Menilik
Proyek Smelter
Effnu
Subiyanto ; Penulis
tengah menempuh Program Doktor Ekonomi Unair
|
KORAN
JAKARTA, 01 Maret 2014
Beberapa multinational company (MNC)
pertambangan yang beroperasi di Indonesia masih saja memersoalkan bea keluar
(BK) konsentrat mineral.
Ada enam produk
konsentrat yang dikenakan BK. Seharusnya MNC-MNC tersebut segera membangun smelter sebagai solusinya. Konsentrat
adalah tembaga, pasir besi, mangan, bijih besi, seng, dan timbal. Kewajiban
membangun smelter tersebut bukan
kebijakan dadakan, sudah menjadi amanat UU Minerba No 4/2009.
Kini pemerintah
semakin takluk pada MNC dengan membuat kebijakan penempatan dana 5 persen
dari total investasi smelter ke perbankan nasional, maka MNC tersebut boleh
menjadi eksportir terdaftar (ET) untuk bahan konsentrat tersebut.
PT Freeport
Indonesia dan PT Sebuku Iron Literitic Ores (SILO) kini dalam proses menjadi
ET. Langkah ini tentu saja menguntungkan karena besaran BK konsentrat 25
persen, sementara setoran hanya 5 persen.
Sekarang muncul
persoalan baru karena produksi konsentrat Indonesia jauh lebih kecil dari
kapasitas smelter. Kapasitas smelter PT Smelting Gresik, misalnya 1,2 juta
ton per tahun (tpt), Smelter Antam 1,2 juta tpt, Nusantara Smelting (900 ribu
tpt), dan Indosmelt (800 ribu tpt).
Produksi
konsentrat Freeport, misalnya, hanya 2,5 juta tpt, sementara Newmont masih
300 ribu tpt. Jadi, kapasitas smelter mencapai 4,1 juta tpt, sementara
pasokan hanya 2,8 juta tpt.
Pabrik-pabrik
smelter nanti akan semakin kesulitan mendapat konsentrat karena sampai tahun
ini rencana investasi smelter baru sudah mencapai 177 pabrik. Dalam masa
studi kelayakan berjumlah 112 smelter, amdal (16), groundbreaking (14),
konstruksi (11), akhir konstruksi (1), dan commisioning siap produksi
berjumlah 23 unit.
Jika mengambil
asumsi seluruh rencana 177 pabrik smelter itu selesai pada tahun 2018 dengan
kapasitas 200 ribu tpt, diperlukan total produksi konsentrat sampai dengan
35,4 juta tpt.
Kini, bola
panas justru berbalik kepada kualitas perencanaan Kementerian ESDM. Jika
tidak diantisipasi dengan baik, investasi Indonesia, 4 tahun lagi, akan
menjadi investasi bodong karena bisa membuat pabrik, tapi tidak ada bahan
bakunya. Ujung-ujungnya utang mata uang asing tidak terbayar dan membuat
default ekonomi Indonesia.
Gairah
Buntut
penyetopan ekspor konsentrat mineral mentah, awal tahun ini, beberapa
korporasi ramai-ramai berinvestasi aneka ragam proyek smelter seperti BUMN Antam (ANTM), PT Central Omega Resources
(DKFT), dan PT Cita Mineral Investindo (CITA).
DKFT membangun
smelter di Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah, yang direncanakan
beroperasi 2015. Smelter ini dimodali dengan right issue 983,736 miliar
rupiah, setengahnya untuk ekspansi DKFT, sementara CITA membangun smelter
bauksit di Kendawangan, Kalbar, yang rencananya beroperasi 2015. Di lain
pihak, Antam sudah dipastikan melakukan commissioning smelter aluminanya di
Tayan, Kalbar, Oktober 2013, dan komersial paling lambat semester kedua 2014.
PT Timah (TINS)
juga membangun smelter untuk
menghentikan polemik ekspor biji mentah konsentrat mineral Indonesia. Proyek
pabrik smelter untuk mengolah bijih
timah menjadi batangan itu bernilai 40 miliar dengan kapasitas 3.000 tpt akan
ground breaking April 2014. Saat ini, TINS memiliki dua unit smelter di
Kundur, Kepri, dan Muntok, Bangka Barat.
Indosmelt juga
segera membangun smelter tembaga di
Maros, Sulsel, berkapasitas 180 ribu tpt dengan nilai investasi 1,5 miliar
dollar AS. PT Bintan Alumina Indonesia membangun smelter bauksit di Bintan,
Kepri, 1 miliar dollar AS dengan kapasitas 2 juta tpt. PT Well Harvest
membangun smelter bauksit satu miliar dollar AS di Ketapang, Kalbar,
berkapasitas 2 juta tpt.
Ibris Nickel
tidak ketinggalan membangun smelter
nikel di Konawe, Sultra, berkapasitas 600 ribu tpt dengan nilai investasi 1,8
miliar dollar AS. PT Bintang Delapan Mineral membuat smelter nikel kapasitas
1,3 juta tpt di Morowali, Sulteng, senilai 960 juta dollar AS. Bosowa
membangun smelter nikel di Jeneponto, Sulsel, kapasitas 10 ribu tpt senilai
330 juta dollar AS.
Nusantara
Smelting Gresik juga membuat smelter
tembaga di Kalimantan berkapasitas 200 ribu tpt 1,2 miliar dollar AS.
Akhirnya Indovasi Mineral Indonesia membuat smelter tembaga di Cirebon, Jabar berkapasitas 200 ribu tpt
seharga 1,5 miliar dollar AS. Indovasi juga tengah menjajaki rencana proyek
smelter di Tuban, Jawa Timur, dengan nilai investasi yang sama.
Ancam Utang
Persoalan utang
dengan denominasi mata uang asing kebanyakan dalam bentuk dollar AS kini
menjadi perhatian serius rakyat Indonesia.
Hanya untuk
membayar cicilan utang belum termasuk bunga sudah menghabiskan lebih dari
15,96 persen dari total APBN 2014. Total utang jatuh tempo pada tahun 2014
sebesar 25,7 miliar dollar AS atau 294 triliun rupiah dan membuat ancaman
default moneter Indonesia.
Rajinnya
menggali utang baru mengkhawatirkan karena akhir Desember 2013 total utang
264,1 miliar dollar AS, baik pemerintah, BUMN, maupun swasta. Padahal, pada
tahun 2012 utang luar negeri masih 252,4 miliar dollar AS. Jadi, utang
Indonesia 2013 tumbuh 4,6 persen.
Dari total
nilai utang tersebut, porsi pemerintah dan BI 123,5 miliar dollar AS (46,8
persen), sementara swasta 140,5 miliar dollar AS (53,2 persen). Swasta yang
rajin berutang adalah sektor keuangan (26,2 persen), industri pengolahan
(20,4 persen), pertambangan, penggalian (18,3 persen), listrik berikut gas,
air bersih (11,6 persen), dan pengangkutan/komunikasi sebesar 7,5 persen.
Selama dekade
terakhir, rata-rata kenaikan utang swasta 10,69 per tahun. Pada tahun 2004 58
miliar dollar AS, kini sudah menjadi 140,5 miliar dollar AS. Sektor-sektor
swasta ini terindikasi kuat melanggar Peraturan BI No 13/7/PBI/2011 tentang
Pinjaman Komersial Luar Negeri maksimal 30 persen dari modal.
Dampak kenaikan
jumlah utang membuat indeks debt to service rasio (DSR) kuartal terakhir 2013
menunjukkan alarm 52,7 persen, jauh melampaui batas aman internasional
maksimal 44 persen. Kenaikan indeks DSR membawa konsekuensi tambahan
pembayaran utang luar negeri 37,1 persen pada kuartal terakhir 2013. Jika
rasio utang dikonversi dengan PDB, maka skornya 30,2 persen (2013).
Meski utang
jangka pendek swasta sudah dilunasi 27,9 miliar dollar AS, atau 19,9 persen
dari total pembayaran utang LN swasta, angka rasio DSR Indonesia masih
menyeramkan, 32,9 persen.
Indonesia
termasuk negara pengambil risiko tinggi dengan tren menjadi supertinggi dalam
bidang keberanian berutang. Dibanding beberapa negara sekawasan, tingkat
utang Indonesia sudah gawat sekali. Tingkat DSR India, misalnya, pada kuartal
III-2013 masih 21,47 persen, Brasil (21,42 persen), dan Filipina (21,92
persen).
Kini, ketika
Kementerian ESDM mendesak segera dibangun ratusan smelter, jika diasumsikan
seluruh investor taat dan patuh pada Peraturan BI No 13/7/PBI/2011, paling
tidak akan tercipta utang baru 26,5 miliar dollar AS. Ini akan menjadi
persoalan serius. Pabrik berdiri, tidak ada konsentrat. Padahal, pabrik
tersebut hasil utangan. Entah bencana apalagi yang akan timbul di negeri ini.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar