Kawasan
Sekretif dan Korupsi Lintas Batas
Dedi Haryadi ; Deputi Sekjen
Transparansi Internasional Indonesia
|
KOMPAS,
24 Maret 2014
KAWASAN
sekretif memungkinkan terjadinya korupsi lintas batas. Apa itu kawasan
sekretif? Siapa saja yang menguasainya? Apa implikasi keberadaan kawasan
sekretif bagi upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi? Awal November 2013,
Tax Justice Network (TJN) meluncurkan Indeks Kerahasiaan Keuangan (IKK). IKK
menjelaskan dan mengukur kerahasiaan keuangan dunia secara global.
Indeks
ini merujuk eksisnya fenomena kawasan sekretif, yaitu adanya (1) kawasan
surga pajak dan (2) kawasan tempat bermuaranya aliran keuangan yang tidak
sah. Kawasan pertama merupakan zona nyaman bagi individu atau perusahaan
menikmati tarif pajak rendah, tidak dipajaki sama sekali, menghindari
pemajakan, atau kecurangan dan kejahatan perpajakan lain. Kawasan kedua
adalah pelarian modal secara tidak sah, yang menunjukkan dana (uang) didapat,
ditransfer, dan dibelanjakan secara tidak sah.
Ada 15
indikator yang membentuk indeks ini. Di antaranya kerahasiaan bank, UU anti
pencucian uang, daftar pemilik perusahaan yang bisa diakses publik, laporan
keuangan perusahaan yang bisa diakses publik, komitmen pada standar
internasional dalam mengembangkan transparansi, kerja sama hukum
internasional, pertukaran informasi otomatis, mempromosikan anti penghindaran
pajak, efisiensi administrasi perpajakan, perjanjian bilateral, dan lain-lain.
Skor indeks dari 0 sampai 100. Makin tinggi skor makin tinggi kerahasian
keuangannya. TJN mengembangkan IKK sejak 2009.
Peringkat
1-5 kawasan paling sekretif adalah Swiss, Luksemburg, Hongkong, Cayman
Islands, dan Singapura. Dari 82 negara yang disurvei, AS di urutan ke-6,
Jerman ke-8, dan Jepang ke-10. Anehnya, dalam survei, Singapura termasuk
negara paling bersih, korupsinya minimum. Skor IPK 86 dari skala 0-100.
Bersama Norwegia, Singapura di peringkat kelima paling bersih dari 177
negara. Peringkat ke-1-4 diisi Denmark, Selandia Baru, Finlandia, dan Swedia.
Posisi
Singapura sebagai kawasan sekretif, surga pajak, dan muara aliran dana-dana
yang tak sah tumbuh pesat dan makin kuat. Wealthinsight Report (2013)
melaporkan, diperkirakan pada 2020 Singapura akan mengambil alih posisi Swiss
sebagai pusat keunggulan sekresi keuangan sedunia. Begitu merdeka dari
Federasi Malaysia 1965, Singapura, atas nasihat ekonom Belanda, Albert
Winsenmius, mengembangkan strategi pembangunan ekonomi yang bertumpu pada
pengembangan sektor dan industri
keuangan. Termasuk di dalamnya mengembangkan bisnis rahasia keuangan.
Kerahasiaan jadi komoditas yang laku dan atraktif di pasar keuangan
internasional.
Sejak
awal 1980-an gejala itu menguat. Banyak negara menciptakan kawasan atau
menjadikan negaranya kawasan bisnis rahasia keuangan. Mereka berlomba
menawarkan fasilitas dan perlindungan kerahasiaan. Jasa dan fasilitas yang
ditawarkan beragam, di antaranya penyuapan, berbagai macam manipulasi
transaksi keuangan, perpajakan, dan pencucian uang.
Aliran dana
TJN
memperkirakan nilai kekayaan pribadi yang diparkir di berbagai kawasan itu
mencapai 21-32 triliun dollar AS. Dana tak sah yang mengalir dari negara
berkembang ke kawasan sekretif yang umumnya negara maju mencapai 3 triliun dollar
AS per tahun. Sedangkan nilai bantuan luar negeri dari negara maju ke negara
berkembang hanya sekitar 130 miliar dollar AS per tahun. Jadi, dari 1 dollar
AS bantuan luar negeri yang masuk, ada 10 dollar AS mengalir dari negara
berkembang ke negara maju.
Indonesia
jelas ada dalam arus dan putaran problem ini. Global Financial Integrity (GFI) melaporkan selama kurun 2001-2010,
nilai dana tak sah yang keluar dari negara berkembang mencapai 585,9 miliar
dollar AS-918,6 miliar dollar AS per tahun. Sekitar 61,2 persen berasal dari
Asia. Lima dari 10 negara yang nilai aliran dananya paling besar juga dari
Asia, yaitu China (274,17 miliar dollar AS), Malaysia (28,52 miliar dollar
AS), Filipina (13,78 miliar dollar AS), India (12,33 miliar dollar AS), dan Indonesia
(10,88 miliar dollar AS). Indonesia urutan ke sembilan.
Secara
personal terdeteksi ada warga Indonesia yang juga menikmati fasilitas yang
disediakan dan ditawarkan kawasan sekretif ini. Pada April 2013, The International Consortium of Investigative
Journalist (ICIJ) melaporkan, sembilan dari 11 keluarga terkaya Indonesia
teridentifikasi punya 190 perusahaan atau lembaga keuangan yang beroperasi di
kawasan sekretif ini. Nilai kekayaan kesembilan keluarga itu ditaksir 36
miliar dollar AS. Enam dari sembilan keluarga itu punya hubungan dekat dan
membangun hubungan patronase politik dan bisnis dengan bekas penguasa Orde
Baru.
ICIJ
juga mengungkap skandal sebuah ”konsultan” keuangan di Singapura yang
diketahui memfasilitasi berbagai kecurangan transaksi keuangan, pajak, dan
kekayaan perusahaan asing yang melibatkan keluarga dan individu kaya dari
Indonesia, Thailand, dan Malaysia. Ada sekitar 2.500 orang Indonesia, 600
orang Thailand, dan keluarga mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos dan
kroninya ditengarai memanfaatkan jasa konsultan ini.
Eksisnya
kawasan sekretif semacam ini jelas patologis. Karena, pertama, ia tidak hanya
mempertahankan, tetapi juga memperdalam kesenjangan ekonomi dan politik
antara negara maju dan negara berkembang. Negara berkembang tidak hanya tetap
miskin, tetapi juga mengalami pemiskinan. Sumber daya mereka dikontrol,
diekstrak, dan dieksploitasi untuk kepentingan dan kemakmuran negara maju dan
segelintir orang kaya. Kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan dirugikan.
Kedua,
memberikan impunitas (kekebalan) politik dan hukum bagi para pelaku kejahatan
korupsi. Ketiga, menghambat pembentukan dan pertumbuhan negara modern. Negara
modern dicirikan oleh makin pentingnya
pajak sebagai sumber pembiayaan negara dan pembangunan. Impunitas atas
kejahatan perpajakan dan kecurangan dalam transaksi keuangan menghambat
optimalisasi peranan pajak dalam pembiayaan negara dan pembangunan.
Akibatnya, banyak negara berkembang lebih menggantungkan diri pada bantuan
luar negeri ketimbang pajak.
Implikasi praksis
Singapura
dan kawasan sekretif lain menampilkan paradoks dan ambivalensi yang sempurna
tentang dunia yang mencampurkan-adukkan antara yang haq dan yang batil.
Secara etik praktik ini tak bisa
diterima: mengklaim diri bersih, tapi pada saat yang sama memfasilitasi,
memanjakan, dan menikmati hasil kejahatan korupsi dan kejahatan keuangan
lainnya. Dan malah jadi tulang punggung perekonomian.
Para
aktivis anti korupsi tampaknya harus berhenti mengidolakan Singapura sebagai
best practices anti korupsi, sebagai kiblat dalam membangun tata kelola pemerintahan yang bersih.
Justru sebaliknya sekarang para aktivis anti korupsi harus menjadikan
Singapura, Swiss, Luksemburg, Hongkong, Cayman Islands, dan lain-lain sebagai
target advokasi: mengakhiri status mereka sebagai kawasan sekretif.
Secara
teoretis, munculnya dan keberadaan kawasan sekretif menyadarkan betapa tidak
memadainya definisi dan pengertian kita tentang korupsi. Selama ini secara
sederhana korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan wewenang untuk
kepentingan pribadi (abuse of power for
private gain). Sekarang menjadi nyata bahwa kawasan sekretif itu, yang
juga berwujud negara, punya kepentingan dan mendapatkan keuntungan dari
korupsi. Lebih jauh bercokolnya
kawasan sekretif di negara-negara maju menohok kesadaran kita tentang
ambivalensi negara maju dalam mempromosikan konsep tata kelola pemerintahan
yang bersih.
Seolah
pendekar transparansi, mereka giat mempromosikan keterbukaan pemerintah, tetapi pada saat yang sama yurisdiksi
mereka juga jadi kawasan sekretif yang menguntungkan perekonomiannya. AS,
misalnya, menjadi pionir dan penggerak inisiatif pemerintahan terbuka, tetapi
menempati urutan keenam kawasan paling sekretif. Inggris apalagi. Mereka
mempunyai banyak kawasan sekretif.
Pertanyaan
praksisnya, bagaimana menyikapi
kawasan sekretif dalam konteks upaya mencegah dan memberantas korupsi?
Ada tiga kepentingan substantial negara kita dengan kawasan-kawasan sekretif.
Pertama, mencegah lembaga atau individu melarikan dana atau aset hasil
korupsi dan kejahatan finansial lain ke kawasan sekretif. Kedua, menelusuri
dan mengembalikan dana atau aset itu ke kas negara (stolen assets recovery). Ketiga, menangkap dan mengadili
koruptor, pelaku kejahatan finansial, yang melarikan hasil korupsinya ke
kawasan sekretif.
Untuk
itu, tak ada jalan lain kita harus mengembangkan hubungan kerja sama dan
kemitraan (dalam bidang hukum dan ekonomi) dengan kawasan sekretif tersebut.
Kerangka dan tata nilai internasional yang mendukung kerja sama ini
sebenarnya sudah ada. Misalnya, Konvensi PBB tentang pemberantasan korupsi
(2003), atau konvensi PBB tentang kejahatan terorganisasi lintas negara
(2000). Di sini pemerintah ditantang untuk terampil melobi negara-negara
kawasan sekretif sehingga tiga kepentingan itu bisa diraih. Yang punya tiga kepentingan substansial itu
tidak hanya Indonesia, tetapi juga Malaysia, Thailand, Filipina, dan
lain-lain. Karena itu, upaya tersebut bisa dilakukan secara bilateral atau
multilateral seperti dalam wadah ASEAN atau kelompok negara G-20.
Dalam
bingkai kerja sama multilateral, inisiatif mengatasi isu ini sudah diambil.
Dalam pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral G-20 di Sydney,
Australia, Februari lalu disepakati untuk bertukar informasi secara otomatis
antar-otoritas pajak. Langkah ini berpotensi mengakhiri kebijakan kerahasiaan
bank dan modus penghindaran pajak.
Ke depan
KPK, kejaksaan, kepolisian, kementerian keuangan, dan kementerian luar negeri
harus bekerja sama lebih apik dalam menangani kawasan sekretif dan korupsi
lintas batas. Kepentingan nasional mencegah korupsi lintas batas,
mengembalikan kekayaan negara yang dicuri dan mengadili pelaku, tak mungkin
tercapai jika ego sektoral dan institusional bercokol. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar