Pemilu
dan Reformasi Topeng
Al-Zastrouw Ng ;
Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim
Indonesia (Lesbumi) PBNU
|
SUARA
MERDEKA, 08 Maret 2014
“Saat ini rakyat sulit membedakan mana pejuang
reformasi sejati dan mana pengkhianat berkedok reformis”
PROSES
reformasi yang sedang berjalan di negeri bagai mobil mogok yang sulit
digerakkan. Aktivis reformasi seolah-olah telah kehilangan tenaga dan pikiran
kreatif untuk menggerakkan roda reformasi. Kerongkongan mereka telah kering
meneriakkan kata reformasi tiap hari. Suara-suara yang dulu lantang kini
menjadi parau dan serak karena terus-menerus
memperingatkan banyak pihak supaya konsisten menegakkan reformasi.
Alih-alih
terbentuk kejelasan arah dan bentuk reformasi, yang terjadi justru
sebaliknya, refomasi makin kabur. Rakyat kehilangan harapan terhadap
reformasi yang dulu pernah menjajikan perbaikan keadaan. Ada beberapa hal
yang menyebabkan keadaan ini terjadi.
Pertama;
tidak ada batas jelas antara figur, sosok, kelompok reformis dan nonreformis.
Saat ini masyarakat sulit membedakan mana pejuang reformasi sejati dan mana
pengkhianat yang berkedok reformis. Kini keduanya membaur jadi satu,
sama-sama menggunakan jargon reformasi untuk meraih posisi dan merebut akses
di panggung politik. Bahkan kelompok yang tersebut terakhir justru memiliki
kekuatan lebih untuk meneriakkan kata reformasi.
Kedua;
ada gejala ’’penyakit’’ ingatan pendek pada mayoritas bangsa ini. Semua orang
dengan mudah mengklaim jadi pejuang reformasi dan mendapat julukan reformis
hanya dengan berteriak lantang memberantas KKN, menegakkan supremasi hukum.
Seseorang yang dulu paling KKN, paling menginjak-injak hukum, korup,
mengabdi pada penguasa tiran, tiba-tiba jadi tokoh dipuja-puja hanya karena
menjadi politikus yang sering bicara di televisi.
Ingatan
jangka pendek masyarakat Indonesia ini telah dimanfaatkan oleh para pelaku
kejahatan politik masa lalu untuk mencuci dosa sekaligus alat untuk
menyembunyikan dan mempertahankan kepentingan.
Selain
penyakit ingatan pendek, kemunculan reformasi topeng juga disebabkan oleh
kekuatan tarikan pragmatism politik akibat penerapan demokrasi liberal dalam
sistem politik Indonesia. Sistem tersebut melahirkan sejumlah aktor baru,
yang dulu pejuang reformasi namun kini larut dalam nikmat kekuasaan. Aktor
baru itu juga menggunakan reformasi sebagai topeng guna menyembunyikan
kepentingan.
Proses
reformasi yang terjadi secara tiba-tiba menyebabkan guncangan budaya. Ketika
reformasi terjadi, masyarakat dipaksa menerima dan mengikuti hukum-hukum
sosial modern. Semua diasumsikan serbarasional, formal, struktural, dan
institusional sebagaimana tercermin dalam sistem demokrasi liberal. Kondisi
ini menyebabkan masyarakat berperilaku sosial ganda.
Di satu
sisi mereka harus menjadikan nilai-nilai dan sistem politik modern yang
liberal sebagai standar untuk melihat realitas dan bersikap. Di sisi lain,
kedekatan dengan akar tradisi membuat rakyat sulit keluar dari tarikan
belenggu tradisi. Untuk menyiasati kedua tuntutan tersebut timbul kompromi
negatif yang cenderung destruktif, yaitu mengambil sisi terburuk dari
modernisasi dan tradisi.
Ironisnya
para elite tidak berupaya membenahi lewat cara memberikan pendidikan politik
yang benar. Mereka justru memanfaatkan kondisi itu untuk memperoleh
keuntungan politik dengan berlindung di balik sistem dan konstitusi.
Sebaliknya, rakyat yang merasa kepentingannya tidak terwakili berusaha
melawan dengan cara mereka sendiri.
Perlawanan
rakyat tak lagi menggunakan konstitusi atau mekanisme modern yang telah
mereka curigai tetapi menggunakan cara penekanan oleh massa dan sejenisnya.
Akibatnya rakyat makin berjarak dari pemimpin dan elite politik. Proses kesemrawutan sosial (social
disorder) itu akan terus berlangsung bila tidak ada kesadaran dari semua
pihak untuk membenahi.
Penyibak Topeng
Melihat
kenyataan itu, tampaknya proses reformasi masih menyisakan persoalan besar
bagi bangsa ini. Reformasi telah menjadi ajang tarik-menarik antara
pihak-pihak yang ingin mempertahankan kepentingan sambil menyembunyikan
kebusukan melalui sistem politik, dan rakyat yang ingin secepatnya memperoleh
hasil dari perubahan.
Kenyataan
ini menuntut semua pihak untuk bersikap arif, jujur, dan waspada dengan
menyadari kelemahan dan keterbatasan masing-masing. Bila tidak, reformasi
akan menjadi mantra ampuh yang dapat mencuci dosa dan menyembunyikan
kepentingan sehingga pemimpin dan politikus tamak dan korup bisa terlihat
suci dan bersih, bahkan menjadi pahlawan.
Sebaliknya,
pejuang sejati justru tersingkir di lorong kehidupan sunyi dan pengap karena
tak mampu berkompetisi dalam sistem politik yang mahal dan penuh intrik.
Semoga pemilu kali ini melahirkan pemimpin dan politikus yang mampu membuka
selubung penjahat dan pengkhianat rakyat yang bersembunyi di balik topeng
reformasi. Hal ini tercapai kalau rakyat cerdik menyikapi politikus bertopeng
yang menggunakan uang dan bantuan untuk memperoleh kekuasaan.
Andai
Pemilu 2014 tak mampu membuka selubung reformasi topeng maka bangsa ini makin
jauh terperosok dalam jurang kehancuran karena menjadikan orang-orang
bertopeng sebagai pemimpin dan wakil rakyat yang menentukan nasib bangsa. Itu
artinya pemilu menjadi sarana konsolidasi bagi ìpahlawan bertopengî untuk
menguasai negara. Rakyat pun kembali sendiri dalam kesengsaraan tanpa
harapan. Inilah ironi demokrasi pada era reformasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar