Potret
Anomali Dosen Kita
Sudaryanto ;
Dosen FKIP Universitas Ahmad Dahlan,
Yogyakarta
|
HALUAN,
08 Maret 2014
Ada
pernyataan menarik dari pengamat pendidikan Dr. Muhammad Abduh Zen, beberapa
waktu lalu. Ia menyatakan, animo dosen di perguruan tinggi untuk menulis buku
masih rendah. Padahal idealnya seorang dosen harus terbiasa menulis buku
sebagai bentuk karya ilmiah akademik. Pernyataan doktor lulusan UPI itu
hampir disetujui oleh banyak pihak, termasuk saya. Apa dan bagaimana
mengatasi penyebab dosen malas menulis buku?
Beberapa
waktu lalu, Rektor Undip (saat itu) Prof. Dr. Eko Budihardjo mengungkapkan
bahwa seorang dosen idealnya menulis satu buku tiap tahun. Ungkapan mantan
Ketua Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) itu ternyata diwujudkan oleh rekan
saya, Dr Rina Ratih Sri Sudaryani. Beliau merupakan salah seorang dosen di
Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan yang
cukup produktif menulis buku, selain juga artikel jurnal.
Bagi
Rina Ratih yang juga doktor sastra lulusan UGM, menulis buku tiap tahun
merupakan sarana ungkapan syukur kepada Ilahi yang telah memberikannya nikmat
hidup. Ia menerbitkan buku setiap bulan April, mengingat 2 April merupakan
tanggal kelahirannya. Di tengah saldo kesibukannya yang luar biasa, antara
lain mengajar dan membimbing mahasiswa, mengurus keluarga, serta aktivitas
lainnya, Bu Rina tetap bisa menulis dan menerbitkan buku.
Tingginya Saldo Mengajar
Atas
fenomena rendahnya minat menulis para dosen kita, saya mencatat tiga hal
sebagai penyebabnya. Pertama, tingginya saldo kewajiban mengajar di kampus.
Bayangkan, seorang dosen mengajar lebih dari 20 SKS dalam seminggu, belum
lagi ditambah dengan kesibukan lainnya. Dalam kondisi demikian, apakah dosen
tersebut tetap bisa meluangkan waktu untuk membaca, menulis, dan merenung
sehingga menghasilkan pemikiran yang jernih dan inovatif?
Berdasarkan
pengalaman pribadi, saya betul-betul “tersiksa”
ketika memperoleh kewajiban mengajar lebih dari 20 SKS per minggu. Tapi
untungnya, saya masih bisa menyiasatinya dengan rutin menulis artikel. Hampir
tiap bulan 2-3 artikel saya berhasil dimuat di sejumlah media massa lokal dan
nasional. Selain itu, saya pun dapat menulis sebuah makalah untuk prosiding
seminar di sebuah PTS di Semarang, Jawa Tengah.
Di luar
dugaan, saya ternyata mendapatkan tawaran menulis buku dari salah satu
penerbit di Yogyakarta. Buku itu saya tulis di tengah-tengah kesibukan saya
mengajar di kampus serta aktivitas lainnya. Singkat cerita, sekalipun para
dosen sibuk mengajar dan membimbing skripsi mahasiswa, peluang menulis buku
tetap terbuka lebar. Hal ini tentu menuntut para dosen untuk pintar-pintar
membagi waktu, antara lain, mengajar, membaca literatur, dan menulis buku.
Kedua,
nihilnya sanksi bagi para dosen yang malas menulis. Sepanjang karier saya
sebagai dosen, belum pernah terdengar kabar kaprodi/dekan memberikan sanksi
bagi dosen selaku bawahan karena dosen bersangkutan malas menulis. Entah karena
sungkan atau alasan lain, kaprodi/dekan cenderung bersikap abai terhadap
dosen yang malas menulis. Saya kira, sikap abai tersebut harus diperbaiki demi
peningkatan kualitas pengembangan diri dosen.
Menurut
pengakuan Dr. Bambang Sumintomo, dosen Universiti Teknologi Malaysia, para
dosen di kampus UTM memiliki kewajiban publikasi ilmiah. Mereka, terutama
dosen bergelar doktor, diwajibkan menulis dan presentasi karya ilmiah di luar
negeri, serta jurnal internasional. Saya tak hendak membanding-bandingkan
dengan para dosen di UTM, mengingat atmosfer kinerja dan akademik dosen kita
sangat jauh berbeda dengan mereka.
Namun,
yang ingin saya garis bawahi ialah bahwa pihak kampus UTM memberikan kewajiban
kepada para dosennya untuk menulis. Tentu, apabila menulis dijadikan sebagai
kewajiban bagi para dosen UTM, maka hal itu berimplikasi kepada hak atas kewajiban
tadi berupa insentif. Selain itu, yang tak kalah penting ialah, tersedianya
sarana dan prasarana di kampus UTM berupa akses internet terhadap jurnal internasional
yang cepat dan memadai.
Rendahnya Royalti Buku
Ketiga,
rendahnya jumlah royalti buku yang diterima. Sepengetahuan saya, rata-rata
penerbit buku di Indonesia memberikan royalti buku sebesar 10 persen kepada
penulis buku. Sementara itu, 90 persen lainnya tersedot untuk biaya
operasional penerbit dan distributor. Barangkali, hal itu yang menyebabkan
kenapa para dosen kita enggan (atau malas?) menulis buku. Mereka pun lebih
memilih sibuk mengajar di kelas ketimbang menulis buku.
Bagi
para dosen kita, mengajar mahasiswa lebih mudah daripada menulis buku.
Sebelum mengajar, seorang dosen biasanya cukup membuat materi berupa
powerpoint. Ada kalanya materi tersebut cukup dikopi ulang (copy paste) dari tahun lalu sehingga
tak ada unsur kebaruan di dalamnya. Atau yang banyak terjadi para dosen kita
hanya mengacu buku/referensi “jadul”
tatkala ia menempuh studi sarjana (S-1) sekian tahun yang lalu. Sungguh
potret anomali bukan?
Situasi
di atas sangat jauh berbeda dengan saat menulis buku. Apabila seorang dosen
ingin menulis buku, mau tidak mau, ia pun “dipaksa” untuk membaca
buku/referensi mutakhir. Di samping itu, ia juga harus pandai menyesuaikan
gaya penulisan yang lebih populer serta mudah dipahami oleh pembaca.
Sementara buku itu nantinya akan laris atau tidak, itu merupakan urusan nomor
sekian. Yang penting seorang dosen mau menulis terlebih dahulu.
Tapi,
satu hal yang tak kalah penting bahwa apabila para dosen menyadari bahwa
dirinya ialah tokoh intelektual, semestinya menulis buku menjadi salah satu
jalan untuk berkontribusi demi perbaikan bangsa-negara ini. Kata Buya Syafii,
membaca, menulis, dan merenung merupakan kegiatan utama bagi seorang dosen.
Apabila ada seorang dosen tak mau melakukan ketiga kegiatan tadi, lanjut Buya
Syafii, maka ia tak pantas menyandang predikat dosen. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar