Minggu, 09 Maret 2014

Teknologi dan Hubungan Antarmanusia

Teknologi dan Hubungan Antarmanusia

Dominiqa Xyannie  ;   Mahasiswa S-2 Psikologi
KORAN JAKARTA,  08 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
Perkembangan sesuatu selalu ada nilai lebih dan kurangnya. Ada plus dan minusnya. Demikan juga kemajuan teknologi, telah banyak berbuat baik dan berjasa bagi kehidupan. Teknologi informasi mampu mempermudah banyak hal dalam kehidupan umat manusa. Dengan teknologi pula sebuah jarak waktu dan jarak ruang bisa dipersempit.

Namun, harus diakui bahwa, seperti yang lain, kemajuan teknologi informasi juga ibarat mata uang yang memiliki dua sisi. Tentu satu sisi positif, lainnya boleh dikata negatif. Teknologi memang telah banyak membantu berbagai kepentingan manusia. Akan tetapi, dia juga makin mengeringkan hubungan antarmanusia. Kehangatan hubungan yang penuh sapaan kadang menjadi kering juga karena teknologi.

Komunikasi antarmanusia begitu mengalami perkembangan luar biasa dengan teknologi. Namun, dia juga dalam arti tertentu mengalami kemunduran. Semua serba dihitung berdasarkan "pulsa" sehingga tidak bisa berlama-lama. Komunikasi pun menjadi kering. Hal itu dapat dilihat dari contoh-contoh sederhana.

Banyak manusia berjalan menjadi seperti robot tanpa ada senyum sapa kepada sesama. Mereka asyik mendengarkan suara (seperti musik) dari dalam alat komunikasi yang langsung terhubung dengan telinga lewat earphone.

Juga di dalam kendaraan umum seperti bus umum, semua "terkunci". Mulut "terkunci" masker dengan alasan yang masuk akal untuk menghindari masuknya kuman. Telinga "tertutup" earphone. Kadang mata "tertutup" dengan bacaan. Maka, meski duduk berdampingan berjam-jam, tidak ada komunikasi. Itu bisa terjadi.

Ketika telepon biasa (fixed) muncul, dianggap kemajuan luar biasa karena komunikasi bisa cepat meski berjarak jauh. Antarmanusia bisa mengobrol meski jarak Jakarta dan Yogyakarta.

Namun, ketika ada komunikasi yang lebih murah, mereka menjadi cukup SMS atau BBM, tak ada suara canda. Mungkin ada kata-kata lucu, tetapi tidak ada ucapan dari pengirim sehingga penerima hanya tertawa sendiri. Tak ada lagi tertawa bersama.

Hubungan antarmanusia yang ada hanyalah subjek-objek, yang satu merasa sebagai subjek, lainnya dianggap hanya objek. Bahkan secara lebih drastis, Jean Paul Sartre mengatakan hanya ada komunikasi objek-objek karena di antara manusia hanya saling mengobjekkan. Yang satu menatap yang lain, maka dia menjadi objek. Begitu tatapan balik ditatap, yang pertama menatap pun menjadi objek.

Komunikasi objek-objek saling menjatuhkan. Kedua sisi berusaha "merendahkan" yang lain. Inilah komunikasi yang kering, tak ada kehangatan sebagaimana dirindukan Martin Buber ketika bicara subjek-subjek. Filsuf Jerman keturunan Yahudi itu memimpikan hubungan yang harmonis, hangat, dan saling meninggikan. Subjek-subjek adalah komunikasi paling ideal karena di situ tidak ada saling menjatuhkan, tak ada jegal-menjegal.

Inilah hubungan yang oleh Teilhard de Charden mengarah pada titik omega, sebuah hubungan yang lebih ilahi, antara manusia dan penciptanya. Titik omega menjadi tujuan dari setiap komunikasi. Bahkan sesungguhnya titik omega menjadi sumber komunikasi itu sendiri. Jadi, ada dua arus, sebagai sumber dan kembali kepada sumber.

Manusia harus merefleksikan kembali eksistensinya sebagai makhluk sosial, sebuah adaan yang tak bisa hidup sendiri. Sudah sejak terlempar ke dalam eksistensi, manusia dikodratkan berteman, berkawan, dan berkomunikasi dengan sesamanya. Manusia harus membangun kembali komunikasi. Semua manusia harus memupuk dan mengembalikan komunikasi yang hangat dan menyentuh.

Manusia tak dapat membatasi dan tak boleh menyalahkan kemajuan teknologi informasi. Itu sudah menjadi kodrat dunia. Teknologi informasi akan terus berkembang. Tugas manusia hanya harus menjaga agar perkembangannya semakin memampukan manusia membangun komunikasi yang hangat dan menyentuh. Sebab hanya dengan komunikasi yang hangat manusia semakin mengembangkan sifat-sifat human.

Teralienasi

Namun, ada kondisi yang lebih parah ketika manusia seolah-olah tak bisa hidup tanpa alat komunikasi sehingga dibawa-bawa ke mana saja, termasuk ke tempat beribadah.

Manusia seharusnya mampu melepaskan diri sejenak dari kesibukan dengan menghadap Dia di rumah ibadah. Akan tetapi, kekhusyukan dewasa ini terganggu dengan manusia yang merasa supersibuk sehingga di tempat ibadah pun harus mengamati HP, BB, atau alat komunikasi canggih lainnya.

Dia harus menghidupkan alat tersebut juga di dalam rumah ibadah. Mereka takut kalau-kalau Tuhan atau presiden menelepon sehingga alat komunikasi harus on terus.

Mereka takut kehilangan bisnis dengan Tuhan atau presiden karena manusia khawatir Tuhan dan presiden marah kalau tidak diangkat atau mati alat komunikasinya sehingga bisnisnya hilang. Inilah kondisi yang sangat parah dan memprihatinkan. Untuk apa mereka ke tempat ibadah kalau satu jam saja tidak bisa mematikan alat komunikasi agar bisa khusyuk dan konsentrasi?

Mari meletakkan alat komunikasi dalam proporsi dan tempat yang benar. Ada kalanya dia harus beristirahat untuk memberi kesempatan jiwa dan hati manusia fokus pada komunikasi dengan Yang Lain. Beri tempat yang cukup bagi Yang Lain, dan itu hanya bisa dilakukan ketika manusia melepaskan diri dari komunikasi yang lain ketika tengah berwawan sabda dengan Dia.

Fokus sangat penting untuk menimba komunikasi dengan Yang Lain itu agar manusia memperoleh "ilmu" guna berkomunikasi dengan sesama, antamanusia. Kiranya, impian Martin Buber masih tetap relevan bagi dunia dewasa ini atau sebaliknya, justru semakin penting agar manusia tetap menjaga komunikasi yang hangat.

Kekeringan komunikasi hanya akan melahirkan alienasi dengan sesama dan dengan orang lain. Manusia yang teralienasi hanya akan menjadi "robot", tidak acuh dengan lingkungan karena menganggap yang lain bukan bagiannya. Inilah akar egoisme. Semua tahu bahaya egoisme: semua demi kepentingan sendiri, tak peduli dan jauh dari kepekaan.

Padahal inti manusia sebagai makhluk sosial adalah peduli dan peka akan (derita) sesama. Apa artinya hidup bersama bila tidak ada kepekaan dan kepedulian. Jadinya, yang ada semua hidup sendiri-sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar