Politik
Luar Negeri dalam Pemilu
Dinna Wisnu ;
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 12 Maret 2014
|
Dalam
beberapa pekan terakhir ini situasi politik internasional yang melibatkan
berbagai negara semakin panas. Di Asia, konflik Laut China Selatan masih
bersifat laten dan mengkhawatirkan karena satu pemicu saja dapat membuat enam
negara akan bersitegang.
Di
Eropa, kasus referendum di Crimea untuk bergabung atau tidak dengan Rusia
telah menempatkan negaranegara yang tergantung dengan Rusia seperti Jerman
dan Inggris dalam posisi yang tidak nyaman berhadapan dengan Amerika Serikat
yang tidak mengendurkan sikapnya untuk mengkritik tindakan Rusia di Ukraina.
Iklim panas di Timur Tengah juga semakin panas seiring dengan penarikan duta
besar negara Arab Saudi dan Mesir dari Qatar. Penarikan duta besar ini tampak
cocok dengan siklus alam yang berubah dari Arab Spring menjadi Arab Summer.
Seperti
halnya konflik-konflik yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, konflik
yang baru lahir akan membutuhkan proses penyelesaian yang tidak cepat.
Terlebih lagi dengan krisis ekonomi dunia, makapenyelesaiankonflik juga akan
bergantung pada perbaikan ekonomi dunia. Ambil contoh kasus Ukraina yang
beberapa hari terakhir ini adalah buah dari ketidakberesan manajemen
pemerintahan setelah berakhirnya era Uni Soviet. Korupsi, tidak produktifnya
masyarakat, ketergantungan bantuan ekonomi, dan faktor-faktor perubahan
demografi yang tidak diantisipasi telah membuat politik dalam negeri negara
itu menjadi tidak stabil.
Penduduk
Ukraina dari tahun ke tahun semakin berkurang. Puncak jumlah penduduk adalah
tahun 1994. Saat itu jumlah mereka adalah 52 juta, kemudian turun dan semakin
turun drastis menjadi 45,8 juta pada 2012. Sektor ekonomi tidak dapat
bergerak karena kurangnya tenaga kerja yang terampil. Hal ini yang kemudian
juga mengembalikan lagi kenangan-kenangan akan teraturnya hidup mereka pada
saat masih bergabung dengan Uni Soviet.
Dalam
konteks krisis ekonomi berkepanjangan yang berpeluang menciptakan
ketidakstabilan politik baik di dalam negeri maupundalamhubunganantara
negara, presiden Indonesia yang baru dan partai politik penguasa yang akan
terpilih di tahun 2014 tidak akan memiliki waktu yang panjang untuk mencerna
dan merumuskan kebijakan politik luar negeri. Secara sederhana, tugas
pemimpin baru itu adalah mencegah timbulnya konflikkonflik baru dan
menyelesaikan konflik-konflik yang telah terjadi atau minimal mencegah
pemburukan situasi.
Masalahnya,
rumusan kebijakan luar negeri sangat terkait dengan kepentingan
ekonomipolitik dalam negeri kita sendiri dan salah satu agenda populis selama
ini disuarakan para kandidat atau calon presiden adalah mengedepankan
”ekonomi kerakyatan”, ”nasionalisasi sektor ekonomi yang menguasai hajat
hidup orang banyak”, dan slogan- slogan populis lain yang telah memunculkan
rasa khawatir dari pemerintah-pemerintah negara lain di mana perusahaan-
perusahaan mereka telah menginvestasi ribuan miliar dolar AS di Indonesia.
Terlebih
lagi dalam 10 tahun terakhir ini, sektor-sektor yang tidak mengandalkan nilai
tambah seperti batu bara, minyak, bauksit, dan sebagainya justru menjadi
kontributor utama perekonomian Indonesia dan bukannya dari sektor riil.
Dengan kata lain, kontrak ekonomi kita terhadap pihak luar lebih kuat
ketimbang kemandirian kita. Apabila kita ingin mengoreksi ”kebijakan yang
tidak tepat” di masa lalu dengan negara-negara lain, kita harus siap dengan
konsekuensi yang timbul dari tindakan tersebut atau apabila salah satu pihak
melakukan wanprestasi.
Selain
konflik bilateral yang mungkin terjadi karena masalah ekonomi, konflik
politik regional seperti di Laut China Selatan atau konflik ekonomi dalam
forum-forum ekonomi dunia seperti APEC, G-20 , ASEAN atau WTO , konflik dunia
seperti yang terjadi di Timur Tengah atau Ukraina akan menuntut Indonesia
untuk aktif dalam proses penyelesaian. Di sini posisi Indonesia diamat-amati
betul oleh negara lain: ke mana kita cenderung berpihak? Dalam pemilu di
negara-negara tertentu seperti AS atau anggota Uni Eropa, arah kebijakan politik
luar negeri seorang calon presiden akan ikut menentukan besaran jumlah suara
yang diperoleh dalam pemilu.
Namun,
”untungnya” hal tersebut tidak berlaku bagi calon presiden di Indonesia.
Meskipun para pemilih Indonesia cukup kritis tentang dominasi ekonomi dan
hegemoni politik asing di dalam negeri, mereka cenderung tidak terlalu ambil
pusing dengan kebijakan politik luar negeri bakal calon presiden yang akan
dipilihnya. Meski demikian, hal ini bukan sepenuhnya kesalahan para pemilih
dan bukan berarti bakal calon itu dapat tenang-tenang saja. Sekali lagi
situasi global tidak memungkinkan adanya ruang wait and see,apalagi sekadar
jadi penonton saja.
Bahkan
negara-negara tetangga sangat menanti langkah konkret Indonesia segera
setelah pemilu berakhir karena pada 2015 sudah langsung dijalankan integrasi
masyarakat ekonomi ASEAN. Di sinilah kritik saya kepada para calon presiden
di Indonesia: mereka abai mendidik para pemilihnya tentang peranan penting
Indonesia di tingkat global. Strategi ”yang penting menang dulu” dan
mengabaikan pendidikan politik global kepada pemilih mungkin akan bisa
menjadi bumerang ketika mereka berkuasa. Para pemimpin dunia yang mencoba
melawan arus dominan politik dan ekonomi dunia untuk kepentingan
politik-ekonomi dalam negeri mereka masing-masing,
baik
yang berasal dari sayap kanan maupun kiri, tetap akan tergantung dengan
konstituen mereka untuk mendukung kebijakan itu. Idealnya, sejak saat ini
hingga saat pencoblosan nanti, para calon presiden dan partai politik dapat
mulai menggalang dukungan dari akar rumput untuk kebijakan politik luar
negerinya. Bagi saya sendiri tujuannya praktis saja, yaitu untuk menciptakan
kestabilan politik akibat kebijakan yang populis/tidak populis yang akan
diambil nanti. Kita perlu melihat kasus Thailand sebagai contoh yang
terdekat.
Dari
perbincangan dengan sejumlah wakil dari 12 partai politik yang akan bertarung
dalam Pemilu 2014, saya menyaksikan hanya sedikit individu calon legislatif
yang dapat melihat gambaran makro hubungan Indonesia dalam peta strategis
dunia; selebihnya menanggap semua itu bisa dilakukan ”sambil jalan”. Sungguh
memprihatinkan karena demi Indonesia yang mampu lepas landas dibutuhkan
pemimpin yang teruji dalam berbagai jenjang politik, baik di tingkat daerah,
nasional
maupun internasional. Kepiawaian seorang pemimpin seharusnya tidak berhenti
pada meyakinkan pemilih untuk mendukungnya, tetapi juga meyakinkan pemimpin
negara-negara lain untuk mendukung agenda-agenda yang diusung oleh Indonesia,
termasuk ketika agenda tersebut dianggap berseberangan dengan kepentingan
negara lain tadi. Kita harus ingat bahwa sejarah telah membuktikan bahwa di
balik pemimpin yang hebat berdiri rakyat yang siap berjuang untuk
mempertahankan keyakinannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar