Petahana
Senayan
Yuna Farhan ;
Peneliti Senior FITRA; Mahasiswa
PhD University of Sydney
|
KOMPAS,
10 Maret 2014
KESUNYIAN
yang melanda ”gedung Senayan” akhir-akhir ini sudah dapat diprediksi
sebelumnya, yakni ketika sekitar 90 persen penghuninya mencalonkan kembali
pada pertarungan politik April mendatang.
Dapat
dipastikan para petahana Senayan ini akan berlomba kembali menarik simpati
para pemilih dan menebar janji-janji demi mempertahankan kursi empuknya di
parlemen.
Sorotan
publik terhadap tingkat kehadiran anggota DPR sebenarnya bukan hal baru.
Upaya yang dilakukan pun sudah cukup banyak, mulai dari penerapan finger
print, penerapan sanksi, sampai wacana potong gaji.
Memasuki
tahun politik, menurunnya tingkat kehadiran petahana Senayan menimbulkan
persoalan lebih pelik. Negara tidak hanya dirugikan karena harus membayar
gaji anggota DPR yang tidak hadir. Praktik ini bisa juga dikatakan sebagai
cara-cara korup untuk terpilih kembali, bahkan akan melanggengkan praktik
korupsi politik yang akan terus berulang, ketika hampir sebagian besar
petahana kembali berlaga pada pemilu mendatang.
Tiga modus
Dalam
praktik demokrasi langsung, petahana memang memiliki keuntungan sendiri.
Setidaknya ada tiga modus yang menguntungkan petahana legislatif dalam
konstestasi mendatang.
Pertama,
melalui kebijakan alokasi anggaran yang menguntungkan petahana DPR. Petahana
legislatif bisa mengarahkan anggaran dengan motif keuntungan pribadi maupun
melayani konstituennya untuk memenangi pemilu (Sutter, 1999). Meski DPR bukan
pelaksana anggaran, tetapi dengan fungsi anggaran yang dimilikinya, kebijakan
anggaran dapat diarahkan untuk menarik simpati pemilih melalui dana
optimalisasi ataupun bantuan sosial.
Dana
optimalisasi hasil pembahasan APBN 2014 oleh DPR, misalnya, menghasilkan
optimalisasi anggaran sebesar Rp 24 triliun. Meskipun dana ini dikelola
kementerian/lembaga dalam bentuk proyek, tetapi melalui negosiasi kepada
kementerian/lembaga yang memperoleh dana ini, bisa saja program atau
proyeknya diarahkan ke daerah pemilihan (dapil) tertentu. Padahal, dapil
tersebut tidak memerlukan program atau proyek itu.
Hal yang
sama terjadi pada bantuan sosial, yang jumlahnya meningkat dari Rp 55,8 triliun
pada RAPBN 2014 jadi Rp 73,1 triliun setelah dibahas DPR dan ditetapkan
menjadi APBN 2014. Terbuka peluang terjadinya transaksi antara anggota
legislatif dan kementerian untuk menitipkan bantuan sosial ke arah dapilnya.
Kedua,
sebagai petahana, berbagai fasilitas dan tunjangan yang melekat pada DPR
tidak bisa dilepaskan pada saat berlaga sebagai calon legislator. Johnston
dan Pattie (2009), misalnya, menemukan berbagai fasilitas yang dimiliki
petahana legislatif untuk berhubungan dengan konstituen atas nama menjalankan
fungsinya, meningkatkan peluang
keterpilihan dengan biaya kampanye yang lebih sedikit dibandingkan
penantangnya.
Berdasarkan
catatan FITRA (2013), terjadi kenaikan anggaran reses DPR tahun 2013 jadi Rp
1,2 miliar per orang untuk 11 kali kunjungan. Dengan dalih kunjungan kerja di
luar masa reses, pantas saja gedung DPR akhir-akhir ini makin sunyi, demi
melakukan kampanye dengan berbagai fasilitas yang melekat.
Ketiga,
dengan sistem pemilu proporsional daftar terbuka, tetapi akuntabilitas laporan
dana kampanye berada pada partai politik, ditambah tidak adanya batasan
belanja kampanye, juga merupakan
faktor pendorong petahana Senayan terjerembab dalam atmosfer korupsi politik.
Dengan sistem proporsional terbuka, dorongan persaingan caleg di dalam maupun
di luar partai politik, serta ketidakpastian untuk memenangi pemilu,
mendorong kecenderungan petahana untuk melakukan korupsi, mencari
sumber-sumber dana ilegal untuk membiayai kampanyenya (Chang, 2005).
Tiga
modus keuntungan petahana legislatif ini akan menjadi mata rantai korupsi
politik yang terus berulang. Banyaknya anggota legislatif periode 2009–2014
yang terjerat kasus korupsi sebenarnya hanyalah puncak gunung es dari korupsi
politik di lembaga ini, sekaligus mengonfirmasi sebagai episentrum terjadinya
korupsi politik.
Mereka
akan terus menciptakan celah-celah yang menguntungkan dirinya agar dapat
mempertahankan kursi empuk di legislatif. Dengan sistem politik yang korup,
hanya para politisi korup yang dapat memperoleh keuntungan untuk
melanggengkan kekuasaanya (Evrenk, 2011).
Memutus mata rantai
Memutus
siklus korupsi politik bukan perkara mudah. Salah satu upaya yang dianggap
efektif dan diadopsi di banyak negara adalah pembatasan masa jabatan
legislatif. Melalui pembatasan masa jabatan
untuk dipilih kembali, hal itu akan mengurangi hasrat petahana untuk
mengumpulkan biaya kampanye selama menjabat untuk memenangi pemilu
berikutnya, karena sudah tidak memenuhi kriteria untuk dipilih kembali
lame-duck (Sutter, 1999).
Memang
dengan pembatasan masa jabatan untuk dipilih kembali akan mengurangi atau
menghilangkan kesempatan politisi baik untuk dipilih kembali dan mengurangi
semangatnya untuk bekerja secara serius. Namun, dengan cara ini pemilih akan
meningkatkan standar dalam memilih petahana, dan petahana harus berupaya
memenuhi standar tersebut jika ingin terpilih kembali (Bernhardt dkk, 2004).
Sebenarnya
dari lembaga trias politika di Indonesia, yudikatif dan eksekutif sudah
memiliki batasan yang tegas terkait pembatasan masa jabatan untuk mengeliminasi penyalahgunaan kekuasaan.
Sayangnya, ini tidak berlaku bagi legislatif.
Padahal,
dengan batasan dapat dipilih kembali, kaderisasi di partai politik juga akan
berjalan dan dapat mengurangi terjadinya oligarki di partai politik. Pada sisi
lain, politisi korup di legislatif, yang juga akibat lingkungan korup dapat
dipangkas karena munculnya politisi-politisi baru yang bebas dari kontaminasi
para seniornya. Dengan demikian, sistem politik yang korup juga akan
terdegradasi dengan sendirinya.
Sangat
disayangkan, tahun lalu uji materi terhadap UU Pemilu mengenai batasan
jabatan legislatif justru kandas, ditolak Mahkamah Konstitusi (MK), dengan
dalih jabatan legislatif yang bersifat kolegial sehingga kecil kemungkinan
melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Sepertinya MK belum melihat realitas
korupsi politik di lembaga legislatif ini sebagai bahan pertimbangan dalam
putusannya.
Kesempatan
berada di tangan rakyat sudah di depan mata. Perhelatan pemilu yang akan
digelar pada April mendatang sudah
seharusnya menjadi momentum untuk memangkas siklus korupsi politik. Jika pada
saat sudah terpilih saja anggota DPR pemalas tidak menjalankan amanat para
pemilihnya, lalu apakah layak mereka untuk dipilih kembali? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar