Menata
Ulang, Stigma Negatif dalam Berdemokrasi
Aman Supendi ;
Fungsionaris Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam
(PB HMI) Periode 2013-2015
|
OKEZONENEWS,
10 Maret 2014
Pascaruntuhnya
rezim orde baru pada tahun 1998, sistem demokrasi semakin berkembang pesat
seiring dengan berjalannya waktu. Perubahan untuk menuju pada demokratisasi
terlihat di berbagai lembaga pemerintahan. Hal ini ditandai dengan lahirnya
berbagai lembaga profesional yang memiliki Independensi tinggi, seperti
adanya Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada saat itu namanya Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang
bernaung dibawah kendali Menteri Dalam Negeri (Mendagri), sehingga sistem yang diterapkan pada saat
itu lebih identik pada otoritarian. Tak hanya itu, efek positif hadirnya
lembaga-lembaga Independen yang memiliki basic profesionalime, dapat
memberikan kontribusi riil terhadap tatanan kondisi sosial yang lebih
dinamis.
Kurang
lebih selama 14 (empat belas) tahun pascareformasi, kita berkutat dengan
sistem demokrasi yang begitu kompleks dengan permasalahan di sekitar kita.
Tentu Ini merupakan permasalahan yang mesti kita sikapi secara arif.
Tuntutan
sistem demokrasi yang multi partai telah melahirkan gejolak politik di
seluruh nusantara. Banyak kerja-kerja politik yang sudah jelas-jelas
irasional jika kita mau bercermin pada Undang-Undang No.15 Tahun 2011 Tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, dituliskan pada BAB 2 Tentang Asas
Penyelenggara Pemilu, Pasal 2 Bahwa, Pemilu harus berpedoman pada Asas
Mandiri, Jujur, Adil, Kepastian Hukum,
Tertib, Kepentingan Umum, Keterbukaan, Profesionalitas,
Proporsionalitas, Akuntabilitas, Efisiensi, dan Efektifitas.
Anehnya
dalam penerapan sistem demokrasi sekarang ini, kecurangan terjadi di
mana-mana, mulai dari Black Campain
(kampanye hitam), adanya penggelembungan suara saat pilkada, serta
pelanggaran-pelanggaran lain yang kontradiktif dengan asas penyelenggara
pemilu kerap dilakukan.
Tentu
ini menjadi perhatian kita bersama terhadap kaum elit politik, dalam proses
pengawalan pemilihan umum dalam menata sistem demokrasi di Indonesia kearah
yang lebih baik. Ini artinya seberapa besarkah komitmen kaum elit politik
dalam menerapkan sistem demokrasi. Karena, efek dari langkah-langkah para
politisi yang dipertontonkan terhadap publik selama ini, telah melahirkan
berbagai gugatan mengenai komitmen terhadap sistem demokrasi itu sendiri,
atau kita sudah keluar dari nilai-nilai dalam berdemokrasi, sehingga banyak
hal-hal tertentu yang dinegasikan.
Sistem
demokrasi yang terlahir dari rahim reformasi, seharusnya sudah banyak
lompatan-lompatan yang sudah dilakukan. Sistem ini kualitasnya dapat diukur
oleh seberapa besarkah manfaatnya terhadap rakyat, saat sistem demokrasi ini
diterapkan. Adanya kebebasan pers, lahirnya lembaga-lembaga komisi independen
seperti komisi yudisial, serta komisi pemberantasan korupsi (KPK), merupakan
hal yang sangat strategis dalam menata berkehidupan berbagsa dan bernegara
kearah yang lebih baik.
Hilangnya Keseimbangan
Hilangnya
keseimbangan dalam penegakan pilar demokrasi, tentu berefek pada kegaduhan
dalam dinamika sosial, mulai dari politik, hukum, ekonomi, kesehatan, dan
budaya.
Terlebih,
sistem yang diterapkan di Indonesia adalah sistem demokrasi. Namun jika kita
komparasikan dengan apa yang dijelaskan oleh Montesquiu (1689-1755) dengan
konsep trias politiknya ada sedikit perbedaan dalam konteks Independensi.
Jelasnya, tiga macam kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan
eksekutif, dan kekuasan yudikatif masing-masing melakukan kontrolnya
tersendiri.
Jika
kita perhatikan, kontrolnya sudah benar, namun pada aspek pemilihan ketua DPR
RI, DPR Provinsi maupun DPRD Kabupaten diambil dari partai pemenang. Secara
logika dalam pengangkatannya sah-sah saja, namun logika manakah yang menerima
jika tindakan tersebut dapat dikatakat Independen, antara eksekutif dengan
legislatif.
Di sini
sangat terlihat jelas, hilangnya keseimbangan profesionalisme. Padahal fungsi
legislatif seperti controlling, budjeting, dan legislasi memiliki sifat
independensi murni semata-mata tindakannya untuk kemajuan kesejahteraan
rakyat.
Ini
persoalan yang tampak jelas di depan mata kita, belum persoalan-persoalan
lain yang tidak kita ketahui secara langsung dalam proses penegakan sistem
demokrasi. Wajar, jika gugatan komitmen dalam pelaksanaan sistem demokrasi
terhadap kaum elit politik banyak yang dipertanyakan. Sungguh tidak bisa kita
bayangkan, jika lembaga-lembaga komisi Independen seperti KPK, dan Komisi
Yudisial tidak ada, maka perbedaan antara rezim orde baru dengan rezim era
reformasi memiliki perbedaan yang sangat tipis.
Perlu Nilai dalam Berdemokrasi
Nilai
adalah esensialitas dari segala sesuatu, serta nilai di sini mengandung azas
manfaat. Sistem demokrasi yang sedang kita jalankan dapat kita vonis memiliki
nilai atau tidak, jika output yang dihasilkan dalam berdemokrasi lebih
mengarah pada kesejahteraan rakyat atau lebih membawa pada kemelaratan
rakyat.
Seakan-akan
hilangnya nilai dalam berdemokrasi, membuat kita miris untuk segera
merekontruksi ulang nilai-nilai yang selama ini ada, terbawa oleh derasnya
arus dalam berdemokrasi. Diera kekinian dalam prosesi penegakan sistem
demokrasi oleh elit politik, nilai benar dan salah seakan-akan memiliki sifat
yang sama.
Bangunan
nilai dalam berdemokrasi, tentu harus kembali lagi pada aturan main yang ada
dalam konstitusi. Aturan proses penyelenggaraan pemilu sudah tercatat
gamblang tertera dalam Undang-Undang. Namun tetap saja, banyaknya kecurangan
dari oknum politisi tertentu membuat nilai benar dan salah menjadi ambigu.
Bahkan jika konglomerat tidak sepakat dengan kandidat tersebut maka praktek
korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) kerap dilakukan dengan tujuan sebagai
upaya penjegalan terhadap kandidat yang dipandang tidak disukainnya.
Bangunan
nilai ini akan ada, jika proses kaderisasi dalam rekruitmen anggota baru oleh
partai dapat berjalan secara baik dan benar, sebelum kader tersebut
diterjunkan lebih jauh dikancah perpolitikan nasional. Setelah saya amati secara mendalam, proses
kaderisasi dalam melakukan pembinaan selama ini belum mampu menciptakan
karakter anggotannya secara maksimal. Hal ini ditandai dengan banyaknya
politisi yang terjerat kasus korupsi.
Banyak
hal yang harus kita selesaikan, kecarut-marutan yang selama ini merajalela
harus dapat teratasi oleh bangunan nilai yang sudah tertera dalam sebuah
konstitusi. Proses penyelenggaraan pemilu harus menggunakan nilai, pengawasan
pemilu, proses kampanye, penggadaan kertas suara, serta tim pelaksanaa teksis
harus berpedoman pada aturan main yang berlaku. Kadang kita terlena tanpa
memiliki landasan hukum yang benar saat amanah itu kita jalankan. Semoga dengan tulisan yang cukup sederhana
ini, stigma-stigma negatif dapat terkalahkan oleh stigma positif untuk
membagun bangsa Indonesia kearah yang lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar