Minggu, 09 Maret 2014

Pemilu dan Reformasi Topeng

Pemilu dan Reformasi Topeng

Al-Zastrouw Ng  ;   Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU
SUARA MERDEKA,  08 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                             
“Saat ini rakyat sulit membedakan mana pejuang reformasi sejati dan mana pengkhianat berkedok reformis”

PROSES reformasi yang sedang berjalan di negeri bagai mobil mogok yang sulit digerakkan. Aktivis reformasi seolah-olah telah kehilangan tenaga dan pikiran kreatif untuk menggerakkan roda reformasi. Kerongkongan mereka telah kering meneriakkan kata reformasi tiap hari. Suara-suara yang dulu lantang kini menjadi parau dan serak karena terus-menerus  memperingatkan banyak pihak supaya konsisten menegakkan reformasi.

Alih-alih terbentuk kejelasan arah dan bentuk reformasi, yang terjadi justru sebaliknya, refomasi makin kabur. Rakyat kehilangan harapan terhadap reformasi yang dulu pernah menjajikan perbaikan keadaan. Ada beberapa hal yang menyebabkan keadaan ini terjadi.

Pertama; tidak ada batas jelas antara figur, sosok, kelompok reformis dan nonreformis. Saat ini masyarakat sulit membedakan mana pejuang reformasi sejati dan mana pengkhianat yang berkedok reformis. Kini keduanya membaur jadi satu, sama-sama menggunakan jargon reformasi untuk meraih posisi dan merebut akses di panggung politik. Bahkan kelompok yang tersebut terakhir justru memiliki kekuatan lebih untuk meneriakkan kata reformasi.

Kedua; ada gejala ’’penyakit’’ ingatan pendek pada mayoritas bangsa ini. Semua orang dengan mudah meng­klaim jadi pejuang reformasi dan mendapat julukan reformis hanya dengan berteriak lantang memberantas KKN, menegakkan supremasi hukum. Se­seorang yang dulu paling KKN, paling menginjak-injak hukum, korup, mengabdi pada penguasa tiran, tiba-tiba jadi tokoh dipuja-puja hanya karena menjadi politikus yang sering bicara di televisi.

Ingatan jangka pendek masyarakat Indonesia ini telah dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan politik masa lalu untuk mencuci dosa sekaligus alat untuk menyembunyikan dan mempertahankan kepentingan.

Selain penyakit ingatan pendek, kemunculan reformasi topeng juga disebabkan oleh kekuatan tarikan pragmatism politik akibat penerapan demokrasi liberal dalam sistem politik Indonesia. Sistem tersebut melahirkan sejumlah aktor baru, yang dulu pejuang reformasi namun kini larut dalam nikmat kekuasaan. Aktor baru itu juga menggunakan reformasi sebagai topeng guna menyembunyikan kepentingan.

Proses reformasi yang terjadi secara tiba-tiba menyebabkan guncangan budaya. Ketika reformasi terjadi, masyarakat dipaksa menerima dan mengikuti hukum-hukum sosial modern. Semua diasumsikan serbarasional, formal, struktural, dan institusional sebagaimana tercermin dalam sistem demokrasi liberal. Kondisi ini menyebabkan masyarakat berperilaku sosial ganda.

Di satu sisi mereka harus menjadikan nilai-nilai dan sistem politik modern yang liberal sebagai standar untuk melihat realitas dan bersikap. Di sisi lain, kedekatan dengan akar tradisi membuat rakyat sulit keluar dari tarikan belenggu tradisi. Untuk menyiasati kedua tuntutan tersebut timbul kompromi negatif yang cenderung destruktif, yaitu mengambil sisi terburuk dari modernisasi dan tradisi.

Ironisnya para elite tidak berupaya membenahi lewat cara memberikan pendidikan politik yang benar. Mereka justru memanfaatkan kondisi itu untuk memperoleh keuntungan politik dengan berlindung di balik sistem dan konstitusi. Sebaliknya, rakyat yang merasa kepentingannya tidak terwakili berusaha melawan dengan cara mereka sendiri.

Perlawanan rakyat tak lagi menggunakan konstitusi atau mekanisme modern yang telah mereka curigai tetapi menggunakan cara penekanan oleh massa dan sejenisnya. Akibatnya rakyat makin berjarak dari pemimpin dan elite politik.  Proses kesemrawutan sosial (social disorder) itu akan terus berlangsung bila tidak ada kesadaran dari semua pihak untuk membenahi.

Penyibak Topeng

Melihat kenyataan itu, tampaknya proses reformasi masih menyisakan persoalan besar bagi bangsa ini. Reformasi telah menjadi ajang tarik-menarik antara pihak-pihak yang ingin mempertahankan kepentingan sambil menyembunyikan kebusukan melalui sistem politik, dan rakyat yang ingin secepatnya memperoleh hasil dari perubahan.

Kenyataan ini menuntut semua pihak untuk bersikap arif, jujur, dan waspada dengan menyadari kelemahan dan keterbatasan masing-masing. Bila tidak, reformasi akan menjadi mantra ampuh yang dapat mencuci dosa dan menyembunyikan kepentingan sehingga pemimpin dan politikus tamak dan korup bisa terlihat suci dan bersih, bahkan menjadi pahlawan.

Sebaliknya, pejuang sejati justru tersingkir di lorong kehidupan sunyi dan pengap karena tak mampu berkompetisi dalam sistem politik yang mahal dan penuh intrik. Semoga pemilu kali ini melahirkan pemimpin dan politikus yang mampu membuka selubung penjahat dan pengkhianat rakyat yang bersembunyi di balik topeng reformasi. Hal ini tercapai kalau rakyat cerdik menyikapi politikus bertopeng yang menggunakan uang dan bantuan untuk memperoleh kekuasaan.

Andai Pemilu 2014 tak mampu membuka selubung reformasi topeng maka bangsa ini makin jauh terperosok dalam jurang kehancuran karena menjadikan orang-orang bertopeng sebagai pemimpin dan wakil rakyat yang menentukan nasib bangsa. Itu artinya pemilu menjadi sarana konsolidasi bagi ìpahlawan bertopengî untuk menguasai negara. Rakyat pun kembali sendiri dalam kesengsaraan tanpa harapan. Inilah ironi demokrasi pada era reformasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar