Minggu, 09 Maret 2014

Hakikat Berjiwa Besar

Hakikat Berjiwa Besar

Liek Wilardjo  ;   Fisikawan, Guru Besar Fakultas Teknik Elektronika dan Komputer (FTEK)  UKSW Salatiga
SUARA MERDEKA,  08 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                             
“Apalah arti sebuah nama. Mawar sekuntum, mau disebut apa pun, ya tetap harum.”

ITULAH kata-kata William Shakespeare yang diungkapkannya melalui tokoh dalam drama tragedinya, ”Romeo and Juliet”. Di kalangan kerabat dan sahabat yang diikat tali silaturahmi akrab dan saling hormat, pandangan Plato tentang nama itu benar. Terlebih antara Romeo dan Juliet yang saling mengikatkan diri dalam cinta sejati. Tak peduli walaupun ada dendam kesumat dan permusuhan turun-temurun antara keluarga besar Romeo, yakni keluarga Montague dan keluarga besar Juliet, yakni keluarga Capulet.

Dalam dunia pewayangan, Setiaki diparabi (dijuluki, dipanggil) Bima Kunthing oleh Bratasena. Oleh kakanda sepupunya itu dia bahkan kerap dipanggil Bungkik. Setiaki tidak marah, meskipun bungkik berarti kecil dan berbentuk jelek. Setiaki memang berperawakan kecil tapi sosoknya tidak jelek. Ia malah bangga disapa Bungkik sebab tahu itu paraban kesayangan.

Sebaliknya, kita tidak suka disebut Indon oleh orang Malaysia. Padahal kenyataannya kita bangsa Indonesia, dan penyebutan Indon bisa dianggap kependekannya. Itu karena kita tidak dalam keadaan bersahabat dengan jiran sepuak-serantau itu sejak pembajakan lagu ”Terang Bulan”, pencaplokan Sipadan dan Ligitan, perlakuan jelek terhadap TKI. Bagi kita, Indon berkonotasi melecehkan.

Perasaan Publik

Anthropolinguist Sandarupa melanjutkan uraiannya dengan pandangan logikawan, G Frege, B Russell, dan L von Wittgenstein, dan dengan teori ”mata rantai historis komunikasi” Kripke. Bagi peminat filsafat, linguistik, dan semiotika uraian Sandarupa sangat menarik. Tapi bagi publik awam, yang lebih penting bagaimana perasaan kita dan bagaimana kita seharusnya bersikap terhadap protes Singa­pura atas penamaan Usman Harun untuk fregat TNI AL.

Anjuran Sandarupa agar kita meningkat­kan hubungan persahabatan dengan Singapura adalah positif. Caranya, antara lain dengan secara baik-baik mengatakan kepada Singapura bahwa kita dapat memaklumi keberatan Singapura. Kita dapat menyatakan dengan tulus bahwa keberatan Singapura itu wajar sebab di mata Singapura Usman dan Harun itu tampak sebagai teroris peledak bom yang memakan korban.

Tapi Singapura semestinya juga mau mengerti perasaan kita. Singapura boleh memohon, sudi apalah kiranya kita mempertimbangkan lagi penamaan fregat itu, dan kita boleh juga menolak permohonan itu, dengan alasan yang juga benar dalam pandangan kita. Tak semestinya Singapura ngotot, dan bahkan kebablasan melarang fregat Usman Harun melintas dekat Singapura. Lintasan pelayaran di dekat Singapura itu menurut deklarasi Djuanda termasuk perairan Indonesia juga, bukan?

Keberatan Singapura terhadap nama Usman Harun itu serupa dengan keberatan Korea, China dan akhir-akhir ini juga Korea Utara, atas ziarah perdana-perdana menteri Jepang, termasuk terakhir PM Shintaro Abe, di kuil Yasukuni. Para prajurit Jepang yang dihormati dengan ziarah itu, di mata negara-negara yang pernah diinjak-injak bala tentara Dai Nippon adalah penjahat.

Adapun bagi Jepang, tentara yang gugur dan dihormati dengan upacara di kuil Yasukuni itu pahlawan yang mengemban mission sacrÈe, melaksanakan titah Hirohito Tenno yang pada masa PD II dianggap setengah dewa (demigod). Sama halnya Usman dan Harun, yang di dan oleh Indonesia dipandang sebagai prajurit KKO yang melaksanakan perintah Pemimpin Besar Revolusi, Soekarno.

Tetapi ziarah PM Jepang di kuil itu menyakiti hati rakyat di negara-negara bekas jajahannya (kecuali Indonesia, yang menganggap Jepang sebagai saudara tua, meskipun kekejaman Kenpetai luar biasa). Karena itu PM Inggris ikut mengimbau Jepang agar tidak mengabaikan protes jiran-jirannya.

Andai mau, Jepang dapat mengindahkan imbauan tersebut, dengan berziarah secara pribadi (bukan selaku PM) dan secara diam-diam, tanpa menyiarkan ritual itu. Secara politik ini memang kurang menguntungkan bagi PM bersangkutan dan partainya, tapi secara kerohanian (kalau sesuai dengan keyakinan keagamaan orang Jepang) itu pun tak ada bedanya, dengan atau tanpa agitprop (agitasi dan propaganda).

Kebesaran Jiwa

Di sinetron TBNH ”Haji Dua Kali, Boss RW, Komandan” Muhidin ngomongnya clap-clup. Banyak celetukan Haji Muhidin itu yang sesuai dengan kenyataan. Misal, Hajah Rodiah itu janda dan sudah tua, dan istri keduanya sendiri, Rumi, kelihatannya mandul. Jadi kalau Muhidin berkilah ia semata-mata hanya menyatakan fakta, dan tak bermaksud menghina, oleh logikawan Gottlob Frege dan barangkali juga oleh sedulur sikep, akan dapat dimengerti.

Tapi bagi yang diceletuki dan orang-orang lain yang menyayanginya, clap-clup Haji Muhidin itu penghinaan. Jadi, demi menjaga harmoni dalam relasi sosial, sebaiknya statement of facts itu jangan dilakukan. Kalau coute-que-coute demi menghapus penasarannya celetukan itu harus diungkapkan, ya cukup dibatin (di dalam hati) saja.

Demikian pula bahwa Usman dan Harun sesuai kenyataan adalah pahlawan Indonesia, kalau nama itu menyakiti hati warga Singapura, ya tidak usah digembar-gemborkan. Keputusan TNI AL menjadikan fregat Usman Harun bagian dari Armada Timur sudah tepat.

Salah satu baris dalam sebait tembang macapat ’’Mijil’’ berbunyi wani ngalah luhur wekasane (berani mengalah luhur ujung akhirnya). Sifat dan sikap berjiwa-besar (magnanimous) dan kenegarawanan (statemanship) kita harapkan ada pada pemimpin-pemimpin kita. Juga Panglima TNI dan Menko Polhukham.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar