Minggu, 09 Maret 2014

“Hope”

“Hope”

Samuel Mulia ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS,  09 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
Di suatu malam, menjelang tengah malam, saya menyaksikan tayangan film di layar televisi. Sebuah kalimat yang diucapkan seorang perempuan, langsung menempel di kepala. Begini ucapannya itu, ”If you don’t have hope what is the point of living?”

Berharap

Hope. Kata itu merupakan nasihat yang telah disuarakan ke gendang telinga saya oleh mereka yang berada di dalam rumah, di lingkungan pergaulan dan mereka yang tiap hari minggu berada di mimbar rumah ibadah.

Kata yang katanya mengandung makna luar biasa itu, telah disuarakan saat saya masih duduk dengan kesal hati di sekolah menengah pertama dan atas, sampai sekarang ketika sudah berusia setengah abad lebih satu tahun.

Dan yang menyuarakan nasihat itu, tak pernah makin surut, tetapi semakin lama semakin banyak. Dan dengan datangnya sosial media serta kemudahan fasilitas yang disajikan di dalam gadget, maka nasihat itu pun makin hadir setiap saat tanpa diharapkan. Kapan saja, di mana saja, dan tanpa bersuara.

Maka kata itu kemudian menempel dan menjadi sebuah jalan keluar kalau sedang kesal dan galau setengah mati. Menjadi salah satu solusi ketika hidup berjalan tak seperti yang saya kehendaki.

Tetapi belakangan ini, saya mulai mempertanyakan diri sendiri, bagaimana saya bisa berpuluh tahun memercayai kata itu sebagai pegangan hidup ketika saya galau, dan menjadikannya semacam alat penyemangat ketika sama sekali tak bersemangat. Belakangan saya mulai bertanya, apakah sesungguhnya saya tahu pasti arti dan makna kata itu?

Maka di suatu pagi, saya mulai mencarinya di dalam kamus. Dan begini dijelaskan. Hope sebagai kata benda adalah a feeling of expectation and desire for a certain thing to happen, a feeling of trust. Sebagai kata kerja, ia berarti want something to happen. Dijelaskan pula bahwa persamaan kata hope adalah expectation, wish.

Minggu lalu saya bercerita kalau beberapa bulan terakhir hidup saya sungguh mengesalkan, saya ingin lari dari kenyataan. Sejujurnya, semua berawal dari kekecewaan saya memercayai kata yang satu ini.

Sejujurnya sebelum saya melihat kamus untuk mengetahui makna kata itu, saya sudah menyadari bahwa sebuah harapan itu tak ada yang pasti. Ia hanya bermakna sebagai sebuah keinginan agar sesuatu yang diinginkan terjadi. Dan yang membuat saya merasa aneh, bagaimana berpuluh tahun lamanya, saya bisa memberikan kepercayaan pada sebuah kata yang mengandung ketidakpastian?

Menerima

Ketika saya berharap, saya melibatkan the feeling of trust itu. Tetapi saya lupa. Saya boleh-boleh saja melibatkan kepercayaan saya ketika berharap akan sesuatu, tetapi yang akan menjamin harapan saya tercapai, adalah pihak lain, dan bukan saya. Hal inilah yang saya lupakan dan menjadi sumber utama kekecewaan.

Saya berharap kalau bisa hari ini jangan hujan, jangan macet, dollar jangan naik, indeks jangan turun, kalau bisa ibu saya tidak meninggal di usia tak mencapai setengah abad. Saya berharap bisa memenangkan proyek ini dan proyek itu. Dan sejuta lagi harapan lainnya.

Mungkin, karena harapan itu mengandung ketidakpastian, maka ada beberapa manusia yang memberi dana di bawah meja saat sedang bersaing memenangkan sebuah proyek, agar harapan mereka bisa tercapai seperti yang diinginkan.

Tindakan itu menunjukkan kalau mereka berharap dan tahu pasti keberhasilan sebuah harapan itu bukan ada di tangan mereka. Padahal, menyogok itu sama dengan berharap. Bisa jadi menggembirakan, bisa jadi mengecewakan.

Di luar semua nasihat mulia yang sudah saya dengar sejak masih muda dulu, ada suara lain yang juga mengajarkan saya ketika hidup berjalan seperti ayunan. Dan suara ini juga sama telah berdengung sejak lama di gendang telinga saya. Dan saya yakin, Anda juga pernah dinasihati seperti ini.

Hidup itu dijalani saja, jangan terlalu berharap. Hidup itu akan lebih mudah kalau diterima dengan lapang dada. Teman saya bilang begini. ”Ngarepin itu bikin tambah kesel. Enggak ngarep itu memudahkan hidup dan meringankan beban perjalanan.”

Ia kemudian menambahkan penjelasannya. ”Dengan tidak berharap, kamu tak akan merasa kalah atau merasa menang, tetapi kamu akan tenang dan senang. Berharap itu sebuah tindakan membebani diri. Tidak berharap itu melahirkan kelegaan,” katanya.

Maka sekarang saya mengerti, kalau saya ini ingin lari dari kenyataan karena saya terlalu banyak berharap. Harapan itu selalu ada dua. Bisa jadi pasti, bisa jadi tidak pasti. Apa pun alasan di baliknya.

Dan, saya merasa sungguh bodoh, telah memilih mendengarkan nasihat mereka yang menyarankan berharap dengan hanya menggaungkan bagian pastinya ke gendang telinga saya, dan menyembunyikan bagian tidak pastinya, karena mereka tahu pasti bahwa itu akan mengecewakan.

Seharusnya sejak lama, saya memilih untuk mendengarkan nasihat
seperti teman saya itu untuk tidak berharap, tetapi menerima keadaan. Mungkin, hidup saya akan jauh lebih tenteram dan membahagiakan. Mungkin loh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar