Minggu, 09 Maret 2014

Potret Anomali Dosen Kita

Potret Anomali Dosen Kita

Sudaryanto  ;   Dosen FKIP Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
HALUAN,  08 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
Ada pernyataan menarik dari pengamat pendidikan Dr. Muhammad Abduh Zen, beberapa waktu lalu. Ia menyatakan, animo dosen di perguruan tinggi untuk menulis buku masih rendah. Padahal idealnya seorang dosen harus terbiasa menulis buku sebagai bentuk karya ilmiah akademik. Pernyataan doktor lulusan UPI itu hampir disetujui oleh banyak pihak, termasuk saya. Apa dan bagaimana mengatasi penyebab dosen malas menulis buku?

Beberapa waktu lalu, Rektor Undip (saat itu) Prof. Dr. Eko Budihardjo mengungkapkan bahwa seorang dosen idealnya menulis satu buku tiap tahun. Ungkapan mantan Ketua Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) itu ternyata diwujudkan oleh rekan saya, Dr Rina Ratih Sri Sudaryani. Beliau merupakan salah seorang dosen di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan yang cukup produktif menulis buku, selain juga artikel jurnal.

Bagi Rina Ratih yang juga doktor sastra lulusan UGM, menulis buku tiap tahun merupakan sarana ungkapan syukur kepada Ilahi yang telah memberikannya nikmat hidup. Ia menerbitkan buku setiap bulan April, mengingat 2 April merupakan tanggal kelahirannya. Di tengah saldo kesibukannya yang luar biasa, antara lain mengajar dan membimbing mahasiswa, mengurus keluarga, serta aktivitas lainnya, Bu Rina tetap bisa menulis dan menerbitkan buku.

Tingginya Saldo Mengajar

Atas fenomena rendahnya minat menulis para dosen kita, saya mencatat tiga hal sebagai penyebabnya. Pertama, tingginya saldo kewajiban mengajar di kampus. Bayangkan, seorang dosen mengajar lebih dari 20 SKS dalam seminggu, belum lagi ditambah dengan kesibukan lainnya. Dalam kondisi demikian, apakah dosen tersebut tetap bisa meluangkan waktu untuk membaca, menulis, dan merenung sehingga menghasilkan pemikiran yang jernih dan inovatif?

Berdasarkan pengalaman pribadi, saya betul-betul “tersiksa” ketika memperoleh kewajiban mengajar lebih dari 20 SKS per minggu. Tapi untungnya, saya masih bisa menyiasatinya dengan rutin menulis artikel. Hampir tiap bulan 2-3 artikel saya berhasil dimuat di sejumlah media massa lokal dan nasional. Selain itu, saya pun dapat menulis sebuah makalah untuk prosiding seminar di sebuah PTS di Semarang, Jawa Tengah.

Di luar dugaan, saya ternyata mendapatkan tawaran menulis buku dari salah satu penerbit di Yogyakarta. Buku itu saya tulis di tengah-tengah kesibukan saya mengajar di kampus serta aktivitas lainnya. Singkat cerita, sekalipun para dosen sibuk mengajar dan membimbing skripsi mahasiswa, peluang menulis buku tetap terbuka lebar. Hal ini tentu menuntut para dosen untuk pintar-pintar membagi waktu, antara lain, mengajar, membaca literatur, dan menulis buku.

Kedua, nihilnya sanksi bagi para dosen yang malas menulis. Sepanjang karier saya sebagai dosen, belum pernah terdengar kabar kaprodi/dekan memberikan sanksi bagi dosen selaku bawahan karena dosen bersangkutan malas menulis. Entah karena sungkan atau alasan lain, kaprodi/dekan cenderung bersikap abai terhadap do­sen yang malas menulis. Saya kira, sikap abai tersebut harus diperbaiki demi peningkatan kualitas pengembangan diri dosen.

Menurut pengakuan Dr. Bambang Sumintomo, dosen Universiti Teknologi Malaysia, para dosen di kampus UTM memiliki kewajiban publikasi ilmiah. Mereka, terutama dosen bergelar doktor, diwajibkan menulis dan presentasi karya ilmiah di luar negeri, serta jurnal internasional. Saya tak hendak membanding-bandingkan dengan para dosen di UTM, mengingat atmosfer kinerja dan akademik dosen kita sangat jauh berbeda dengan mereka.

Namun, yang ingin saya garis bawahi ialah bahwa pihak kampus UTM memberikan kewajiban kepada para dosennya untuk menulis. Tentu, apabila menulis dijadikan sebagai kewajiban bagi para dosen UTM, maka hal itu berimplikasi kepada hak atas kewajiban tadi berupa insentif. Selain itu, yang tak kalah penting ialah, tersedianya sarana dan prasarana di kampus UTM berupa akses internet terhadap jurnal internasional yang cepat dan memadai.

Rendahnya Royalti Buku

Ketiga, rendahnya jumlah royalti buku yang diterima. Sepengetahuan saya, rata-rata penerbit buku di Indonesia memberikan royalti buku sebesar 10 persen kepada penulis buku. Sementara itu, 90 persen lainnya tersedot untuk biaya operasional penerbit dan distributor. Barangkali, hal itu yang menyebabkan kenapa para dosen kita enggan (atau malas?) menulis buku. Mereka pun lebih memilih sibuk mengajar di kelas ketimbang menulis buku.

Bagi para dosen kita, mengajar mahasiswa lebih mudah daripada menulis buku. Sebelum mengajar, seorang dosen biasanya cukup membuat materi berupa powerpoint. Ada kalanya materi tersebut cukup dikopi ulang (copy paste) dari tahun lalu sehingga tak ada unsur kebaruan di dalamnya. Atau yang banyak terjadi para dosen kita hanya mengacu buku/referensi “jadul” tatkala ia menempuh studi sarjana (S-1) sekian tahun yang lalu. Sungguh potret anomali bukan?

Situasi di atas sangat jauh berbeda dengan saat menulis buku. Apabila seorang dosen ingin menulis buku, mau tidak mau, ia pun “dipaksa” untuk membaca buku/referensi mutakhir. Di samping itu, ia juga harus pandai menyesuaikan gaya penulisan yang lebih populer serta mudah dipahami oleh pembaca. Sementara buku itu nantinya akan laris atau tidak, itu merupakan urusan nomor sekian. Yang penting seorang dosen mau menulis terlebih dahulu.

Tapi, satu hal yang tak kalah penting bahwa apabila para dosen menyadari bahwa dirinya ialah tokoh intelektual, semestinya menulis buku menjadi salah satu jalan untuk berkontribusi demi perbaikan bangsa-negara ini. Kata Buya Syafii, membaca, menulis, dan merenung merupakan kegiatan utama bagi seorang dosen. Apabila ada seorang dosen tak mau melakukan ketiga kegiatan tadi, lanjut Buya Syafii, maka ia tak pantas menyandang predikat dosen. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar