Senin, 10 Maret 2014

Prabowo dan Wiranto : Subplot Militer dalam Panggung Politik

Prabowo dan Wiranto :

Subplot Militer dalam Panggung Politik

Seno Gumira Ajidarma  ;   Wartawan
TEMPO.CO,  10 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
Jika teater bisa politis, seperti Shakespeare menyebut Denmark padahal maksudnya Inggris, dan penonton tahu belaka siapa penguasa dan situasi politik yang terungkap di panggung, sebaliknya, dunia politik juga bisa dramatis. Tepatnya, politik dapat disaksikan seperti menonton teater, yang mendapatkan dimensi tersendiri karena "sungguh-sungguh terjadi". Dalam panggung politik dewasa ini, jika alur utama (plot) yang terlihat dalam lakon Balapan Jadi Presiden adalah "mengejar Jokowi", penonton teater politik Indonesia bisa menyaksikan alur bawahan (subplot) yang melibatkan dua nama: Prabowo Subianto dan Wiranto.

Kedua nama ini sudah tertempatkan dalam situasi dramatik sejak hiruk-pikuk Reformasi 1998, ketika Wiranto sebagai panglima ABRI yang mengikuti angin politik saat itu, bukan hanya melepaskan Prabowo dari jabatannya, melainkan juga dari keanggotaannya dalam satu-satunya lembaga resmi kemiliteran negara. Tidak seperti bidang pengabdian lain, jika ingin menjadi tentara yang sah, tiada tempat selain ABRI (kini TNI) yang bisa menampungnya. Bagi Prabowo, bakat dan impiannya berada di dunia militer serta perjalanan kariernya boleh disepakati sebagai lancar-sehingga wajar jika ia sempat mengandaikan dirinya sebagai panglima pula. Jelas, peristiwa ini merupakan pukulan.

Saya tidak akan membahas salah-benarnya Prabowo dalam kasus Tim Mawar, melainkan bahwa dari sisi dramaturgi, penonton tergiring untuk menafsirkan betapa keputusan Prabowo untuk terjun dalam dunia politik terasal-usulkan dari peristiwa itu. Foto-foto berita pelepasan tanda kemiliteran Prabowo oleh Wiranto, sejauh saya tahu, tidak ada yang pernah mendapat penghargaan sebagai karya fotografi. Tapi itulah foto yang melekat dalam kepala banyak orang, karena konteks pemberitaannya. Waktu memandangnya, saya bertanya-tanya apakah kiranya yang berada dalam benak Wiranto dan bagaimana perasaan Prabowo saat itu.

Pencapaian Prabowo dalam bisnis, betapapun suksesnya secara finansial, tidak akan bisa mengganti apa yang telah dialaminya. Tapi, melalui politik mungkin bisa, karena hanya melalui politik kejatuhannya dalam militer dapat ditebus dengan setara, bahkan diatasi. Misalnya, menjadi Presiden RI. Dalam psikologi, terdapatlah motivasi, yang disadari ataupun tidak, mendorong arah kehidupan seseorang. Tapi, jika karakterologi dalam seni drama mengadopsi pemahaman itu untuk memperlihatkannya di panggung, ini tidak terjadi dalam pentas politik yang paling teatrikal sekalipun.

Boleh diamati, seberapa jauh Prabowo telah berkomentar tentang Wiranto dan seberapa jauh Wiranto telah berkomentar tentang Prabowo di media massa. Nyaris tidak ada. Di panggung politik, dua karakter inilah yang menonjol dengan latar belakang militer. Tapi, sebagai orang militer pun keduanya bukan dari jenis yang memiliki jejak politik seperti Ali Moertopo dulu-suatu "keanehan" yang lebih mungkin menjadi tidak aneh justru dalam hubungan historis antar-keduanya.

Dengan latar belakang militer, tanpa reputasi sosial-politik sebelumnya, strategi militer dalam mempertahankan, menembus, dan menguasai wilayah baru tentunya adalah strategi paling dikenal dan diakrabi keduanya. Perlu modifikasi dalam penerapan strategi itu ke dunia politik, sebagaimana strategi perang kuna Sun Tzu dan strategi pertarungan Musashi telah diterapkan ke dunia bisnis dan manajemen. Mungkinkah doktrin Clausewitz yang diserap Dwifungsi ABRI (Susanto & Supriatma, 1995: 33-9) masih ada jejaknya?

Partai Hanura (Hati Nurani) yang dipimpin Wiranto berdiri pada 2006, sedangkan Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) yang dipimpin Prabowo berdiri pada 2008. Dari banyak partai, keduanya kini termasuk partai yang bisa diingat. Mengikuti pendataan Indonesia Indicator pada 377 media daring, terhitung dari Ahad, 9 Maret 2014, dalam setahun terakhir Gerindra tersebutkan dalam 20.351 berita dan Hanura dalam 15.892 berita. Adapun Prabowo tersebutkan dalam 9.389 berita dan Wiranto dalam 4.120 berita. Jika melihat perkembangan tujuh hari mutakhir, Gerindra dalam 783 berita dan Hanura dalam 397 berita, sementara Prabowo meraup 316 berita dan Wiranto tersebutkan dalam 30 berita, tampak gejala bahwa Hanura lebih populer daripada Wiranto dan, sebaliknya, Prabowo lebih populer daripada Gerindra-masing-masing membawa untung-rugi tersendiri.

Jika motivasi Prabowo dalam politik terhubungkan dengan masalah internal militer, ataupun usaha menunjukkan siapa dirinya kepada dunia, apakah kiranya motivasi Wiranto? Partai Hanura didirikan lebih dulu daripada Partai Gerindra, tetapi tidak harus dianggap sebagai antisipasi Wiranto terhadap pergerakan Prabowo. Sebagai kubu, Hanura toh mestinya bertindak efisien untuk bertahan terhadap ancaman apa pun, termasuk masalah Timor Timur pada 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar