Quo
Vadis Revisi UUA?
Muhamad
Yuntri ; Pendiri
Indonesia Advocate Watch
|
KORAN
SINDO, 01 Maret 2014
Pengusul ide
revisi berasal dari sekelompok advokat yang menginginkan perubahan single-bar
(wadah tunggal) pada pasal 28 Undang-Undang Advokat No. 18 tahun 2003 (UUA)
menjadi multi-bar. Dengan alasan single majority oleh Peradi yang didukung
Mahkamah Agung (MA) dirasakan tidak adil dan banyak menimbulkan masalah.
Mereka berharap
hasil revisi akan bisa menyelesaikan berbagai masalah keadvokatan di
Indonesia. Dalam alam demokrasi perlu adanya kesamaan dan kesetaraan bagi
organisasi advokat (OA) lainnya, untuk melakukan rekrutmen advokat baru
sesuai visi dan misi masing-masing OA serta memberikan sanksi secara
internal. Untuk mengatur kemajemukan OA itu nantinya perlu dihadirkan Dewan
Advokat Nasional (DAN).
Berkat
kegigihan lobi, akhirnya Komisi III DPR manut dan menggunakan hak
inisiatifnya untuk merevisi UUA. Dalam draf revisi UUA yang saat ini masih
proses menunggu daftar inventarisasi masalah (DIM) dari pemerintah, banyak
sekali diubah letak pasal, ayat, maupun konstruksinya. Semua ini terkesan
bukan revisi lagi melainkan DPR berusaha menggantinya dengan UUA yang baru.
Sehingga spontan muncul legal actiongugatan perdata No. 440/Pdt.G/2013/PN.
Jkt.Tim di PN Jakarta Timur terhadap legislator yang mereka nilai telah
memaksakan kehendaknya.
Saat ini gugatan
itu masih berlangsung. Pertanyaan yang muncul dari hak inisiatif ini adalah:
”apa tujuan sebenarnya yang diinginkan DPR dan seberapa besar pemahaman
mereka selama ini tentang masalah keadvokatan beserta penerapan UUA selama
ini? Beberapa pasal pada UUA memang belum efektif dan berindikasi sengaja
dilanggar oleh OA. Apakah sejauh ini DPR sudah melakukan evaluasi tentang
pasal-pasal dimaksud, dan bagaimana pula dengan tinjauan/kajian secara
akademis terhadap pasal-pasal baru yang akan dimunculkan?
Kalau jawabannya
adalah tidak, kenapa tiba-tiba DPR bersemangat mengubah UUA. Hal ini
menandakan suatu pemaksaan kehendak tanpa dasar logika yang jelas dan akan
sulit dipertanggungjawabkan, baik secara filosofis, sosiologis, maupun
yuridis. Apalagi produk UU itu nantinya terancam diuji materiil. Jangan
sampai UUA baru itu nantinya bernasib sama seperti UU BP Migas yang telah
dibatalkan oleh MK-RI beberapa waktu lalu. Kita berharap produk legislatif
semakin berkualitas tanpa harus terburu-buru prosesnya, atau kita tidak tahu
kalau ada maksud lain yang belum diketahui saat ini.
Beberapa ”pasal
prinsip” yang belum efektif adalah tidak terbentuknya Komisi Pengawas Advokat
(pasal 13) sehingga OA berjalan tanpa pengawasan dan cenderung berjalan
semenamena. Akibatnya rekrutmen advokat baru dilakukan jorjoran akhir-akhir
ini secara komersial tanpa memedulikan kaidah-kaidah yang semestinya
dipedomani dalam UUA. Grade kelulusan tidak standar atau rendah, materi PKPA
maupun narasumbernya bahkan tidak berkompeten di bidangnya. Bahkan dalam
menerbitkan sertifikat PKPA tidak ada izin dari Kemendiknas RI.
Proses magang
dua tahun bagi advokat juga tidak berjalan efektif, sehingga mereka yang baru
lulus ujian advokat bisa langsung dilantik pada bulan berikutnya. Dalam
proses rekrutmen advokat, sejumlah UU seolah-olah sengaja dilanggar begitu
saja tanpa sanksi dan terkesan ”untouchable of law” (kebal hukum). Eksistensi
dan pengakuan negara terhadap advokat dinafikan sedemikian rupa.
Pertanyaannya apakah wajar puluhan ribu advokat yang diproduksi OA bermasalah
dan tidak bisa bersidang saat ini harus diputihkan dan dijustifikasi DPR
dengan membentuk UUA baru?
Sudah satu
suarakah sembilan fraksi di DPR sebagai petugas pemadam kebakaran? Dan adakah
jaminan UUA baru bisa menyelesaikan masalah keadvokatan ini? Bukankah bukti
dan fakta empiris selama ini menunjukkan bahwa berbagai OA (seolah sudah
multi-bar) telah bebas merekrut advokat baru dan mencetak KTA secara
suka-suka tanpa pengawasan? Bahkan perekrutan itu tidak terarsipi dengan baik
(dilaporkan) ke Kemenkumham dan MA yang telah menimbulkan berbagai masalah
nyata dengan tidak bisa bersidangnya puluhan ribu advokat baru.
Negara
semestinya punya politik hukum yang jelas tentang advokat ini. Komitmen itu sudah
tertuang dan terbaca jelas baik dalam pasal-pasal KUHP, KUHAP, UU Kepolisian,
UU Kejaksaan, UU-MA maupun konsideran UUA sendiri. Harus jelas profesi
advokat di Indonesia mau difungsikan seperti apa dalam konteks negara hukum
ini. Trias politica yang ada hendaknya konsisten dengan yang telah digariskan
oleh negara, bukan bertindak sendiri-sendiri sesuai cara pandang arogansi
institusinya masing-masing.
MA sebagai
cabang yudikatif kekuasaan negara konsisten menghargai ketentuan Pasal 28 UUA
tentang wadah tunggal profesi advokat dengan menerbitkan SKMA No. 052/KMA/V/
2009 tanggal 01 Mei 2009 dengan memerintahkan PT untuk tidak mengambil sumpah
advokat sebelum bersatunya Organisasi Advokat. Begitu juga dengan Mahkamah
Konstitusi (MK) dalam putusan No. 101/ PUU-VII/2009 tanggal 30 Desember 2009
yang intinya memerintahkan kepada Peradi-KAI untuk menentukan wadah tunggal
yang sah dalam waktu dua tahun setelah putusan dibacakan atau diselesaikan
melalui peradilan umum jika sudah lewat waktu.
Tapi kenapa cabang
legislatif— DPR—malah mencoba solusi baru dengan cara melahirkan UUA baru
seolah melakukan uji coba (trial and
error). Alasan filosofis, sosiologis, yuridis apa yang didasari kajian
naskah akademis disertai bukti empiris yang bisa diterima logika sehat.
Apalagi jumlah komunitas advokat seluruh Indonesia saat ini diperkirakan
telah berjumlah +/-65.000 orang yang juga harus didengar pendapatnya sebagai
subjek hukum.
Jika
diperbandingkan baik buruknya sistem single-bar(wadah tunggal) dengan
multi-bar, jelas nyata bedanya. Pada singlebar akan mudah dilakukan
pengawasan, baik pelaksanaan rekrutmen, pemberhentian, maupun regulasi
advokat harus dilakukan satu pintu. Kualitas profesi maupun penerbitan KTA
asli/palsu akan cepat/mudah terdeteksi dengan baik. Single-bar itu bukan
harus Peradi yang hanya didirikan sebagai persekutuan perdata biasa yang
tidak tunduk pada Pasal 28 UUA sebagai organisasi profesi advokat yang
semestinya tunduk pada hukum publik,
sehingga
single-bar ini bisa dikategorikan atau diperlakukan sebagai badan/lembaga
negara diperluas yang eksistensi operasionalnya mendapat tempat di APBN.
Single-bar itu akan bisa dirumuskan dalam Munas Advokat sebagai suatu Dewan
Federasi Advokat misalnya, yang memiliki kewenangan merekrut & memberhentikan
advokat satu pintu, regulasi dan fungsi monitoring terhadap para advokat dan
OA, serta tetap mengakui eksistensi berbagai OA yang ada saat ini walaupun OA
tidak memiliki kewenangan yang sebagaimana yang dimiliki DFA tersebut.
DFA bisa punya
beberapa divisi untuk merealisasikan fungsi-fungsinya. Adapun keanggotaan DFA
bisa dirumuskan dalam Munas Advokat, sedangkan dalam multi-bar malah akan
terjadi sebaliknya. Adanya class action (gugatan perwakilan) tentang
eksistensi KAI-Peradi yang nyata telah melanggar hukum terhadap putusan MK-RI
No.101/PUU-VII/ 2009 telah didaftarkan di PN Jakarta Selatan dengan Nomor 98/
Pdt.G/2014/PN.Jkt.Sel, akan bisa menentukan masa depan Advokat Indonesia.
Karena munas para advokat Indonesia pun akansegera digelar.
Self governing (kemandirian) advokat yang dinyatakan
pada Pasal 5 UUA hendaknya kita hormati bersama dan memberikan kesempatan
kepada komunitas advokat seluruh Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri
dalam Munas Advokat Indonesia nantinya sebagaimana diamanatkan Pasal 28 ayat
(1) UUA. Maka dari itu kita semua berharap teman-teman di komisi III DPR
maupun pemerintah qq. Kemenkumham yang akan membuat DIM UUA bisa
mempertimbangkan berbagai aspirasi yang berkembang di masyarakat sebelum
melanjutkan pembahasan UUA baru ini lebih lanjut. Jangan sampai revisi/UUA
baru kehilangan maknanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar