Selasa, 11 Maret 2014

Ketukan Palu Hakim

Ketukan Palu Hakim

F Budi Hardiman  ;   Pengajar Filsafat Politik STF Driyarkara
KOMPAS,  11 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
DI  dalam sistem peradilan yang dikendalikan mafia hukum, korupsi diganjar dengan hukuman yang terlalu ringan. Hakim terkesan ”mengerti” kebutuhan koruptor dan kurang peduli akan rasa keadilan. Publik merasa hukum telah dipermainkan dan tidak dapat menjadi tempat untuk menemukan keadilan.

Di tengah-tengah krisis wibawa hukum itu, Hakim Agung Artidjo Alkostar menjatuhkan vonis yang mengesankan atas sejumlah koruptor. Ketukan palunya menggentarkan mereka yang belum tertangkap bukan karena ancamannya, melainkan terutama karena diketukkan oleh seorang yang dapat menghasilkan keputusan yang berwibawa.

Gebrakan Artidjo mendorong kita untuk menimbang keadilan. Mengapa vonis ”luar biasa” bisa menghasilkan keadilan? Dalam Politeia, lewat mulut seorang sofis, Plato mengemukakan kesangsian umum tentang keadilan. Thrasymachos, sofis itu, berkata bahwa keadilan adalah keuntungan bagi yang kuat. Waktu itu dalam polis yang dipimpin seorang tiran, definisi atas adil dan tak adil ditentukan oleh penguasa, maka keadilan mencerminkan kepentingan sang tiran sendiri. Hukum mendefinisikan apa yang adil dan tak adil, tetapi hukum itu sendiri tidak mencerminkan keadilan karena keadilan hanya menguntungkan pihak yang kuat.

Tentu saja konsep keadilan semacam itu bukanlah aspirasi semua orang. Keadilan seharusnya melindungi yang lemah. Yang lemah dengan sangat mudah ditindas dan dikecoh. Berbagai kasus korupsi pejabat di negeri ini membeberkan bagaimana pemegang mandat kekuasaan dengan mudahnya berdusta kepada pemberi mandat. Institusi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mewakili teriakan si lemah.

Lalu, apa itu keadilan? Keuntungan bagi yang kuat atau teriakan si lemah? Seharusnya keadilan adalah keuntungan dan perlindungan bagi semua, baik si lemah maupun si kuat, tetapi perbedaan antara kuat dan lemah itu sendiri sudah membuka problem keadilan. Keadilan baru bisa menjadi keuntungan bagi semua bila semua sama kuatnya. Itulah situasi hidup di dalam republik yang oleh Hannah Arendt dilukiskan sebagai sukacita bahwa semua pihak sama kuat.

Dalam republik, hukum bukan merupakan alat bagi si kuat untuk menindas si lemah dan juga bukan—seperti Nietzsche menyebutnya—ressentiment kelas yang tertindas, melainkan ungkapan kebebasan suara hati publik.

Mesin hukum

Tetapi, keadilan republik hanya sekadar gagasan bila tidak dijangkarkan ke dalam institusi hukum. Hukum itu harus merupakan hasil kontrak yang menjamin kesamaan semua pihak. Namun, tanpa ancaman, kontrak tidak bergigi. Seperti kata Thomas Hobbes dalam Leviathan, ”Covenants, without the sword, are but words”. Karena itu, negara, si pemegang monopoli pemakaian kekerasan, menjamin kepastian hukum dengan sistem sanksi.

Di dalam negara hukum, keadilan melembaga ke dalam sistem hukum. Adil dan tak adil adalah masalah kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan hukum. Positivisme hukum menjadi ”syahadat” hakim. Tapi, keyakinan yang berlebihan atasnya hanya akan menghasilkan vonis dangkal yang tak lebih dari stempel administrasi rutin pengadilan. Pertanyaan tentang keadilan hukum lalu terdengar ”bidaah” karena seolah ada sumber lain bagi keadilan di luar sistem hukum. Tentu pertanyaan itu manusiawi. Hakim bukanlah robot yang menjalankan mesin hukum.

Konsistensi berubah menjadi ketidakadilan ketika keadilan disamakan dengan kesesuaian dengan hukum belaka. Summum ius, summa inuria, tulis Cicero. Di dalam negara korup dengan mafia peradilan yang melindungi praktik korupsi, konsistensi bukan lahir dari tekad moral, melainkan dari naluri pemeliharaan diri. Situasi ini kita kenal bersama di negeri ini. Di mana ada uang dan kuasa, di situ orang tergoda untuk konsisten bukan pada suara hati, melainkan pada uang dan kuasa. Secara ironis tesis Thrasymachos—dengan sedikit revisi—dibenarkan dalam negara korup: keadilan adalah keuntungan bagi para penegak hukum dan para kroni mereka. Dalam konstelasi ini vonis tak lebih dari retorika sofistis yang melindungi kejahatan pejabat. Kenyataan ini juga tak asing bagi kita.

Murka publik

Negara korup gagal mengejawantahkan keadilan republik. Demokrasi ternyata juga tidak membagikan keadilan untuk semua. Koruptor bermultiplikasi bagai hewan-hewan pengerat. Harta rakyat yang mereka jarah mencapai ukuran superlatif yang memamerkan kerakusan yang tak bertepi. Terlalu sedikit perangkap yang dipasang, terlalu sedikit yang masuk ke dalamnya dan masih terlalu lunak hukuman yang diberikan kepada mereka. Di tengah frustrasi kolektif, mob lahir dari rahim ketidakberdayaan dengan teriakan murka menuntut keadilan.

Dalam Rechtsstaat tentu saja ada palang-palang yang membendung murka publik. Di situ ada trias politica, mekanisme pasar, masyarakat madani (civil society), dan sistem peradilan. Keempat pilar ini menjinakkan murka dengan menyublimasikannya menjadi argumen. Namun, mob kali ini tidak tampil telanjang, tetapi berbusanakan opini publik.

Kobaran murkanya terbaca di balik kritik dan sorotan media. Seandainya saja tidak dihalangi tertib hukum, mob di balik koran, TV, dan para demonstran ingin sekali langsung menjatuhkan vonis mati bagi para koruptor. Vonis tegas dan keras di meja hijau dikira dapat meredakan murka itu. Akan tetapi, bila tidak hati-hati, vonis itu justru mewakilinya dalam lambang dan atribut hukum. Apakah murka menghasilkan keadilan?

Menurut Jacques Derrida dalam Force of Law, jika diletakkan di luar sistem hukum positif, keadilan tak lebih daripada kobaran murka, dan vonis tak lebih dari pelaksanaannya. Namun, jika diidentikkan dengan sistem hukum, keadilan hanyalah kesesuaian dengan hukum, dan vonis tak lebih dari tindakan administratif.

Di dalam negara korup di mana konsistensi pada uang mempermainkan hukum, diperlukan vonis tegas yang konsisten pada hukum untuk mengembalikan wibawa hukum. Hal itu dilakukan Hakim Agung Artidjo dalam vonisnya. Vonis itu adil jika dihasilkan dari suara hati hakim yang memiliki integritas, bukan semata dari deduksi pasal hukum belaka. Keadilan tidak semata melayani reproduksi tatanan hukum, tetapi juga mendengarkan yang lain dalam keberlainannya, maka keadilan bukan sekadar hukum.

Ada ”yang lebih” di sana, seperti tersirat dalam perkataan Artidjo dalam acara Kick Andy, ”Di dunia ini saya hakim agung, tetapi di akhirat saya terdakwa.” Takut akan Allah, bukan takut akan hukum, menangguhkan sistem hukum di dalam kesadaran hakim bagai momen ”pemogokan umum” subyektif.

Hakim tidak sekadar mendeduksi, tetapi menafsirkan hukum untuk memberi fresh judgement. Seperti kata Derrida, vonis yang adil itu menjaga sekaligus menghapus undang-undang agar hukum ditetapkan lagi secara baru. Tanpa tegangan suara hati di mana sistem hukum ditangguhkan untuk mendengarkan singularitas kasus, sebuah vonis bisa saja sahih karena sesuai hukum, tetapi tidak adil. Hakim yang berintegritas menetapkan kembali undang-undang secara baru lewat ketukan palunya.

Dalam gerakan pemberantasan korupsi, kita membutuhkan hakim-hakim yang memiliki integritas tinggi seperti Artidjo. Keadilan tidak dapat diturunkan dari kepentingan oligarkis, dari murka publik, dan bahkan juga tidak dari sistem hukum. Ketukan palu berwibawa dari seorang hakim yang mendengarkan ketukan nuraninya merupakan bagian realisasi keadilan. Vonis seperti itu bukan berasal dari kedangkalan birokrasi hukum, melainkan dari kedalaman seorang manusia bajik dan bijak yang takut akan Allah.

Kedalaman itu pula yang membuatnya menyadari sebuah paradoks bahwa keadilan tidak dapat diputuskan, tetapi harus diputuskan justru untuk mewujudkannya sehingga setiap vonis memang lahir prematur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar