Teknologi
dan Hubungan Antarmanusia
Dominiqa Xyannie ;
Mahasiswa S-2 Psikologi
|
KORAN
JAKARTA, 08 Maret 2014
Perkembangan
sesuatu selalu ada nilai lebih dan kurangnya. Ada plus dan minusnya. Demikan
juga kemajuan teknologi, telah banyak berbuat baik dan berjasa bagi
kehidupan. Teknologi informasi mampu mempermudah banyak hal dalam kehidupan
umat manusa. Dengan teknologi pula sebuah jarak waktu dan jarak ruang bisa
dipersempit.
Namun,
harus diakui bahwa, seperti yang lain, kemajuan teknologi informasi juga
ibarat mata uang yang memiliki dua sisi. Tentu satu sisi positif, lainnya
boleh dikata negatif. Teknologi memang telah banyak membantu berbagai
kepentingan manusia. Akan tetapi, dia juga makin mengeringkan hubungan
antarmanusia. Kehangatan hubungan yang penuh sapaan kadang menjadi kering
juga karena teknologi.
Komunikasi
antarmanusia begitu mengalami perkembangan luar biasa dengan teknologi.
Namun, dia juga dalam arti tertentu mengalami kemunduran. Semua serba
dihitung berdasarkan "pulsa" sehingga tidak bisa berlama-lama.
Komunikasi pun menjadi kering. Hal itu dapat dilihat dari contoh-contoh
sederhana.
Banyak
manusia berjalan menjadi seperti robot tanpa ada senyum sapa kepada sesama.
Mereka asyik mendengarkan suara (seperti musik) dari dalam alat komunikasi
yang langsung terhubung dengan telinga lewat earphone.
Juga di
dalam kendaraan umum seperti bus umum, semua "terkunci". Mulut
"terkunci" masker dengan alasan yang masuk akal untuk menghindari
masuknya kuman. Telinga "tertutup" earphone. Kadang mata
"tertutup" dengan bacaan. Maka, meski duduk berdampingan
berjam-jam, tidak ada komunikasi. Itu bisa terjadi.
Ketika
telepon biasa (fixed) muncul, dianggap kemajuan luar biasa karena komunikasi
bisa cepat meski berjarak jauh. Antarmanusia bisa mengobrol meski jarak
Jakarta dan Yogyakarta.
Namun,
ketika ada komunikasi yang lebih murah, mereka menjadi cukup SMS atau BBM,
tak ada suara canda. Mungkin ada kata-kata lucu, tetapi tidak ada ucapan dari
pengirim sehingga penerima hanya tertawa sendiri. Tak ada lagi tertawa
bersama.
Hubungan
antarmanusia yang ada hanyalah subjek-objek, yang satu merasa sebagai subjek,
lainnya dianggap hanya objek. Bahkan secara lebih drastis, Jean Paul Sartre
mengatakan hanya ada komunikasi objek-objek karena di antara manusia hanya
saling mengobjekkan. Yang satu menatap yang lain, maka dia menjadi objek.
Begitu tatapan balik ditatap, yang pertama menatap pun menjadi objek.
Komunikasi
objek-objek saling menjatuhkan. Kedua sisi berusaha "merendahkan"
yang lain. Inilah komunikasi yang kering, tak ada kehangatan sebagaimana
dirindukan Martin Buber ketika bicara subjek-subjek. Filsuf Jerman keturunan
Yahudi itu memimpikan hubungan yang harmonis, hangat, dan saling meninggikan.
Subjek-subjek adalah komunikasi paling ideal karena di situ tidak ada saling
menjatuhkan, tak ada jegal-menjegal.
Inilah
hubungan yang oleh Teilhard de Charden mengarah pada titik omega, sebuah
hubungan yang lebih ilahi, antara manusia dan penciptanya. Titik omega
menjadi tujuan dari setiap komunikasi. Bahkan sesungguhnya titik omega
menjadi sumber komunikasi itu sendiri. Jadi, ada dua arus, sebagai sumber dan
kembali kepada sumber.
Manusia
harus merefleksikan kembali eksistensinya sebagai makhluk sosial, sebuah
adaan yang tak bisa hidup sendiri. Sudah sejak terlempar ke dalam eksistensi,
manusia dikodratkan berteman, berkawan, dan berkomunikasi dengan sesamanya.
Manusia harus membangun kembali komunikasi. Semua manusia harus memupuk dan
mengembalikan komunikasi yang hangat dan menyentuh.
Manusia
tak dapat membatasi dan tak boleh menyalahkan kemajuan teknologi informasi.
Itu sudah menjadi kodrat dunia. Teknologi informasi akan terus berkembang.
Tugas manusia hanya harus menjaga agar perkembangannya semakin memampukan
manusia membangun komunikasi yang hangat dan menyentuh. Sebab hanya dengan
komunikasi yang hangat manusia semakin mengembangkan sifat-sifat human.
Teralienasi
Namun,
ada kondisi yang lebih parah ketika manusia seolah-olah tak bisa hidup tanpa
alat komunikasi sehingga dibawa-bawa ke mana saja, termasuk ke tempat
beribadah.
Manusia
seharusnya mampu melepaskan diri sejenak dari kesibukan dengan menghadap Dia
di rumah ibadah. Akan tetapi, kekhusyukan dewasa ini terganggu dengan manusia
yang merasa supersibuk sehingga di tempat ibadah pun harus mengamati HP, BB,
atau alat komunikasi canggih lainnya.
Dia
harus menghidupkan alat tersebut juga di dalam rumah ibadah. Mereka takut
kalau-kalau Tuhan atau presiden menelepon sehingga alat komunikasi harus on
terus.
Mereka
takut kehilangan bisnis dengan Tuhan atau presiden karena manusia khawatir Tuhan
dan presiden marah kalau tidak diangkat atau mati alat komunikasinya sehingga
bisnisnya hilang. Inilah kondisi yang sangat parah dan memprihatinkan. Untuk
apa mereka ke tempat ibadah kalau satu jam saja tidak bisa mematikan alat
komunikasi agar bisa khusyuk dan konsentrasi?
Mari
meletakkan alat komunikasi dalam proporsi dan tempat yang benar. Ada kalanya
dia harus beristirahat untuk memberi kesempatan jiwa dan hati manusia fokus
pada komunikasi dengan Yang Lain. Beri tempat yang cukup bagi Yang Lain, dan
itu hanya bisa dilakukan ketika manusia melepaskan diri dari komunikasi yang
lain ketika tengah berwawan sabda dengan Dia.
Fokus
sangat penting untuk menimba komunikasi dengan Yang Lain itu agar manusia
memperoleh "ilmu" guna berkomunikasi dengan sesama, antamanusia.
Kiranya, impian Martin Buber masih tetap relevan bagi dunia dewasa ini atau
sebaliknya, justru semakin penting agar manusia tetap menjaga komunikasi yang
hangat.
Kekeringan
komunikasi hanya akan melahirkan alienasi dengan sesama dan dengan orang
lain. Manusia yang teralienasi hanya akan menjadi "robot", tidak
acuh dengan lingkungan karena menganggap yang lain bukan bagiannya. Inilah
akar egoisme. Semua tahu bahaya egoisme: semua demi kepentingan sendiri, tak
peduli dan jauh dari kepekaan.
Padahal
inti manusia sebagai makhluk sosial adalah peduli dan peka akan (derita)
sesama. Apa artinya hidup bersama bila tidak ada kepekaan dan kepedulian.
Jadinya, yang ada semua hidup sendiri-sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar