Hari
Musik Nasional Sekadar Seremoni?
Denny Sakrie ;
Pengamat Musik
|
TEMPO.CO,
10 Maret 2014
Setiap 9
Maret, kita merayakan Hari Musik Nasional-yang bertujuan menghargai
karya-karya musik dalam negeri serta menunjukkan rasa hormat dan rasa
memiliki atas karya musik bangsa sendiri. Ini tentunya merupakan upaya mulia
terhadap musik Indonesia sebagai heritage
(warisan) yang harus dijaga dan dilestarikan keberadaannya dari era terdahulu
hingga sekarang.
Namun,
apakah setelah 10 tahun mencanangkan 9 Maret sebagai Hari Musik Nasional
problematika musik Indonesia telah mendapat perhatian dari kita semua?
Rasanya sangat berat untuk menyebut pencanangan Hari Musik Nasional memiliki
dampak secara langsung terhadap persoalan-persoalan yang muncul dalam dunia
musik Indonesia. Persoalan musik telanjur kompleks sejak beberapa dasawarsa
sebelumnya. Misalnya, perihal pendokumentasian musik Indonesia dari ranah
tradisional hingga ke ranah industri musik-yang nyaris tak berbekas.
Ironisnya,
data-data tentang musik Indonesia, dari era kolonialisme hingga masa selepas
kemerdekaan, justru ditemukan secara runut dan rapi di negara lain seperti
Belanda. Penelitian-penelitian musik secara komprehensif justru lebih banyak
dilakukan bangsa asing seperti Jepang hingga Amerika Serikat. Negara kita
bahkan tak memiliki museum musik sama sekali. Yang terlihat justru pendokumentasian
musik Indonesia, terutama untuk era rekaman musik, yang dilakukan oleh
komunitas-komunitas penikmat dan pencinta musik Indonesia secara parsial.
Masalah
yang paling krusial dan nyaris tanpa solusi serta perhatian yang serius dari
pemerintah kita adalah masalah pembajakan dan pelanggaran terhadap hak cipta
musik. Lihatlah betapa merana pemusik Indonesia dalam menjalani masa depan
mereka yang tak jelas, karena tak adanya kepedulian terhadap penerapan
royalti untuk karya-karya yang mereka hasilkan. Pemerintah pun agaknya
setengah hati dalam memberantas dan menuntaskan praktek pembajakan musik,
terutama ketika platform teknologi
musik digital kian marak dipergunakan masyarakat.
Kita tak
pernah peduli terhadap kazanah musik kita yang begitu kaya dan beragam, dari
Sabang hingga Merauke. Kita hanya bisa marah ketika Malaysia pernah mengklaim
lagu Rasa Sayange sebagai lagu
milik mereka. Ini tak lebih sebagai sebuah paradoks yang terus berkepanjangan
dari dulu hingga sekarang.
Sebetulnya,
masalah-masalah besar dalam dunia musik Indonesia seperti yang saya paparkan
itulah yang patut menjadi titik perhatian kita semua dalam merayakan Hari
Musik Nasional. Momen inilah yang tepat dipergunakan untuk mengadakan gerakan
perubahan yang signifikan, bukan hanya melakukan perayaan seremonial seperti
lomba lagu daerah atau kegiatan memutar lagu-lagu Indonesia di radio-radio
ataupun stasiun televisi. Sebab, sejak 10 tahun terakhir ini, dalam
kenyataannya toh musik Indonesia harus diakui telah menjadi tuan rumah di
negeri sendiri.
Semoga
mulai 2014 ini, Hari Musik Nasional tak hanya berhenti sebagai seremoni
belaka, tapi juga memunculkan kesadaran kita bersama untuk merawat dan
menjaga musik karya bangsa sendiri. Selamat
Hari Musik Nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar