Gus
Dur
Ahmad
Sahidah ; Dosen
Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
|
TEMPO.CO,
01 Maret 2014
Media sosial Facebook diakui menjadi arena
persaingan pendapat dan pendirian. Meskipun ruang status di sini terbatas,
tautan (link) dari sebuah kabar,
ide, dan berita memungkinkan pengguna bisa melacak informasi lebih utuh.
Namun, bagaimana jika tak ada tautan? Silang-sengkarut mendadak merebak.
Menjelang haul ke-4 Gus Dur, ada tautan gambar dan pesan Gus Dur di Facebook
yang berbunyi: "Islam datang bukan
untuk mengubah budaya leluhur jadi budaya Arab, bukan untuk 'aku' menjadi
'ana', 'sampeyan' jadi 'antum', dan 'sedulur' menjadi 'akhi'… Kita
pertahankan milik kita, kita harus serap ajarannya, bukan budaya
Arabnya." Serta-merta, pengunggah tautan dan beberapa pemilik akun
bersengketa kata-kata dengan sengit.
Secara
linguistik, sebuah teks mengandaikan penutur, mitra, dan konteks. Kita bisa
membayangkan bahwa pengungkap kata itu adalah Abdurrahman Wahid, atau yang
lebih dikenal sebagai Gus Dur. Hanya, mitra atau khalayak dari pernyataan ini
masih gelap. Dalam poster itu hanya tertera nama dan masa hidup almarhum, 7
September 1910-30 Desember 2009. Andaikan pernyataan tersebut disampaikan
dalam sebuah pengajian muslimat NU di Jawa, kita mafhum. Perempuan Jawa tak
perlu menjadi orang "Arab"
agar bisa menjadi muslimah yang baik.
Hanya,
pertanyaan yang muncul, mengapa tiba-tiba persoalan bahasa melompat menjadi
isu budaya. Adakah penggunaan kata-kata ana,
antum, dan akhi begitu kuat
pengaruhnya hingga secara otomatis mengandaikan perubahan budaya? Dalam
kajian budaya-budaya (cultural studies),
kaitan antara bahasa dan budaya begitu erat dengan dua alasan. Pertama,
bahasa adalah medium istimewa di mana makna-makna budaya dibentuk dan
dikomunikasikan. Kedua, bahasa adalah sarana dan medium yang kita gunakan
untuk membentuk pengetahuan tentang diri dan dunia kita.
Atas dasar
andaian di atas, perubahan penggunaan bahasa dengan sendirinya mengandaikan
hubungan-hubungan kultural pemakainya. Misalnya, dalam kalangan pengguna
bahasa kearab-araban itu, kita sering menemukan penutur yang berjanggut,
berdahi "hitam", dan
bercelana cinkrang. Identifikasi bahasa dengan sendirinya menunjukkan
keberpihakan budaya. Pada kelompok lain, penggunaan kata-kata ini sering
keluar dari pegiat keagamaan yang menggunakan jubah. Hanya, secara kebetulan
si pelaku berketurunan Arab, meskipun tak sepenuhnya berbahasa
nenek-moyangnya.
Hakikatnya,
kutipan tersebut tak ingin menyangkal budaya Arab. Gus Dur begitu khusyu'
membaca Shalawat. Nada suaranya jelas-jelas menunjukkan kedekatan emosional
dengan Nabi, yang didapatkan dari lingkungannya, pesantren. Betapapun mantan
presiden ini membesar di lingkungan kota dan bacaan-bacaan yang sangat luas,
namun sejauh ini Shalawat Syi'ir tanpa Waton (syair pujian religius berbahasa Jawa) menunjukkan bahwa
mengambil sebagian dari pernyataan Gus Dur dan menyangkal "kehadiran" GD di banyak
waktu dan ruang lain hanya akan melahirkan pandangan dangkal. Mesti diakui
bahwa tradisi pujian terhadap Nabi berasal dari Tanah Arab. Betapa ada banyak
lapisan dari pernyataan guru bangsa itu.
Sejauh ini,
saya mengikuti pelbagai kegiatan almarhum, seperti seminar, pengajian, dan
tahlilan. Tentu, sikap Gus Dur di panggung seminar berbeda dengan
pandangannya di depan pengajian ibu-ibu. Dalam sebuah kesempatan mengikuti
pengajian di Pesantren Hikam, Tuban, Gus Dur mengurai fikih dengan bahasa sehari-hari.
Ia berceramah seperti kiai-kiai kampung dalam menyampaikan pengajian. Betapa
ribuan orang dengan sabar menunggu hingga menjelang tengah malam. Setelah
pengajian, Gus Dur melanjutkan perjalanan dengan mobil ke Pekalongan untuk
memberikan pengajian subuh di Kota Batik itu.
Andaikata Gus
Dur tidak hanya dilihat dari kontroversi yang sering mengiringinya, kita tahu
bahwa pesonanya bukan hanya pada sikap nyentrik, tapi juga kesehariannya.
Ketika saya mengikuti tahlilan di kantor pusat PKB Jakarta, setelah acara
usai, tokoh NU ini menguraikan ihwal pentingnya menjaga lingkungan. Baju
batiknya tampak kekecilan. Sambil duduk bersila, dia menikmati kacang rebus.
Betapa ia tak begitu ambil peduli tentang penampilan, apatah lagi ingin
tampak jumawa, meskipun darah biru dan kedudukannya yang menjulang tinggi.
Malah, dalam
sebuah diskusi panel di Universitas Gadjah Mada bersama Arief Budiman, ia
tetap bersahaja. Bahkan raut mukanya tampak datar ketika tokoh Golput
tersebut mengkritik keras dengan kata "brengsek"
terkait dengan manajemen pemerintahan. Jelas, kakek Parikesit ini tahu bahwa
kritik tulus mesti didengarkan, sementara kritik asal-asalan tak perlu
digubris. Tanpa mengabaikan betapa kosmopolit sosok Gus Dur, melalui Syi'ir tanpa Waton kita bisa
meringkas betapa presiden ke-4 RI ini begitu kokoh berpijak pada buminya
sendiri, yang begitu khusyu' bershalawat dan mengurai hakikat agama dengan
bahasa Jawa yang magis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar