Implikasi
Golput
Mohammad Nasih ;
Pengajar pada Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan
FISIP UMJ, Pendiri Monash Institute, Semarang
|
KORAN
SINDO, 12 Maret 2014
|
Di
Indonesia, memilih dalam pemilihan umum (pemilu) merupakah hak, bukan
kewajiban. Karena itu, yang memilikinya bisa memilih untuk menggunakan atau
tidak menggunakannya. Dengan kata lain, pemilih yang tidak datang ke tempat
pemungutan suara (TPS) untuk menyalurkan aspirasi politik guna memilih dalam
pemilu,
baik
pemilu legislatif maupun presiden dan wakil presiden, tidak dikenakan sanksi
apa pun. Kelompok yang tidak menggunakan hak pilih ini lazim disebut sebagai
golongan putih (golput). Disebut demikian karena, pada saat awal
kemunculannya sebagai sebuah gerakan pada menjelang Pemilu 1971, mereka
mencoblos bagian kertas suara yang berwarna putih. Pilihan untuk tetap hadir
di TPS, tetapi mencoblos bagian kertas suara yang tidak seharusnya ini,
diambil karena untuk tidak hadir ke TPS pun saat itu bukan persoalan mudah.
Sebab,
mereka yang tidak hadir akan dilekati dengan berbagai stereotip negatif.
Pilihan untuk tidak memilih partai kontestan pemilu saat itu dilakukan untuk
melawan legitimasi kekuasaan rezim Orde Baru. Jika menggunakan argumentasi
yang sama, mestinya wacana golput tidak lagi muncul pada era pascareformasi.
Sebab, suasana pada era pascareformasi terbilang sangat demokratis. Namun,
wacana golput kembali muncul, bahkan kemudian makin menguat, terutama
menjelang penyelenggaraan Pemilu 2014.
Wacana
ini disebabkan orang-orang yang mewacanakan golput tidak memiliki kepercayaan
kepada para kontestan pemilu, baik partai politik, maupun per individu caleg
yang diajukan oleh partai, bahkan juga caleg DPD. Awal mulanya ada sebagian
aktivis yang mengampanyekan gerakan antipolitisi busuk menjelang Pemilu 2004.
Namun, gerakan ini tampaknya terbilang tidak berhasil.
Pemilu
kedua dan ketiga pascareformasi lebih banyak dimenangi oleh kalangan yang
dianggap tidak memiliki idealisme memadai dan bahkan mempraktikkan politik
uang untuk membeli suara pemilih. Tidak hanya itu, dalam praktik bernegara,
semua partai politik yang memiliki kekuasaan di eksekutif tersangkut masalah
korupsi, walaupun tentu saja selalu dikatakan oknum-oknumnya saja. Inilah
yang kemudian memunculkan pemikiran bahwa tidak ada gunanya memberikan hak
suara dalam pemilu. Tohyang banyak terpilih kemudian adalah mereka yang
berperilaku korup.
Cara
berpikir demikian, secara sepintas seolah logis. Namun, dalam jangka panjang
untuk masa depan, cara berpikir demikian sangat berbahaya dalam konteks
perbaikan negara. Pilihan menjadi golput justru akan menyebabkan berbagai
implikasi negatif. Pertama, rakyat yang memilih—atau terpengaruh dengan
pilihan— untuk menjadi golput menjadi tidak terbiasa untuk melakukan tindakan
aktif untuk berjuang guna memperbaiki keadaan.
Mereka
bahkan akan berpikir bahwa dengan menjadikan golput sebagai pilihan, situasi
dan kondisi akan berubah. Padahal tidak sama sekali. Walaupun golput yang
diwacanakan diniatkan untuk memperlemah legitimasi penguasa korup, dalam
prakteknya, mereka tetap saja kuat dan tidak pernah ambil peduli. Sebab,
secara legal formal, posisi mereka sebagai pemegang kekuasaan sangat kuat
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Kedua,
berpotensi besar memberikan kesempatan kepada pihak-pihak tertentu yang
menghalalkan segala cara untuk melakukan tindakan kecurangan. Berdasarkan
pengalaman dalam pemilu-pemilu sebelumnya, surat suara yang berlebih
merupakan salah satu sumber kecurangan. Karena itu, surat suara cadangan
kemudian di minimalisasi dengan tujuan agar kecurangan bisa ditekan. Nah,
jika ada cukup banyak pemilih yang tidak menggunakan hak suara mereka, justru
akan membuka peluang bagi mereka yang merencanakan kecurangan untuk bisa
memperoleh kekuasaan dengan memanfaatkannya.
Ketiga,
para politisi busuk akan mendapatkan kemenangan dengan mudah. Sebab, para
pemilih untuk menjadi golput biasanya merupakan kalangan yang relatif
terdidik dan memiliki akses informasi yang lebih baik. Mereka sering
diidentikkan sebagai kalangan pemilih rasional. Jika mereka tidak lagi
mengupayakan untuk mencari, menemukan, dan kemudian mendukung politisi yang
baik, maka politisi busuk menjadi tidak lagi memiliki kompetitor. Mereka akan
menjadi lebih mudah untuk mendapatkan dukungan dengan persentase yang lebih
besar, karena mendapatkan dukungan dari pemilih yang tidak melek politik dan
sangat mudah disogok dengan serangan politik uang.
Para
pemilih yang memilih untuk menjadi golput seharusnya menyadari bahwa zaman
telah berubah. Sistem politik dan praktiknya telah menjadi sangat demokratis.
Semua orang bebas untuk mengekspresikan diri, berkumpul, dan berserikat.
Siapa pun memiliki kesempatan yang sama untuk berkompetisi memperebutkan
posisi-posisi politik. Jika ingin memiliki pemimpin dan wakil yang baik,
orang-orang yang baik harus berjuang sekuat tenaga, agar para calon yang baik
mendapatkan dukungan yang besar dan benar-benar terpilih dalam pemilu.
Jika
para pemilih golput menganggap bahwa sudah tidak ada lagi yang bisa
dipercaya, merekalah yang seharusnya mengambil peran untuk menjadi politisi.
Mereka harus memperjuangkan diri sendiri, agar dapat merebut kekuasaan.
Ungkapan Imam Ali, ”Jika kita tidak
mendapatkan keadilan, maka kitalah yang harus memberikan keadilan,”
sangat tepat dalam hal ini. Sikap hanya menggerutu sama sekali bukanlah
pilihan, karena sama sekali tidak akan mengubah keadaan.
Untuk
itu, setiap warga negara seharusnya mengambil peran aktif untuk memperbaiki
negara dengan menggunakan hak suara sebagai modal. Hal yang justru sangat
perlu dilakukan saat ini adalah mengonsolidasi kekuatan kritis dan berusaha
membangun dan meningkatkan kesadaran masyarakat yang sebelumnya tidak melek politik
untuk mendukung para caleg yang sesungguhnya memiliki idealisme dalam
berpolitik, agar mereka menang dalam pemilu. Mereka biasanya disingikirkan
oleh partai politik yang didominasi oleh pragmatisme dengan ditempatkan pada
nomor urut besar dan di daerah-daerah yang minim pendukung.
Tugas
kalangan kritis adalah bertindak aktif untuk memperjuangkan mereka. Kalaupun
calon-calon yang memiliki idealisme tidak terpilih, mereka akan tetap
memiliki semangat untuk terus berjuang karena tetap memiliki pendukung dengan
jumlah yang signifikan. Ketakterpilihan itu tidak menyebabkan aktivis politik
idealis menjadi putus asa karena merasa tidak memiliki pendukung. Dan dengan
dukungan yang signifikan, walaupun tidak sampai terbanyak, dalam
kondisi-kondisi tertentu membuat mereka memiliki peluang untuk menggantikan.
Inilah
yang kemudian bisa dijadikan modal pada masa selanjutnya. Dengan cara ini
energi kalangan yang sebelumnya akan memilih untuk menjadi golput menjadi
tidak mubazir. Dalam konteks ini pula menggunakan hak pilih tetap lebih utama
dibandingkan menjadi golput. Bahkan, walaupun secara legal formal berdasarkan
Undang-Undang Pemilu memilih adalah hak, tetapi sebagai alat perjuangan
secara substansial memilih justru merupakan kewajiban. Wallahu a’lam bi alshawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar