Menyeberang
Jalan
Sukardi Rinakit ;
Pendiri Soegeng Sarjadi Syndicate dan Kaliaren Foundation
|
KOMPAS,
11 Maret 2014
DI SUDUT
Jalan Ciragil, Jakarta Selatan, Ketua Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Indonesia Viraguna Bagoes Oka dan beberapa kolega
mengajak saya berdiskusi mengenai prospek pemilu. Semua sependapat bahwa
pemilu akan berjalan aman. Namun, ketika bicara soal calon presiden, yang terdengar
adalah desah kecil.
Sebagai
bagian dari kognitariat, mereka berharap PDI-P segera mengumumkan calon
presidennya. Ibarat aliran sungai, preferensi politik masyarakat akan jelas
ke mana bermuara. Sejauh ini, dari ketiga partai yang diprediksi akan memperoleh
suara signifikan, Partai Golkar dan Gerindra masing-masing telah mengusung
calon presidennya, yaitu Aburizal Bakrie dan Prabowo Subianto. Tinggal calon
presiden dari PDI-P yang ditunggu. Adapun Partai Demokrat hingga kini
geliatnya masih sulit diprediksi.
Mendengar
desah para kolega Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia (Iluni FISIP UI) itu, saya tersenyum. Penulis meyakini
bahwa belum diumumkannya Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) sebagai
calon presiden, misalnya, karena Megawati Soekarnoputri memperhitungkan
segala sesuatunya dengan cermat. Ibarat menyeberang jalan, ia ingin menuntun
dan memastikan kader terbaiknya selamat ketika menyeberang.
Dengan
demikian, berbeda dengan pendapat beberapa analis yang mengatakan sejatinya
Megawati masih menginginkan maju jadi calon presiden, saya justru sebaliknya.
Sebagai pribadi, Megawati sudah ”duduk” (resolved).
Ia bukan saja berhasil mengendalikan dan mengonsolidasi partai yang kadernya
terkenal sulit diatur selama lebih dari dua dasawarsa, melainkan juga
melahirkan politisi muda mumpuni. Ia putri presiden, pernah wakil presiden,
dan presiden.
Dari
perspektif kontestasi politik dan kekuasaan, kalaupun Megawati memiliki
ambisi politik, itu bukan lagi perkara kedudukan. Lebih dalam dari itu, ia
ingin melihat terwujudnya Indonesia Raya di tangan para kader terbaiknya.
Dengan
konstruksi berpikir seperti itu, dan sejalan dengan hampir semua hasil
survei, Jokowi dan Prabowo merupakan dua figur di puncak elektabilitas.
Keduanya mempunyai narasi lebih kuat dibandingkan dengan figur-figur lain.
Namun, apabila Prabowo masih bertumpu pada gerak cepat dan manuver pribadi
seperti kesan yang berlaku selama ini, ambang batas presiden dan absennya
partai politik yang mau berkoalisi dengan Gerindra dapat menjadi batu
sandungan nantinya.
Jika itu
terjadi, posisi Aburizal dan siapa pun pemenang konvensi Partai Demokrat
secara hipotesis akan meningkat. Akan tetapi, secara prediktif, bangunan
narasi yang akan mereka rajut kalah kuat dibandingkan narasi yang melekat
pada Jokowi. Cukup mengusung tagline
sederhana, misalnya ”Biar Kerempeng
tapi Banteng”, bukan saja secara komunikasi politik sosok Jokowi menjadi
istimewa, melainkan secara narasi juga menjadi solid. Ia manunggal dengan PDI-P.
Secara teori, narasi ini sulit dipatahkan lawan.
Dalam
perspektif budaya politik, riuhnya wacana calon presiden selama ini
menegaskan bahwa kultur politik paternalistik tetap melekat dalam alam bawah
sadar bangsa Indonesia. Sistem demokrasi yang menjadi konsensus nasional
ternyata belum bisa memperlemah, apalagi menghapus, kultur politik tersebut.
Akibatnya, figur penting lain yang layak menjadi wakil presiden tidak
dianggap strategis dalam diskursus publik.
Padahal,
dalam praksis, figur orang nomor dua tersebut sangat menentukan kualitas
pemerintahan dalam memanggul konstitusi. Bahkan, kejayaan Kerajaan Majapahit
di bawah kendali Raja Hayam Wuruk, misalnya, meski ada kontroversi di
dalamnya, melekat peran signifikan Patih Gadjah Mada. Ini berlaku juga untuk
Bung Hatta dan Jusuf Kalla ketika menjadi wakil presiden.
Sehubungan
dengan hal tersebut, kombinasi karakter presiden dan wakil presiden yang
komplementer menjadi penting. Hayam Wuruk yang kalem, pemerintahannya menjadi
moncer ketika didampingi Gadjah Mada yang aktif jika tidak boleh disebut
agresif. Bung Karno menjadi seimbang ketika didampingi Bung Hatta dan Susilo
Bambang Yudhoyono bergerak lebih dinamis ketika didampingi Jusuf Kalla.
Dengan
istilah lain, apabila calon presidennya, meminjam istilah Buya Syafii Maarif
berkarakter ”rem”, calon wakil presidennya harus seperti ”gas”. Dengan
demikian, ada keseimbangan. Namun, kalau karakter keduanya sama, seperti
pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono, pemerintahan dipastikan akan
lamban.
Dengan
ilustrasi itu, selain figur calon presiden, kini sudah saatnya perhatian juga
harus diletakkan pada sosok calon wakil presiden. Para tokoh yang mempunyai
ketegasan sikap dan sudah selesai dengan dirinya layak untuk dimunculkan.
Sementara itu, mari kita menunggu sejenak Megawati yang sedang menuntun kader
terbaiknya selamat ketika menyeberang jalan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar