Pemerintah
Pecah?
S Sinansari Ecip ;
Wartawan Senior dan Pengurus MUI
|
REPUBLIKA,
11 Maret 2014
|
Pada tahun lalu, pengurus harian
Majelis Ulama Indonesia (MUI) diterima Presiden SBY. Salah satu ucapan
Presiden yang sangat penting dalam pertemuan tersebut kurang lebih adalah, "Urusan halal itu di tangan
MUI." Selain pengurus MUI yang jumlahnya belasan orang, hadir juga
dalam pertemuan tersebut ialah Menko Kesra Agung Laksono, Mensesneg Sudi
Silalahi, Wamenag Nazarudin Syamsudin, dan Wamenkes. Yakin seyakin-yakinnya,
beliau-beliau itu mencatat pernyataan Presiden.
Puluhan tahun yang lalu, baru
sedikit orang atau lembaga yang peduli atas makanan dan minuman sehari-hari,
halal ataukah haram. Sejak 25 tahun yang lalu, MUI sebagai kemah besar umat
Islam Indonesia turun tangan.
Warga terbesar bangsa Indonesia
adalah Muslim. Mereka dalam mengonsumsi masukan ke dalam tubuhnya memerlukan
ketenangan, terutama dalam kaitan menjalankan syariah Islam. MUI melalui
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia
(LPPOM-MUI) bekerja sama dengan ahli-ahli Institut Pertanian Bogor (IPB) dan
ahli-ahli agama mulai merintisnya. Dalam kurun waktu yang dilalui, cukup banyak
yang dihasilkan. Tanda halal dari MUI banyak dicantumkan pada berbagai kemasan
makanan dan minuman. Restoran/warung menempelkan label tersebut.
MUI adalah lembaga swasta, sama
sekali bukan institusi negara apalagi pemerintah. MUI dapat bantuan APBN yang
sangat sedikit. Uang yang sedikit ini (Rp 3 miliar dalam satu tahun) sudah
dipertanggungjawabkan seperti seharusnya. LPPOM-MUI sama sekali tidak mendapat
bantuan negara. Jika LPPOM-MUI memasang tarif tertentu pada perusahaan yang
memeriksakan produknya adalah wajar. LPPOM-MUI mempunyai peralatan, keahlian,
kantor, karyawan, jasa, dll. Pemasukan keuangannya sudah diaudit secara
independen.
Tidak ada kewajiban melaporkan
keuangan kepada publik sebab bukan lembaga negara/pemerintah/publik. "Rumah sakit swasta tidak mempunyai
kewajiban melaporkan keuangannya kepada publik," demikian kurang
lebih ucapan Menag Suryadarma Ali memberikan perbandingan.
Tiba-tiba media massa ramai
meributkan proses sertifikasi halal MUI di luar negeri. Apalagi, MUI dituduh
menerima uang ratusan miliar rupiah untuk mengeluarkan izin tersebut. Hal
tersebut sudah dibantah. Dalam kaitan itu, MUI tidak terima uang sepeser pun.
Produsen daging di luar negeri, misalnya, tidak membayar kepada MUI, tetapi
ke lembaga setempat yang mendapat lampu hijau dari MUI. Untuk mendapatkan
"lampu hijau", lembaga itu harus didukung komunitas Muslim
setempat, ada ahli-ahli syariahnya, dan lain-lain. Berbagai tuduhan yang lain
juga dibantah oleh MUI.
Bersamaan dengan itu, DPR dan Kementerian
Agama (Kemenag) ramai. Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH)
bergegas dikerjakan lagi setelah beberapa waktu istirahat. Istilah
populernya, mereka sedang kejar tayang karena waktu kerja yang tersisa
tinggal berhitung bulan. Inti RUU JPH, antara lain, adalah peran MUI dalam
proses penghalalan produk, dihilangkan. Kemenag ingin urusan MUI itu
dipindahkan ke Kemenag, tentu saja dengan biaya negara.
DPR ingin menggeser peran MUI
tersebut dengan cara lain. Harus dibentuk komisi baru, lembaga independen kuasai
negara. Biayanya ditanggung oleh negara. Ini menambah jumlah lembaga sejenis
yang kini bertaburan. Lalu, MUI dikemanakan? Itulah yang belum jelas arahnya.
Tentu saja, MUI gundah setelah
dituduh dengan berita-berita yang kurang tepat, sekarang diombang-ambingkan
pemerintah (dalam hal ini Kemenag) dan DPR. Situasi
menjadi lebih riuh ketika menteri kesehatan (menkes) mengatakan kurang lebih,
obat-obatan secara keseluruhannya adalah halal. Menteri yang berganti agama
ke bukan Islam ini lupa bahwa apa saja yang masuk ke dalam tubuh melalui
mulut, menurut tatanan Islam pada umumnya adalah makanan/minuman. Tablet obat
harus diperiksa kehalalannya.
Bagaimana dengan
Presiden? Suaranya tidak terdengar meski sayup-sayup pun. MUI melalui surat
beberapa waktu yang lalu mengingatkan mensesneg akan ucapan Presiden SBY yang
sangat penting itu. Ucapan presiden yang sangat penting harus
ditindaklanjuti oleh bawahannya. Orang hanya menduga, mungkin di lingkaran
dekat Presiden, tidak ada tindak lanjut ucapan Presiden karena beliau-beliau
sedang sibuk. Masyarakat, apalagi sebagian besar masyarakat (yang Muslim),
harus dilayani.
Di Kemenag, apa yang menjadi
niat menghilangkan peran MUI sepertinya harus berjalan terus. Apakah wamenag
yang hadir dalam pertemuan Presiden SBY dengan MUI tidak melapor ke
menterinya? Logikanya, wamen mestilah me lapor kepada menteri. Biarlah anjing
menggonggong kafilah berlalu. Jadi, ucapan presiden hanya dianggap sebagai
"anjing menggonggong"? Ucapan presiden tidak ditindaklanjuti oleh
bawahannya.
Dengan demikian, adakah Menag
membangkang atau melawan Presiden? Itu sepertinya tidak masuk akal. Akan tetapi,
di Indonesia apa yang tidak masuk akal bisa masuk akal. Ataukah Presiden
secara diam-diam memerintahkan Menag agar jalan terus? Itu sepertinya tidak
masuk akal. Atau kemungkinan ketiga. Terjadi perpecahan dalam pemerintah. Itu
faktual dan bisa masuk akal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar