Ketidaksiapan
Caleg Perempuan
Siti Maryamah ; Anggota
Pengganti Antar Waktu (PAW)
KPU Kabupaten
Banjarnegara
|
SUARA
MERDEKA 24 Maret 2014
Kampanye
terbuka sudah dimulai, tetapi banyak caleg gagap mental menyambutnya. Di
dunia maya ramai beredar foto caleg perempuan dari Ngawi Jawa Timur yang
tengah melakukan ritual mandi di sungai keruh demi ambisi meraih kursi di
pileg 9 April nanti. Foto itu kontan mengundang keprihatinan, hujatan, dan
olok-olok dari para netizen (pengguna internet). Caleg perempuan tersebut
berasal dari partai lima besar.
Ini
untuk kali kedua caleg perempuan menjadi bulan-bulanan secara masif oleh para
netizen setelah beberapa waktu lalu ada caleg perempuan yang juga penyanyi
dangdut mengalami hal serupa. Ia menjadi olok-olok setelah penampilannya pada
acara talkshow ’’Mata Najwa’’ di
Metro TV justru menunjukkan kapasitas yang rasanya kurang memadai untuk
menjadi legislator.
Dua
kejadian yang berbeda menunjukkan hal sama, yaitu ketidaksiapan caleg
perempuan bertarung dalam kompetisi politik. Perempuan caleg dari Ngawi itu
menunjukkan irasionalitas dan kegagapan mental lewat tindakan
kontraproduktif. Adapun caleg yang penyanyi itu menunjukkan kepada publik
keminiman kapasitas intelektual dan strategi memenangi kontestasi. Dugaan
publik bahwa penomoran urut caleg menjadi ajang jual-beli antara caleg dan
partai pengusung pun menguat.
Alih-alih
menaikkan elektabilitas, kemunculan caleg yang penyanyi dalam talkshow tersebut justru menelanjangi
dagelan tak lucu yang dilakukan oleh parpol, dengan memasang selebritis pada
daftar caleg. Semakin jelas, siapa bermodal kuat akan mendapat nomor urut
atas/kecil, tak soal kapasitas macam apa yang dimiliki.
Tak
hanya mengabaikan soal kapasitas dan kapabilitas caleg, nomor urut caleg juga
mengabaikan jenjang pengaderan atau karier politik para caleg di parpol
bersangkutan. Buktinya, caleg kutu loncat dan politikus dadakan, asalkan
populer dan diperkirakan bisa jadi vote
getter ditempatkan di nomor potensial jadi. Ini salah satu indikasi
malfungsi parpol dari sisi perekrutan politik.
Kecenderungan
parpol yang pragmatis ini mendemotivasi anggota masyarakat untuk meniti
karier politik dengan menjadi aktivis ideologis parpol.
Jika
parpol memberi iming-iming kepada caleg perempuan semacam itu dengan nomor
urut 1 misalnya, sejatinya partai tersebut juga melakukan semacam tindakan
pembodohan kepada si caleg tersebut. Pasalnya, dalam sistem pemilu
proporsional terbuka, pemilih leluasa untuk langsung mencoblos caleg nomor
berapa pun.
Artinya,
nomor urut atas pun, jika gagal meraih simpati pemilih maka dia tidak akan
terpilih. Apalagi jika dapil tempat si caleg dicalonkan adalah dapil kering
bagi parpol tersebut, semisal karena tak adanya basis massa potensial. Meski
bermodal popularitas sebagai selebritis, caleg tersebut tetap harus bekerja
keras meraih suara. Patut dikasihani bila ia belum memahami mekanisme politik
itu.
Picu Apatisme
Di sisi
lain, buruknya citra parpol menyusul korupsi masif para kader di legislatif,
memicu apatisme akut masyarakat. Pergeseran fokus pemilih dari partai ke
individu juga mencerminkan kegagalan parpol menjalankan fungsi sebagai agen
komunikasi politik yang bertugas mengagregasi dan mengartikulasi kepentingan
rakyat.
Saat ada
caleg memperjuangkan kebijakan prorakyat yang berseberangan dengan
kepentingan pragmatis partai, sang caleg malah di-recall. Bagi caleg perempuan, implikasi malfungsi parpol semacam
ini jelas amat berat, karena parpol mana pun tak bisa diandalkan sebagai
kendaraan politik menuju kursi idaman.
Akhirnya
ia menempuh cara-cara instan nan pragmatis dan sering irasional. Politik
uang, ngalap berkah ke tempat keramat, mendatangi paranormal, kongkalikong
dengan oknum penyelenggara pemilu, hingga menyiapkan ìjalur bebas hambatanî
ke MK jika harus berselisih dengan KPU. Sayang, untuk semua itu uanglah yang
akhirnya bicara. Siapkah caleg perempuan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar