Rupiah,
Perbankan, dan OJK
A Tony Prasetiantono ;
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik
(PSEKP)
UGM
|
KOMPAS,
10 Maret 2014
PEKAN
lalu, ada tiga peristiwa penting dan menarik di sektor moneter dan industri
keuangan kita yang berpengaruh signifikan terhadap perekonomian Indonesia.
Pertama, rupiah menjadi mata uang Asia yang menguat paling tinggi. Kedua,
kasus penyelamatan Bank Century sudah masuk di persidangan. Ketiga, polemik
mengenai penarikan iuran 0,03 persen terhadap aset total oleh Otoritas Jasa
Keuangan kepada bank-bank tampaknya mulai reda.
Rupiah
dan mata uang Asia mengalami pekan terbaik sejak 2012. Menyusul
ketidakjelasan masa depan perekonomian Amerika Serikat (AS) telah memicu
pelemahan dollar AS terhadap hampir semua mata uang dunia. Ketika pengurangan
stimulus moneter (tapering off)
hendak dilanjutkan dari penambahan pencetakan uang (quantitative easing) 65 miliar dollar AS ke 55 miliar dollar AS,
tiba-tiba tebersit keraguan, apakah perekonomian AS bakal membaik atau malah
memburuk di kemudian hari?
Jangan-jangan
perekonomian AS justru kembali memburuk jika stimulus moneter dicabut
sepenuhnya pada Oktober 2014. Musim dingin yang kali ini lebih buruk, serta
ketegangan politik di Ukraina yang melibatkan Rusia, juga menambah masalah
perekonomian AS dan prospeknya.
Kegelisahan
para pemilik dana global ini kemudian direspons dengan mengalirkan dananya ke
negara-negara di luar AS, terutama di negara-negara berkembang yang
pertumbuhannya tinggi (emerging markets).
Di Asia, sepanjang pekan lalu rupiah menguat tertinggi dengan 1,5 persen ke
Rp 11.440 per dollar AS. Rupee (India) menguat 1,2 persen ke 61,05 per dollar
AS; baht (Thailand) menguat 0,9 persen ke 32,27; yuan (China) menguat 0,31
persen ke 6,12; won (Korea Selatan) menguat 0,6 persen ke 1.060; peso
(Filipina) juga menguat 0,6 persen ke 44,39; dan dollar Taiwan menguat 0,2
persen ke 30,30 per dollar AS. Dong (Vietnam) tidak beranjak pada level
21.100 per dollar AS (Bloomberg dan
Jakarta Post, 8/3).
Penguatan
rupiah ini otomatis memberi ruang bagi Bank Indonesia untuk tidak menaikkan
suku bunga acuan BI Rate, tetap di level 7,5 persen. Suku bunga bahkan
berpeluang turun, tetapi sebaiknya tidak buru-buru dilakukan sekarang. Kita
perlu mengobservasi lagi: apakah penguatan rupiah akan terus berlanjut?
Selain itu, apakah tren penurunan inflasi (kini 7,75 persen dibandingkan 8,38
pada 2013) juga akan berlanjut? Jika berlanjut, suku bunga pun bisa mulai
diturunkan dengan aman.
Memang
ada kekhawatiran bahwa penguatan rupiah akan berdampak negatif pada kinerja
perdagangan internasional. Namun, karena rupiah menguat tidak sendirian,
kekhawatiran tersebut kurang beralasan. Berita baik lainnya adalah harga
kelapa sawit naik ke 886 dollar AS per ton atau yang tertinggi dalam 17 bulan
terakhir (Bloomberg, 7/3). Ini
menambah sentimen positif bagi rupiah dan perekonomian Indonesia.
Sementara
itu, dimulainya persidangan kasus Bank Century menimbulkan cukup banyak
kegaduhan. Untungnya, kegaduhan Century tidak berimbas negatif pada industri
perbankan. Sejauh ini, kinerjanya terus membaik. Aset total kini sekitar Rp
5.000 triliun, simpanan masyarakat Rp 4.000 triliun, kredit Rp 3.400 triliun,
NPL 1,74 persen, NIM 5,49 persen, ROA 3,11 persen, dan LDR 89 persen.
Guncangan krisis eksternal juga tidak mengusik perbankan kita. Modal bagus
inilah yang mengantar transisi dari BI ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak
Januari 2014.
Di
seluruh dunia ada dua jenis format kelembagaan yang mengatur sektor moneter
dan perbankan. Sistem yang dianut di AS adalah Federal Reserve (The Fed)
yang berkuasa terhadap kebijakan moneter (menetapkan suku bunga, mengontrol
kurs mata uang, dan jumlah uang beredar), sistem pembayaran, sekaligus
supervisi dan pengawasan bank komersial. Sistem lainnya adalah memisahkan
kedua fungsi tersebut, misalnya Inggris (sebelum kembali ke sistem yang
dianut The Fed).
Kasus
Indonesia, sesudah bergulat selama bertahun-tahun, akhirnya memilih jalan
kedua, yakni memisahkan fungsi kebijakan moneter dan pengawasan perbankan.
Pilihan ini diambil karena trauma buruk krisis 1998. Krisis mengajarkan kita
bahwa kerusakan yang terjadi pada industri perbankan (yang diawasi oleh BI)
ternyata juga menjalar ke mana-mana, ke sektor finansial lain, seperti pasar
modal, asuransi, dan lembaga-lembaga keuangan lain (yang berada di bawah
otoritas Kementerian Keuangan).
Krisis
keuangan memang tidak bisa diisolasi. Industri perbankan telah terhubung erat
dengan industri finansial lainnya (bank investasi, asuransi, pegadaian, dan
lembaga-lembaga lain), seperti sebuah bejana berhubungan. Karena ada risiko
sistemik atau risiko penularan ke berbagai lembaga finansial lain di
lingkungan ”keluarga besar” industri keuangan, maka muncul ide penyatuan
pengawasannya ke dalam satu atap. Ini mirip ide membuat izin investasi dalam
satu atap koordinasi agar lebih efisien.
Masalah
sedikit timbul ketika Inggris belakangan ini justru mengembalikan sistem
pengawasan bank dari model otoritas jasa keuangan (financial system authority atau FSA) ke sistem bank sentral
karena FSA ternyata juga tidak berhasil mencegah kegagalan Bank Northern
Rock. Kasus ini menyebabkan Indonesia bingung: apakah mau meneruskan OJK
ataukah sebaiknya kembali ke sistem bank sentral seperti Inggris?
Saya
pikir kita tidak boleh bingung dan terpengaruh oleh kasus Inggris. Kita harus
tetap fokus dan berupaya membuat kinerja OJK bagus. Upaya mengembalikan ke
sistem bank sentral (BI) lagi hanya akan menambah perkara dan ongkos. Itu
jangan dilakukan.
Tantangan
OJK pertama adalah soal iuran 0,03 persen terhadap aset total perbankan Rp
5.000 triliun, yang akan menghasilkan Rp 1,5 triliun per tahun. Dulu di era
BI tidak pernah ada iuran semacam ini. Mula-mula kalangan perbankan cenderung
menolak adanya iuran, tetapi belakangan ini berangsur mulai bisa menerimanya.
Berbeda dengan BI, OJK kini dibiayai oleh industri. Karena itu, tak ada
alasan lagi bagi OJK untuk mengulang kesalahan kasus Century. Era baru
industri perbankan telah dimulai, cacat integritas OJK tidak boleh ada. Maaf,
toleransinya nol, alias zero tolerance....
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar