Selasa, 11 Maret 2014

Menata Ulang, Stigma Negatif dalam Berdemokrasi

Menata Ulang, Stigma Negatif dalam Berdemokrasi

Aman Supendi  ;   Fungsionaris Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam
(PB HMI) Periode 2013-2015
OKEZONENEWS,  10 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
Pascaruntuhnya rezim orde baru pada tahun 1998, sistem demokrasi semakin berkembang pesat seiring dengan berjalannya waktu. Perubahan untuk menuju pada demokratisasi terlihat di berbagai lembaga pemerintahan. Hal ini ditandai dengan lahirnya berbagai lembaga profesional yang memiliki Independensi tinggi, seperti adanya Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada saat itu  namanya Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang bernaung dibawah kendali Menteri Dalam Negeri (Mendagri),  sehingga sistem yang diterapkan pada saat itu lebih identik pada otoritarian. Tak hanya itu, efek positif hadirnya lembaga-lembaga Independen yang memiliki basic profesionalime, dapat memberikan kontribusi riil terhadap tatanan kondisi sosial yang lebih dinamis.

Kurang lebih selama 14 (empat belas) tahun pascareformasi, kita berkutat dengan sistem demokrasi yang begitu kompleks dengan permasalahan di sekitar kita. Tentu Ini merupakan permasalahan yang mesti kita sikapi secara arif.

Tuntutan sistem demokrasi yang multi partai telah melahirkan gejolak politik di seluruh nusantara. Banyak kerja-kerja politik yang sudah jelas-jelas irasional jika kita mau bercermin pada Undang-Undang No.15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, dituliskan pada BAB 2 Tentang Asas Penyelenggara Pemilu, Pasal 2 Bahwa, Pemilu harus berpedoman pada Asas Mandiri, Jujur, Adil, Kepastian Hukum,  Tertib, Kepentingan Umum, Keterbukaan, Profesionalitas, Proporsionalitas, Akuntabilitas, Efisiensi, dan Efektifitas.

Anehnya dalam penerapan sistem demokrasi sekarang ini, kecurangan terjadi di mana-mana, mulai dari Black Campain (kampanye hitam), adanya penggelembungan suara saat pilkada, serta pelanggaran-pelanggaran lain yang kontradiktif dengan asas penyelenggara pemilu kerap dilakukan.

Tentu ini menjadi perhatian kita bersama terhadap kaum elit politik, dalam proses pengawalan pemilihan umum dalam menata sistem demokrasi di Indonesia kearah yang lebih baik. Ini artinya seberapa besarkah komitmen kaum elit politik dalam menerapkan sistem demokrasi. Karena, efek dari langkah-langkah para politisi yang dipertontonkan terhadap publik selama ini, telah melahirkan berbagai gugatan mengenai komitmen terhadap sistem demokrasi itu sendiri, atau kita sudah keluar dari nilai-nilai dalam berdemokrasi, sehingga banyak hal-hal tertentu yang dinegasikan.

Sistem demokrasi yang terlahir dari rahim reformasi, seharusnya sudah banyak lompatan-lompatan yang sudah dilakukan. Sistem ini kualitasnya dapat diukur oleh seberapa besarkah manfaatnya terhadap rakyat, saat sistem demokrasi ini diterapkan. Adanya kebebasan pers, lahirnya lembaga-lembaga komisi independen seperti komisi yudisial, serta komisi pemberantasan korupsi (KPK), merupakan hal yang sangat strategis dalam menata berkehidupan berbagsa dan bernegara kearah yang lebih baik.

Hilangnya Keseimbangan

Hilangnya keseimbangan dalam penegakan pilar demokrasi, tentu berefek pada kegaduhan dalam dinamika sosial, mulai dari politik, hukum, ekonomi, kesehatan, dan budaya.

Terlebih, sistem yang diterapkan di Indonesia adalah sistem demokrasi. Namun jika kita komparasikan dengan apa yang dijelaskan oleh Montesquiu (1689-1755) dengan konsep trias politiknya ada sedikit perbedaan dalam konteks Independensi. Jelasnya, tiga macam kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasan yudikatif masing-masing melakukan kontrolnya tersendiri. 
   
Jika kita perhatikan, kontrolnya sudah benar, namun pada aspek pemilihan ketua DPR RI, DPR Provinsi maupun DPRD Kabupaten diambil dari partai pemenang. Secara logika dalam pengangkatannya sah-sah saja, namun logika manakah yang menerima jika tindakan tersebut dapat dikatakat Independen, antara eksekutif dengan legislatif.

Di sini sangat terlihat jelas, hilangnya keseimbangan profesionalisme. Padahal fungsi legislatif seperti controlling, budjeting, dan legislasi memiliki sifat independensi murni semata-mata tindakannya untuk kemajuan kesejahteraan rakyat.

Ini persoalan yang tampak jelas di depan mata kita, belum persoalan-persoalan lain yang tidak kita ketahui secara langsung dalam proses penegakan sistem demokrasi. Wajar, jika gugatan komitmen dalam pelaksanaan sistem demokrasi terhadap kaum elit politik banyak yang dipertanyakan. Sungguh tidak bisa kita bayangkan, jika lembaga-lembaga komisi Independen seperti KPK, dan Komisi Yudisial tidak ada, maka perbedaan antara rezim orde baru dengan rezim era reformasi memiliki perbedaan yang sangat tipis.
    
Perlu Nilai dalam Berdemokrasi

Nilai adalah esensialitas dari segala sesuatu, serta nilai di sini mengandung azas manfaat. Sistem demokrasi yang sedang kita jalankan dapat kita vonis memiliki nilai atau tidak, jika output yang dihasilkan dalam berdemokrasi lebih mengarah pada kesejahteraan rakyat atau lebih membawa pada kemelaratan rakyat.
   
Seakan-akan hilangnya nilai dalam berdemokrasi, membuat kita miris untuk segera merekontruksi ulang nilai-nilai yang selama ini ada, terbawa oleh derasnya arus dalam berdemokrasi. Diera kekinian dalam prosesi penegakan sistem demokrasi oleh elit politik, nilai benar dan salah seakan-akan memiliki sifat yang sama.
   
Bangunan nilai dalam berdemokrasi, tentu harus kembali lagi pada aturan main yang ada dalam konstitusi. Aturan proses penyelenggaraan pemilu sudah tercatat gamblang tertera dalam Undang-Undang. Namun tetap saja, banyaknya kecurangan dari oknum politisi tertentu membuat nilai benar dan salah menjadi ambigu. Bahkan jika konglomerat tidak sepakat dengan kandidat tersebut maka praktek korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) kerap dilakukan dengan tujuan sebagai upaya penjegalan terhadap kandidat yang dipandang tidak disukainnya.
   
Bangunan nilai ini akan ada, jika proses kaderisasi dalam rekruitmen anggota baru oleh partai dapat berjalan secara baik dan benar, sebelum kader tersebut diterjunkan lebih jauh dikancah perpolitikan nasional.  Setelah saya amati secara mendalam, proses kaderisasi dalam melakukan pembinaan selama ini belum mampu menciptakan karakter anggotannya secara maksimal. Hal ini ditandai dengan banyaknya politisi yang terjerat kasus korupsi.   
   
Banyak hal yang harus kita selesaikan, kecarut-marutan yang selama ini merajalela harus dapat teratasi oleh bangunan nilai yang sudah tertera dalam sebuah konstitusi. Proses penyelenggaraan pemilu harus menggunakan nilai, pengawasan pemilu, proses kampanye, penggadaan kertas suara, serta tim pelaksanaa teksis harus berpedoman pada aturan main yang berlaku. Kadang kita terlena tanpa memiliki landasan hukum yang benar saat amanah itu kita jalankan. Semoga dengan tulisan yang cukup sederhana ini, stigma-stigma negatif dapat terkalahkan oleh stigma positif untuk membagun bangsa Indonesia kearah yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar