Minggu, 02 Maret 2014

Menilik Proyek Smelter

Menilik Proyek Smelter

Effnu Subiyanto  ;   Penulis tengah menempuh Program Doktor Ekonomi Unair
KORAN JAKARTA,  01 Maret 2014

                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                                       
Beberapa multinational company (MNC) pertambangan yang beroperasi di Indonesia masih saja memersoalkan bea keluar (BK) konsentrat mineral.

Ada enam produk konsentrat yang dikenakan BK. Seharusnya MNC-MNC tersebut segera membangun smelter sebagai solusinya. Konsentrat adalah tembaga, pasir besi, mangan, bijih besi, seng, dan timbal. Kewajiban membangun smelter tersebut bukan kebijakan dadakan, sudah menjadi amanat UU Minerba No 4/2009.

Kini pemerintah semakin takluk pada MNC dengan membuat kebijakan penempatan dana 5 persen dari total investasi smelter ke perbankan nasional, maka MNC tersebut boleh menjadi eksportir terdaftar (ET) untuk bahan konsentrat tersebut.

PT Freeport Indonesia dan PT Sebuku Iron Literitic Ores (SILO) kini dalam proses menjadi ET. Langkah ini tentu saja menguntungkan karena besaran BK konsentrat 25 persen, sementara setoran hanya 5 persen.

Sekarang muncul persoalan baru karena produksi konsentrat Indonesia jauh lebih kecil dari kapasitas smelter. Kapasitas smelter PT Smelting Gresik, misalnya 1,2 juta ton per tahun (tpt), Smelter Antam 1,2 juta tpt, Nusantara Smelting (900 ribu tpt), dan Indosmelt (800 ribu tpt).

Produksi konsentrat Freeport, misalnya, hanya 2,5 juta tpt, sementara Newmont masih 300 ribu tpt. Jadi, kapasitas smelter mencapai 4,1 juta tpt, sementara pasokan hanya 2,8 juta tpt.

Pabrik-pabrik smelter nanti akan semakin kesulitan mendapat konsentrat karena sampai tahun ini rencana investasi smelter baru sudah mencapai 177 pabrik. Dalam masa studi kelayakan berjumlah 112 smelter, amdal (16), groundbreaking (14), konstruksi (11), akhir konstruksi (1), dan commisioning siap produksi berjumlah 23 unit.

Jika mengambil asumsi seluruh rencana 177 pabrik smelter itu selesai pada tahun 2018 dengan kapasitas 200 ribu tpt, diperlukan total produksi konsentrat sampai dengan 35,4 juta tpt.

Kini, bola panas justru berbalik kepada kualitas perencanaan Kementerian ESDM. Jika tidak diantisipasi dengan baik, investasi Indonesia, 4 tahun lagi, akan menjadi investasi bodong karena bisa membuat pabrik, tapi tidak ada bahan bakunya. Ujung-ujungnya utang mata uang asing tidak terbayar dan membuat default ekonomi Indonesia.

Gairah

Buntut penyetopan ekspor konsentrat mineral mentah, awal tahun ini, beberapa korporasi ramai-ramai berinvestasi aneka ragam proyek smelter seperti BUMN Antam (ANTM), PT Central Omega Resources (DKFT), dan PT Cita Mineral Investindo (CITA).

DKFT membangun smelter di Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah, yang direncanakan beroperasi 2015. Smelter ini dimodali dengan right issue 983,736 miliar rupiah, setengahnya untuk ekspansi DKFT, sementara CITA membangun smelter bauksit di Kendawangan, Kalbar, yang rencananya beroperasi 2015. Di lain pihak, Antam sudah dipastikan melakukan commissioning smelter aluminanya di Tayan, Kalbar, Oktober 2013, dan komersial paling lambat semester kedua 2014.

PT Timah (TINS) juga membangun smelter untuk menghentikan polemik ekspor biji mentah konsentrat mineral Indonesia. Proyek pabrik smelter untuk mengolah bijih timah menjadi batangan itu bernilai 40 miliar dengan kapasitas 3.000 tpt akan ground breaking April 2014. Saat ini, TINS memiliki dua unit smelter di Kundur, Kepri, dan Muntok, Bangka Barat.

Indosmelt juga segera membangun smelter tembaga di Maros, Sulsel, berkapasitas 180 ribu tpt dengan nilai investasi 1,5 miliar dollar AS. PT Bintan Alumina Indonesia membangun smelter bauksit di Bintan, Kepri, 1 miliar dollar AS dengan kapasitas 2 juta tpt. PT Well Harvest membangun smelter bauksit satu miliar dollar AS di Ketapang, Kalbar, berkapasitas 2 juta tpt.

Ibris Nickel tidak ketinggalan membangun smelter nikel di Konawe, Sultra, berkapasitas 600 ribu tpt dengan nilai investasi 1,8 miliar dollar AS. PT Bintang Delapan Mineral membuat smelter nikel kapasitas 1,3 juta tpt di Morowali, Sulteng, senilai 960 juta dollar AS. Bosowa membangun smelter nikel di Jeneponto, Sulsel, kapasitas 10 ribu tpt senilai 330 juta dollar AS.

Nusantara Smelting Gresik juga membuat smelter tembaga di Kalimantan berkapasitas 200 ribu tpt 1,2 miliar dollar AS. Akhirnya Indovasi Mineral Indonesia membuat smelter tembaga di Cirebon, Jabar berkapasitas 200 ribu tpt seharga 1,5 miliar dollar AS. Indovasi juga tengah menjajaki rencana proyek smelter di Tuban, Jawa Timur, dengan nilai investasi yang sama.

Ancam Utang

Persoalan utang dengan denominasi mata uang asing kebanyakan dalam bentuk dollar AS kini menjadi perhatian serius rakyat Indonesia.

Hanya untuk membayar cicilan utang belum termasuk bunga sudah menghabiskan lebih dari 15,96 persen dari total APBN 2014. Total utang jatuh tempo pada tahun 2014 sebesar 25,7 miliar dollar AS atau 294 triliun rupiah dan membuat ancaman default moneter Indonesia.

Rajinnya menggali utang baru mengkhawatirkan karena akhir Desember 2013 total utang 264,1 miliar dollar AS, baik pemerintah, BUMN, maupun swasta. Padahal, pada tahun 2012 utang luar negeri masih 252,4 miliar dollar AS. Jadi, utang Indonesia 2013 tumbuh 4,6 persen.

Dari total nilai utang tersebut, porsi pemerintah dan BI 123,5 miliar dollar AS (46,8 persen), sementara swasta 140,5 miliar dollar AS (53,2 persen). Swasta yang rajin berutang adalah sektor keuangan (26,2 persen), industri pengolahan (20,4 persen), pertambangan, penggalian (18,3 persen), listrik berikut gas, air bersih (11,6 persen), dan pengangkutan/komunikasi sebesar 7,5 persen.

Selama dekade terakhir, rata-rata kenaikan utang swasta 10,69 per tahun. Pada tahun 2004 58 miliar dollar AS, kini sudah menjadi 140,5 miliar dollar AS. Sektor-sektor swasta ini terindikasi kuat melanggar Peraturan BI No 13/7/PBI/2011 tentang Pinjaman Komersial Luar Negeri maksimal 30 persen dari modal.

Dampak kenaikan jumlah utang membuat indeks debt to service rasio (DSR) kuartal terakhir 2013 menunjukkan alarm 52,7 persen, jauh melampaui batas aman internasional maksimal 44 persen. Kenaikan indeks DSR membawa konsekuensi tambahan pembayaran utang luar negeri 37,1 persen pada kuartal terakhir 2013. Jika rasio utang dikonversi dengan PDB, maka skornya 30,2 persen (2013).

Meski utang jangka pendek swasta sudah dilunasi 27,9 miliar dollar AS, atau 19,9 persen dari total pembayaran utang LN swasta, angka rasio DSR Indonesia masih menyeramkan, 32,9 persen.

Indonesia termasuk negara pengambil risiko tinggi dengan tren menjadi supertinggi dalam bidang keberanian berutang. Dibanding beberapa negara sekawasan, tingkat utang Indonesia sudah gawat sekali. Tingkat DSR India, misalnya, pada kuartal III-2013 masih 21,47 persen, Brasil (21,42 persen), dan Filipina (21,92 persen).

Kini, ketika Kementerian ESDM mendesak segera dibangun ratusan smelter, jika diasumsikan seluruh investor taat dan patuh pada Peraturan BI No 13/7/PBI/2011, paling tidak akan tercipta utang baru 26,5 miliar dollar AS. Ini akan menjadi persoalan serius. Pabrik berdiri, tidak ada konsentrat. Padahal, pabrik tersebut hasil utangan. Entah bencana apalagi yang akan timbul di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar