Hakikat
Berjiwa Besar
Liek Wilardjo ;
Fisikawan, Guru Besar Fakultas Teknik
Elektronika dan Komputer (FTEK) UKSW
Salatiga
|
SUARA
MERDEKA, 08 Maret 2014
“Apalah arti sebuah nama. Mawar sekuntum, mau
disebut apa pun, ya tetap harum.”
ITULAH
kata-kata William Shakespeare yang diungkapkannya melalui tokoh dalam drama
tragedinya, ”Romeo and Juliet”. Di kalangan kerabat dan sahabat yang diikat
tali silaturahmi akrab dan saling hormat, pandangan Plato tentang nama itu
benar. Terlebih antara Romeo dan Juliet yang saling mengikatkan diri dalam
cinta sejati. Tak peduli walaupun ada dendam kesumat dan permusuhan turun-temurun
antara keluarga besar Romeo, yakni keluarga Montague dan keluarga besar
Juliet, yakni keluarga Capulet.
Dalam
dunia pewayangan, Setiaki diparabi (dijuluki, dipanggil) Bima Kunthing oleh
Bratasena. Oleh kakanda sepupunya itu dia bahkan kerap dipanggil Bungkik.
Setiaki tidak marah, meskipun bungkik berarti kecil dan berbentuk jelek.
Setiaki memang berperawakan kecil tapi sosoknya tidak jelek. Ia malah bangga
disapa Bungkik sebab tahu itu paraban kesayangan.
Sebaliknya,
kita tidak suka disebut Indon oleh orang Malaysia. Padahal kenyataannya kita
bangsa Indonesia, dan penyebutan Indon bisa dianggap kependekannya. Itu
karena kita tidak dalam keadaan bersahabat dengan jiran sepuak-serantau itu
sejak pembajakan lagu ”Terang Bulan”, pencaplokan Sipadan dan Ligitan,
perlakuan jelek terhadap TKI. Bagi kita, Indon berkonotasi melecehkan.
Perasaan Publik
Anthropolinguist
Sandarupa melanjutkan uraiannya dengan pandangan logikawan, G Frege, B
Russell, dan L von Wittgenstein, dan dengan teori ”mata rantai historis
komunikasi” Kripke. Bagi peminat filsafat, linguistik, dan semiotika uraian
Sandarupa sangat menarik. Tapi bagi publik awam, yang lebih penting bagaimana
perasaan kita dan bagaimana kita seharusnya bersikap terhadap protes
Singapura atas penamaan Usman Harun untuk fregat TNI AL.
Anjuran
Sandarupa agar kita meningkatkan hubungan persahabatan dengan Singapura
adalah positif. Caranya, antara lain dengan secara baik-baik mengatakan
kepada Singapura bahwa kita dapat memaklumi keberatan Singapura. Kita dapat
menyatakan dengan tulus bahwa keberatan Singapura itu wajar sebab di mata
Singapura Usman dan Harun itu tampak sebagai teroris peledak bom yang memakan
korban.
Tapi
Singapura semestinya juga mau mengerti perasaan kita. Singapura boleh
memohon, sudi apalah kiranya kita mempertimbangkan lagi penamaan fregat itu,
dan kita boleh juga menolak permohonan itu, dengan alasan yang juga benar
dalam pandangan kita. Tak semestinya Singapura ngotot, dan bahkan kebablasan
melarang fregat Usman Harun melintas dekat Singapura. Lintasan pelayaran di
dekat Singapura itu menurut deklarasi Djuanda termasuk perairan Indonesia
juga, bukan?
Keberatan
Singapura terhadap nama Usman Harun itu serupa dengan keberatan Korea, China
dan akhir-akhir ini juga Korea Utara, atas ziarah perdana-perdana menteri
Jepang, termasuk terakhir PM Shintaro Abe, di kuil Yasukuni. Para prajurit
Jepang yang dihormati dengan ziarah itu, di mata negara-negara yang pernah
diinjak-injak bala tentara Dai Nippon adalah penjahat.
Adapun
bagi Jepang, tentara yang gugur dan dihormati dengan upacara di kuil Yasukuni
itu pahlawan yang mengemban mission
sacrÈe, melaksanakan titah Hirohito Tenno yang pada masa PD II dianggap
setengah dewa (demigod). Sama
halnya Usman dan Harun, yang di dan oleh Indonesia dipandang sebagai prajurit
KKO yang melaksanakan perintah Pemimpin Besar Revolusi, Soekarno.
Tetapi
ziarah PM Jepang di kuil itu menyakiti hati rakyat di negara-negara bekas
jajahannya (kecuali Indonesia, yang menganggap Jepang sebagai saudara tua,
meskipun kekejaman Kenpetai luar biasa). Karena itu PM Inggris ikut mengimbau
Jepang agar tidak mengabaikan protes jiran-jirannya.
Andai
mau, Jepang dapat mengindahkan imbauan tersebut, dengan berziarah secara
pribadi (bukan selaku PM) dan secara diam-diam, tanpa menyiarkan ritual itu.
Secara politik ini memang kurang menguntungkan bagi PM bersangkutan dan
partainya, tapi secara kerohanian (kalau sesuai dengan keyakinan keagamaan
orang Jepang) itu pun tak ada bedanya, dengan atau tanpa agitprop (agitasi
dan propaganda).
Kebesaran Jiwa
Di
sinetron TBNH ”Haji Dua Kali, Boss RW,
Komandan” Muhidin ngomongnya clap-clup.
Banyak celetukan Haji Muhidin itu yang sesuai dengan kenyataan. Misal, Hajah
Rodiah itu janda dan sudah tua, dan istri keduanya sendiri, Rumi,
kelihatannya mandul. Jadi kalau Muhidin berkilah ia semata-mata hanya menyatakan
fakta, dan tak bermaksud menghina, oleh logikawan Gottlob Frege dan
barangkali juga oleh sedulur sikep,
akan dapat dimengerti.
Tapi
bagi yang diceletuki dan orang-orang lain yang menyayanginya, clap-clup Haji Muhidin itu penghinaan.
Jadi, demi menjaga harmoni dalam relasi sosial, sebaiknya statement of facts itu jangan
dilakukan. Kalau coute-que-coute
demi menghapus penasarannya celetukan itu harus diungkapkan, ya cukup dibatin
(di dalam hati) saja.
Demikian
pula bahwa Usman dan Harun sesuai kenyataan adalah pahlawan Indonesia, kalau
nama itu menyakiti hati warga Singapura, ya tidak usah digembar-gemborkan.
Keputusan TNI AL menjadikan fregat Usman Harun bagian dari Armada Timur sudah
tepat.
Salah
satu baris dalam sebait tembang macapat ’’Mijil’’
berbunyi wani ngalah luhur wekasane
(berani mengalah luhur ujung akhirnya). Sifat dan sikap berjiwa-besar (magnanimous) dan kenegarawanan (statemanship) kita harapkan ada pada
pemimpin-pemimpin kita. Juga Panglima TNI dan Menko Polhukham. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar