Indonesia
lainnya--seperti Bugis-Makassar, Minahasa, Bali, Banjar, Ambon, dan
Papua--makin bertambah banyak.
Dengan melihat dari sejarah nya
yang panjang, sesungguhnya identitas masyarakat Jakarta, sebagaimana
Indonesia, sejatinya ialah masyarakat yang plural atau beragam. Karena itu,
jika ada sekelompok orang yang masih menghembuskan isu SARA di Jakarta, jika
masih ada kelompok yang merasa agamanya atau sukunya yang paling berhak
tinggal di Jakarta, seyogianya mereka harus banyak membaca sejarah kota ini.
Pada titik inilah kita harus
terus menjaga keberagaman Jakarta karena hal itu ialah fakta sejarah.
Masyarakat dari berbagai etnik, suku, dan agama harus saling menghormati dan
meng hargai satu sama lain. Setiap kita harus mampu membedakan mana urusan
pribadi dan mana urusan publik.
Segala urusan yang menyangkut
kepentingan publik harus didudukkan pada konteks dan situasi yang objektif.
Pembangunan kota, penetapan para aparatur pemerintah, pemberdayaan penduduk,
peng entasan rakyat dari kemiskinan, penanggulangan banjir, dan segala
penanganan masalah yang ada di Jakarta harus dikerjakan secara proporsional
dan profesional, bukan malah menggaungkan sentimen etnik dan agama tertentu.
Penghargaan terhadap keberagaman
ini harus mewujud dalam praktik kehidupan sehari hari masyarakat Jakarta.
Misal nya, membatasi wilayah-wilayah di Jakarta pada pengelompokan etnik
tertentu. Seluruh wilayah di Jakarta, meskipun terdapat suatu etnik yang
dominan, tetap tidak diperbolehkan untuk menjadi kawasan yang khusus bagi
etnik tersebut. Berbagai etnik dan agama harus menyebar secara merata di
berbagai wilayah Jakarta. Jangan sampai muncul anggapan bahwa wilayah
tertentu di Jakarta hanya dihuni etnik dan agama tertentu. Kalau itu yang
terjadi, niscaya akan muncul penguatan identitas kelompok dalam masyarakat
Jakarta yang akan semakin membesar.
Memang dibutuhkan ketegasan dari
aparatur Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menata dan menjaga keberagaman
di Jakarta. Keberagaman harus mewujud dalam berbagai kebijakan pemerintah.
Dengan demikian, pluralisme yang sejatinya ialah semangat dasar dari lahirnya
Kota Jakarta akan terus terjaga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar