Pilkada
Langsung Jadi Kambing Hitam
Luthfi
A Mutty ; Bupati
Luwu Utara 1999-2009, Staf Khusus Wapres 2009-2013
|
KORAN
SINDO, 01 Maret 2014
Pemerintah
risau karena biaya pemilihan kepala daerah (pilkada) yang besar sehingga
banyak kepala daerah (KDH) terlibat korupsi. Pemerintah gundah karena pilkada
sering berakhir rusuh. Pilkada langsung dituding sebagai kambing hitam.
Karena itu, pilkada harus dialihkan ke DPRD. Pertanyaannya, apakah jika
pilkada melalui DPRD, korupsi dan kerusuhan akan berakhir?
Kekuasaan dan Korupsi
Lord Acton
mengingatkan: power tends to corrupt, absolute power corrupts
absolutely.Peringatan ini perlu diperhatikan karena ketika pilkada melalui
DPRD, bisa jadi korupsi makin merajalela. Kenapa? Karena korupsi berkaitan
dengan kekuasaan. Patut diingat, UU No 5 Tahun 1974 memberikan peran begitu
besar kepada eksekutif (executive heavy).
Oleh UUNo 22 Tahun 1999, pendulum digeser menjadi legislative heavy. Peran dan fungsi DPRD ditingkatkan sedemikian
rupa sehingga DPRD memiliki kewenangan penuh memilih KDH.
Bersamaan
dengan itu, KDH wajib memberikan laporan pertanggungjawaban (LPJ) tahunan
kepada DPRD. Jika ditolak, KDH dapat diberhentikan oleh DPRD. Dalam
praktiknya, seringkali LPJ ditolak bukan dalam kaitan dengan kinerja,
melainkan oleh isu-isu politik murahan. Pendeknya, LPJ menjadi lahan subur
bagi anggota DPRD untuk melakukan politik dagang sapi. Meskipun aturan itu
telah dianulir oleh UU No 32 Tahun 2004, politik transaksional tidak
berhenti.
Berbagai kasus
korupsi berjamaah anggota DPRD terus saja terjadi. Sudah menjadi rahasia umum
bahwa proses pembahasan APBD berlarut- larut sehingga menyandera kepentingan
publik hanya karena kepentingan politik transaksional jangka pendek. Kasus di
Pemkot Semarang, kasus anggota DPRD Papua Barat yang melibatkan 44 orang
anggotanya dan kasus anggota DPRD Banten adalah contoh kecil dari banyak kasus
serupa.
Jadi, sungguh
naif mengharapkan pilkada oleh DPRD akan mengakhiri praktik korupsi.
Kekuasaan DPRD yang kian besar justru makin meningkatkan posisi tawar anggota
DPRD untuk melakukan politik dagang sapi. Hasil penelitian Transparency International Indonesia dan
Global Corruption Barometer yang
menempatkan parpol dan legislatif sebagai lembaga terkorup menunjukkan bahwa peringatan
Lord Acton benar adanya.
Biaya Besar
Demokrasi
memang bukan sistem yang sempurna. Kelemahannya antara lain biayanya besar
dan proses pengambilan keputusannya lama. Jika ingin efisien biaya dan waktu,
kembali saja ke sistem otoriter seperti masa Orde Baru (Orba). Tetapi harus diingat,
rakyat tidak cukup hidup dengan sepotong roti. Besarnya biaya pilkada antara
lain karena panjangnya rantai birokrasi penyelenggara itu perlu dipangkas.
Caranya, terapkan sistem e-voting berbasis
e-KTP secara bertahap. Artinya, untuk daerah-daerah yang sudah memungkinkan
untuk e-voting, ya gunakan sistem
ini.
Dengan e-voting, PPS, dan PPK, begitu juga
dengan pendaftaran pemilih, pencetakan surat suara, tinta, tidak diperlukan
lagi. Keuntungan lain, penghitungan suara tidak lagi serumit sekarang. Saat
ini pemilihan bupati/wali kota memerlukan mutasi suara sebanyak empat kali.
Mulai dari TPS, PPS, PPK, danKPUDkabupaten/kota. Sedangkan untuk pilgub,
mutasi suara terjadi lima kali karena berakhir di KPUD provinsi. Padahal
manipulasi sangat rawan terjadi saat mutasi suara. Dengan birokrasi yang
ringkas, potensi manipulasi suara dapat ditekan. Hasilnya pun dapat diketahui
dengan cepat dan transparan sehingga konflik dapat diminimalisasi yang
berdampak pada penghematan biaya pengamanan.
Untuk
mengontrol biaya para kandidat, aturan mainnya perlu jelas dan dilaksanakan
dengan tegas misalnya batasi berapa banyak baliho dan alat peraga lain yang
boleh dipasang. Batasi penayangan iklan di TV dan media cetak. Kampanye hanya
dalam bentuk dialogis dengan jumlah massa yang terbatas. Yang tidak kalah
pentingnya adalah mengontrol secara ketat dana kampanye. Jangan seperti
sekarang, dana kampanye dilaporkan Rp100 juta, tetapi beriklan di TV dan
media cetak berulang-ulang. Pendeknya, KPU harus berani menganulir calon KDH
jika melanggar aturan, jangan jadi macan ompong.
Dinasti dan Kerusuhan
Isu yang juga
marak belakangan ini adalah dinasti politik. Jika system pilkada langsung
saja dapat melahirkan dinasti politik, apalagi jika pilkada dilakukan oleh
DPRD. Alasannya, jika rakyat banyak saja dapat dikontrol, kontrol terhadap
anggota DPRD yang jumlahnya terbatas, karakternya buruk dan integritasnya
rendah, pasti jauh lebih mudah. Akibatnya banyak aktor politik dadakan yang
tidakmatangmunculsebagai KDH. Mereka tampil ke panggung politik melalui
proses karbitan. Dengan modal orang tua sebagai penguasa dan sebagai pimpinan
partai, tiket menuju kursi KDH telah di tangan. Ini sekaligus menyuburkan
praktik oligarki di daerah.
Kerusuhan pasca
pilkada juga menjadi kambing hitam. Padahal pilkada lewat DPRD tidak menjamin
akan berakhir damai. Kenapa? Seorang petahana yang kinerjanya rendah sehingga
tidak memuaskan rakyatnya dapat terpilih kembali karena dia memiliki modal
untuk bertransaksi dengan anggota DPRD. Bisa juga seseorang dengan rekam
jejak yang buruk dapat terpilih karena memiliki modal yang kuat. Jika itu
terjadi, rakyat tentu kecewa sebab ekspektasi mereka berbanding terbalik
dengan hasil pilihan DPRD. Akibatnya mudah diduga, kemarahan rakyat meluap
karena kecewa terhadap perilaku korup dan manipulatif yang akan bermuara pada
kerusuhan.
Inkonsistensi Sistem
Selain dua
alasan praktis di atas, pemerintah juga menjadikan Pasal 18 ayat 4 UUD 1945
yang berbunyi pilkada dilakukan secara demokratis, sebagai argumen yuridis,
bahwa pilkada dapat dilakukan secara langsung dapat pula oleh DPRD. Di sisi
lain, UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia menganut sistem presidensial.
Ketentuan ini mendasari Pasal 6A UUD 1945 yang menetapkan bahwa presiden
dipilih langsung oleh rakyat. Jika mengacu pada sistem pemerintahan,
pemerintahan di daerah pun selayaknya menganut sistem presidensial.
Jika KDH
dipilih oleh DPRD, konsekuensinya adalah KDH harus bertanggung jawab kepada
DPRD karena asasnya memang seperti itu, kekuasaan eksekutif harus bertanggung
jawab kepada yang memilih. Bila KDH dipilih oleh DPRD, ada dua sistem berlaku
di negara kita, kepalanya (presiden) dan kakinya (kepala desa) menganut
sistem presidensial, sedangkan perutnya (kepala daerah) menganut sistem
parlementer. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pilkada oleh DPRD
bukan jaminan akan mengakhiri korupsi dan kerusuhan.
Masalah
sesungguhnya pada kualitas parpol yang banyak melahirkan politisi lokal
secara instan dengan mentalitas menerabas sehingga tidak memiliki kematangan
dan kedewasaan politik. Karena itu, jangan heran jika banyak di antara mereka
yang terpilih menjadi anggota DPRD atau KDH tidak peduli dengan kepentingan umum,
negara dan bangsa, tetapi lebih asyik dengan kepentingan pribadi, partai, dan
golongannya. Jadi yang diperlukan sesungguhnya adalah membuat parpol dewasa,
aturan pilkada yang jelas, melaksanakannya secara konsisten, dan melakukan
penegakan hukum yang tegas. Bukan malah mundur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar