Pakistan,
dalam Jebakan Militan
Peter
C Aman ; Direktur
JPIC-OFM,
Mengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
|
SINAR
HARAPAN, 01 Maret 2014
Saat ini sulit
mengabaikan pertautan terorisme serta kelompok ekstremis lainnya dengan
Pakistan. Tersembul kesan bahwa Pakistan adalah sarang kekerasan teroris dan
ekstremis lantas mengekspornya ke negara lain. Benar sering terjadi ledakan
bom dan penembakan di sana. Namun, kesan seperti itu tentu keliru dan salah,
jika menyaksikan keseharian hidup rakyat Pakistan.
Di jalanan
Karachi, Lahore, kota-kota lain, dan di pelbagai sentra aktivitas
sosial-ekonomi, kehidupan dan aktivitas berjalan normal dan biasa. Ada
ledakan bom, penembakan, dan kekerasan, tetapi hidup tetap dijalani dan
diakrabi.
Pesan kuat di
balik realitas itu adalah kejahatan kekerasan dan terorisme tak kuasa
menghentikan denyut kehidupan banyak orang. Kekerasan dan terorisme lantas
menjadi fakta yang absurd. Sebuah upaya kesia-siaan yang tidak hanya
melecehkan peradaban dan kemanusiaan, tetapi juga menjadi pintu penyingkap
kedangkalan dan kekerdilan akal dan nurani pelaku kekerasan dan terorisme.
Bangsa dengan Peradaban Luhur
Sungai Indhus
membelah Pakistan dan mengalir ke Laut Arab. Peninggalan dan penemuan sejarah
memperlihatkan keluhuran peradaban dan budaya Pakistan sejak ribuan tahun
silam. Mohenjo-daro dan Harappa adalah dua kota tertua dan menjadi bukti kuat
dari keluhuran budaya dan peradaban Pakistan dari masa silam.
Mohenjo-daro
merupakan kota tertua dari tahun 3000 sebelum Masehi. Reruntuhan kota
Mohenjo-daro sudah menjadi situs di bawah otoritas UNICEF dan menjadi daya
tarik wisata di Provinsi Sindh. Berdekatan dengan Mohenjo-daro adalah Kota
Harappa yang juga merupakan kota tua dengan warisan peradaban dan budaya yang
luhur. Festival Budaya Sindh yang baru saja berakhir 17 Februari 2014
menampilkan pelbagai kekayaan budaya dan warisan leluhur bangsa Pakistan.
Pakistan sendiri berarti tanah yang suci.
Kebesaran
kerajaan Islam dari masa silam, terutama dari Dinasti Moghul (1526-1857)
masih merupakan daya tarik Pakistan untuk masa kini, terutama melalui
peninggalan istana Dinasti Moghul yang terdapat di Lahore. Lahore menjadi
kota yang indah karena pertautan masa silam Pakistan dan masa kini yang
terawat baik.
Taman-taman
besar nan indah mengingatkan kita akan hikayat kebesaran kerajaan-kerajaan
masa silam. Itu masih bisa ditemukan di Lahore. Islam menjadi kekuatan
transformatif dan memberikan kontribusi besar bagi kebesaran peradaban
Pakistan di masa silam.
Sebagai negara
dengan populasi muslim terbesar kedua setelah Indonesia, Pakistan menegaskan
diri sebagai negara Islam. Negara menjamin dan mendukung agar nilai-nilai Islam
teraplikasi dalam kehidupan sosial masyarakat Pakistan. Menjadikan
nilai-nilai Islam sebagai spiritualitas rakyat Pakistan tentulah tak salah.
Ini karena nilai-nilai dasar Islam itu adalah universal. Saat ini pemerintah
Pakistan sedang limbung di hadapan kelompok militan. Zahid Hussain
menyebutnya suatu ironi karena negara sepertinya sedang tunduk kepada para
pelaku kekerasan.
Dalam Jebakan Militan
Berkembangnya
Taliban serta banyak kelompok militan, dengan ideologi yang akrab dengan
kekerasan teror, telah menodai “wajah” Pakistan. Upaya memerangi
kelompok-kelompok teror yang menebarkan maut untuk 180 juta rakyat Pakistan,
menjadi perhatian pemerintah, sejak Benazir Bhutto. Pervez Musharaf mengambil
langkah militer yang keras untuk memberangus kekuatan kelompok ekstremis.
Sayangnya, dia
didakwa menjadi kaki tangan Amerika Serikat dan kini akan diadili karena
kekerasan selama masa kekuasaannya.
Saat ini pemerintahan Nawaz Sharif mengulurkan tangan damai kepada
Taliban dengan persyaratan pokok, yakni Taliban mesti menerima Konstitusi
Pakistan dan menghentikan segala macam kekerasan. Namun apa yang terjadi?
Baik di Karachi maupun di Penshawar ledakan bom bunuh diri berdentangan
nyaris saban hari dan memakan korban terus-menerus.
Tak salah jika banyak
pihak menilai perundingan dengan Taliban adalah pilihan menuju kesia-siaan.
Tiga wakil Taliban tidaklah representatif. Di Pakistan ada 60 kelompok garis
keras yang dilarang pemerintah. Ketika bom bunuh diri terjadi, amatlah sulit
mengidentifikasi pelaku dan dari kelompok mana. Dua bom di Karachi dan
Penshawar, kemudian diakui kelompok Taliban, sebagai penanggung jawab.
Gerakan kelompok-kelompok ini tidak dalam satu garis komando. Pembunuhan 23
anggota yang sudah disekap sejak 2010, minggu lalu, membuat upaya dialog
dengan Taliban memasuki jalan buntu.
Nawaz Sharif
mengutuk pembunuhan itu dan menyebutnya sebagai tindakan yang amat berdampak
negatif bagi proses dialog yang sedang berlangsung, demi memajukan
perdamaian. Sementara itu, partai oposisi terbesar Partai Rakyat Pakistan
(PPP) menilai berdialog dengan kelompok militan berarti membuka jalan menuju
kemunduran Pakistan, dalam bentuk, buta huruf, kebodohan, dan pemusnahan
budaya Pakistan yang luhur. Bila Taliban memenangi perjuangan, syariat akan
ditegakkan. Para gadis akan dilarang ke sekolah dan perempuan dilarang
mengemudi, kata Bilawal Bhutto.
Sulit membantah
dukungan Al-Qaeda kepada kelompok Taliban di Pakistan. Dialog yang ditawarkan
pemerintah Nawaz Sharif, menurut kolumnis Muhammad Amir Ranna, justru lebih
merupakan kemenangan strategis dan politis bagi Taliban. Kelompok militan
senantiasa mengubah taktik dan strategi. Pilihan dialog tentu saja pilihan
yang baik, tetapi apakah Taliban memaknai dialog sebagaimana dimaknai
pemerintah Nawaz Sharif. Ini menjadi pertanyaan besar.
Bagaimana pun
juga, kekerasan yang diterus dilakukan berbarengan dengan dialog yang sedang
berjalan, dinilai Ranna sebagai kemenangan militan secara strategis. Hal itu
karena ketika militer menahan diri demi menghargai proses dialog, kekuatan
militan akan lebih terhimpun. Mereka menimba keuntungan dari fragmentasi dan
kebingungan pihak pemerintah, keamanan, politikus, dan masyarakat sipil.
Kalau demikian, dialog yang bermaksud luhur terjebak dalam strategi militan dan
akan semakin menutup pintu bagi pencapaian keamananan dan kesejahteraan
Pakistan ke masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar