Menjaga
Rasionalitas Politik
Fayakhun Andriadi ;
Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 12 Maret 2014
|
Pada
dasarnya, politik itu rasional, karena berkenaan dengan pengelolaan negara
melalui otorisasi kuasa yang diberikan oleh rakyat dan didistribusikan ke
dalam sistem politik. Melalui kuasa itulah, tindakan dan keputusan politik
diambil dalam rangka mencapai suatu tujuan,
melalui
kerja sistem-sistem yang bergerak seperti roda-roda kecil (yudikatif,
eksekutif, dan legislatif) yang setiap putarannya bergerak menuju, dan
menunjang, putaran sebuah roda besar (negara). Inilah misi otentik politik.
Politik itu bersifat rasional sebagai sebuah kerangka berpikir maupun
mekanisme kerja. Dalam politik, tujuan maupun cara untuk mencapainya memiliki
kerangka logika yang jelas. Namun, politik tidak menutup diri dengan
aspek-aspek yang masih tidak atau belum memenuhi prasyarat rasionalitas.
Dipersiapkan perspektif budaya politikuntukmemahamisebuah tindakan politik
yang tidak rasional. Namun dalam kerangka rasio politik, yang tidak atau
belum terpahami tersebut tidak boleh merusak sistem, mekanisme kerja dan
targettarget pencapaian tujuan politik itu sendiri.
Menarik
untuk menganalisa kecenderungan perilaku pemilih kita dari pemilu ke pemilu,
termasuk Pemilu 2014 nanti. Secara faktual, di Indonesia aspek ”budaya
politik” masih memberikan pengaruh besar dalam membentuk rasionalitas
perilaku pemilih dalam menentukan pilihan politiknya. Beberapa aspek dari
perilaku pemilih masih sulit untuk dijelaskan kerangka ”rasionalitasnya”.
Untuk menyederhanakan masalah, fenomena itu kerap dikategorikan secara
sepihak ke dalam ”budaya politik”, padahal tidak boleh demikian.
Masalahnya
adalah bagaimana jika perilaku pemilih tersebut memiliki dampak yang tidak
kondusif terhadap proses pencapaian tujuan otentik dari politik. Repetisi
perilaku pemilih tersebut semakin menjebak politik negeri kita dalam
kesalahan politik (political error).
Menjadi semakin problematis ketika muncul pembelaan dan pemakluman terhadap
perilaku tersebut sebagai bagian dari budaya politik kita. Kerangka berpikir
seperti ini berbahaya dan berpotensi mendegradasi kualitas demokrasi kita.
Sistem
politik kita akan bekerja melalui pola pikir ”bawah sadar”, bukan ”atas
sadar”, sebagai ekses dari perilaku politik hipnotik masyarakat kita. Ini
dapat kita sebut sebagai irasionalitas politik: perilaku politik pemilih yang
tidak lagi bertopang pada kerangka logis, melainkan emosionalitas. Potensi
terjadinya irasionalitas politik dalam perilaku pemilih kita masih sangat
tinggi. Salah satunya terlihat dari kecenderungan euforia masyarakat terhadap
figur calon pemimpin. Semacam fanatisme temporer yang dikendalikan oleh letupan
emosi sesaat pula.
Kata
”sesaat” di sini bisa menjadi ”sangat lama” jika terjadi berulang-ulang di
setiap pemilu. Persepsi terhadap figur yang berbasis pada fanatisme ini
kemudian bergerak semakin menjauhi fakta yang sebenarnya, namun terjadi tanpa
disadari oleh si subjek pemilih. Masyarakat kita memiliki kecenderungan
menjaga harapan dengan cara menciptakan ”mitos” politik di dalam paradigma
perilaku memilihnya, tentang seorang figur pemimpin. Daya tarik mitos adalah pada
kemampuannya untuk memberikan kepastian dan rasa aman meski hanya dalam
imajinasi politik, bukan realitas politik sebenarnya.
Memberi
efek candu, bius, dan adiktif. Hingga akhirnya, secara perlahan realitas
politik terkait figur tersebut bergerak semakin jauh dari kerangka mitologinya.
Puncaknya, semua kerangka irasionalitas (yang sebelumnya dianggap rasional)
tentang figur tersebut runtuh. Sehingga membuncahlah kekecewaan sampai batas
yang ekstrem. Salah satu pola dari ekstremitas adalah kecenderungannya untuk
mencari antitesis dalam bentuk ekstremisme yang lain. Karena sifatnya
katarsis semata, yang memegang kontrol adalah emosi, bukan rasio. Terjadi
luapan pelampiasan yang tanpa batas. Secara laten, ekstremisme semacam ini
pada dasarnya tidak berbeda dengan yang sebelumnya. Yang berubah hanya
polanya.
Kita
masih ingat bagaimana pada pemilu tahun 2004, sosok Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) menjadi figur nirkritik. SBY dipersepsikan sebagai sosok yang nyaris
sempurna, sebuah rumusan yang dalam rasionalitas politik bukan hanya dikategorikan
irasional, tapi tidak diberi tempat karena potensinya untuk mengikis
rasionalitas. Politik pencitraan menjadi mesin kerja yang semakin memuluskan
irasionalitas tersebut. Hingga perlahan-lahan, gap antara persepsi dan fakta
tentang kepemimpinan figur SBY meruntuhkan basis irasionalitas tersebut dan
meruntuhkan bangunan pencitraannya.
Di titik
ini, menarik melihat fenomena Joko Widodo (Jokowi) yang kehadirannya
korelatif dengan psikologi politik masyarakat kita yang sedang mengalami
katarsis kekecewaan sebagai efek dari irasionalitas pada kepemimpinan SBY.
Korelasi ini bisa kita rujuk pada persepsi masyarakat terhadap figur Jokowi
yang hampir semuanya antitesis dari persepsi atas figur SBY di masa lalu.
Merakyat, natural (apa adanya), bekerja, dan sederhana menjadi antitesis
Jokowi terhadap figur SBY yang elitis, pencitraan, retorika, dan mementingkan
performa.
Pertanyaannya,
bagaimana kita bisa memastikan bahwa ini tidak akan mengulangi kesalahan
perilaku politik yang sebelumnya terjadi terhadap SBY? Kita harus memiliki
parameter yang valid dalam menilai figur calon pemimpin. Parameter ini harus
dikembalikan pada kerangka dasar politik, yaitu rasionalitas. Dibutuhkan
aspek kuantifikasi, kualifikasi, dan kalkulasi dalam memutuskan kapasitas dan
kapabilitas figur tersebut. Sebab betapapun rasionalnya pertimbangan memilih
seorang pemimpin, pada praktiknya selalu ada celah bagi irasionalitas untuk
berperan.
Apalagi
jika sejak awal telah dihegemoni oleh irasionalitas. Untuk itu, masyarakat
kita harus selalu berusaha untuk mengedepankan rasionalitas dalam
memersepsikan figur calon pemimpin. Visi, kinerja, blue print kepemimpinan,
program, dan lain-lainnya harus diseleksi secara kritis pada figur calon
pemimpin. Jokowi, dengan segala karakteristik kepemimpinan yang melekat pada
dirinya, hadir pada saat yang tepat dan memiliki kelebihan tersendiri. Jokowi
mampu menghadirkan gaya kepemimpinan yang sedang dibutuhkan oleh masyarakat
kita dan sedang ditunggutunggu, karena baru tersadar oleh irasionalitas pola
kepemimpinan era sebelumnya.
Namun,
kita harus tetap selalu membuka pintu bagi tumbuhnya rasionalitas politik di
satu sisi, dan berusaha menutup pintu bagi masuknya irasionalitas politik.
Kedua hal itu bisa dilakukan dengan kesadaran politik kritis yang nantinya
menjelma menjadi perilaku kritis dalam memilih. Kritisisme politik sangat
diperlukan bukan hanya untuk mencegah infiltrasi irasionalitas, tapi karena kritisisme
merupakan bagian inheren dari rasionalitas politik. Untuk itu, kritisisme
terhadap figur Jokowi, dan figurfigur calon pemimpin lainnya, harus tetap
kita pelihara.
Setelah
penat dengan kekecewaan terjebak pada irasionalitas politik kepemimpinan sebelumnya,
psikologi politik rakyat memang sangat rindu pada ”fakta yang nyata”, bukan
”fakta yang maya” (pencitraan). Namun di situlah letak tantangan masyarakat
kita, yaitu tetap kritisisisme terhadap figur, sehingga katarsis kerinduan
tersebut tidak menjebak kita pada bentuk kemayaan yang lain yang hanya
berbeda pola saja. Di tengah terpaan emosi katarsis, kita harus tetap menjaga
basis rasionalitas perilaku kita dalam memilih.
Termasuk
terhadap Jokowi dan siapa pun figur yang akan menjadi calon pemimpin, baik
kini maupun di masa mendatang. Tetap menjaga kritisisme pada figur Jokowi,
mungkin memicu emosionalitas politik sebagian kalangan masyarakat kita. Kita
dapat memahami itu sebagai ekspresi katarsis kekecewaan terhadap politik
kepemimpinan era yang lalu. Namun, katarsis kekecewaan tidak boleh sampai
memegang kontrol penuh atas rasionalitas perilaku memilih kita. Tetap
berusaha berpikir rasional dalam melihat figur Jokowi bukan hanya baik untuk
demokratisasi negeri ini, tapi juga untuk kebaikan karakteristik kepemimpinan
Jokowi itu sendiri.
Dengan
tetap menjaga sikap kritis terhadap Jokowi, kita menyelamatkannya dari
potensi keterjebakan pada mitologi politik kepemimpinan. Jika sebuah
kepemimpinan tidak lagi disentuh oleh kritik, berpotensi besar untuk larut
dalam irasionalitasnya. Itu fitrah yang secara inheren melekat dalam ”tubuh”
kuasa. Kuasa memiliki kecenderungan untuk mengebalkan dirinya dari kritik. Sementara
kritik berperan untuk berjaga di ”pintu”, agar irasionalitas tidak masuk ke
dalam ”ruang” politik.
Dalam
demokrasi, keseimbangan akan tercipta melalui pasang surutnya pujian dan
kritikan. Tanpa kritikan, yang terbangun otoritarianisme. Tanpa pujian, yang
ada hanya sinisme. Keduanya komplementer sebagai penjaga demokrasi. Semua
elemen kebangsaan dan kenegaraan kita tentu tidak ingin terjebak pada
repetisi historisitas politik. Kita ingin progresif dalam menjalankan roda
sejarah politik negeri ini. Tak ada cara lain untuk mencapai itu selain
dengan tetap menjaga rasionalitas politik kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar