Selasa, 11 Maret 2014

Jerat Kasus Dugaan Politik Uang

Jerat Kasus Dugaan Politik Uang

Herie Purwanto  ;   Penyidik Tindak Pidana Pemilu 2009,
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
SUARA MERDEKA,  10 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
PRAKTIK politik uang (money politics), menjadi salah satu perhatian publik, selaras dengan makin dekatnya tahapan kampanye pemilihan umum legislatif.

Makna masa kampanye yang idealnya menjadi ajang sosialisasi program peserta pemilu, menjadi bias ketika muncul fenomena politik uang. Pemberian itu tidak lagi mewujud secara harfiah uang atau janji memberi uang tapi telah bermetamorfosis menjadi barang.

Modusnya pun ikut bertransformasi, dari pemberian di dalam amplop langsung kepada pemilih, menjadi semacam ijab sebagai tali asih, uang santunan, uang bantuan, uang pengganti bekerja saat pemungutan suara, uang kader, dan sebutan lain. Kendati telah berganti rupa, tetap saja kendara mengingat modus seperti itu tak pernah kita temukan di luar masa mendekati pemilu.

Ironisnya, masyarakat pemilih seperti ikut menikmati dan menunggu fenomena tersebut. Bahkan dengan bahasa yang tidak lagi ditutup-tutupi, mereka enteng mengucapkan akan memilih pihak yang bersedia membayar. Dalam konteks pendidikan politik, realitas itu menjadi hal yang sangat kontraproduktif.

Bahkan fakta itu makin meneguhkan adanya banyak sebab yang membuat konstituen membiarkan pertumbuhan praktik politik uang. Kebiasaan tersebut kemudian melekat pada sebagian masyarakat, seolah-olah menjadi ’’peraturan’’, mereka hanya mau memilih asal mendapat uang.

Maka slogan wani pira menjadi anutan sebagian masyarakat pada semua tingkatan (Husnun N Djuraid, SM, 6/3/14). Prof Dr H Edy Suandi Hamid MEc (2009) yang melihat dari kacamata ekonomi menilai kemunculan praktik politik uang karena ada hubungan mutualisme antara pelaku (partai, politikus, atau perantara) dan ’’korban’’(rakyat).

Keduanya saling mendapatkan keuntungan melalui mekanisme tersebut. Bagi politikus, memberi uang merupakan media instan untuk mendapatkan suara konstituen.

Sebaliknya, bagi rakyat pemilih, praktik politik uang ibarat bonus rutin pada masa pemilu, dan lebih realistis ketimbang program yang dijanjikan caleg. Menghadapi kondisi itu, Panwaslu menjadi benteng terakhir, dan harus berada di garda terdepan.

Meskipun, regulasi Pemilu 2014 menyebutkan bahwa proses penegakan hukum tetap di tangan penyidik Polri, setelah mendapat pelimpahan kasus dari Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) Pemilu.

Memorandum of understanding Bawaslu, Polri, dan Kejakgung mewajibkan tiap pengaduan/pelaporan dugaan tindak pidana pemilu, dimintakan klarifikasi terlebih dulu oleh lembaga ini, sebelum diproses secara hukum.

Kendala Pembuktian

Tak mudah membuktikan praktik politik uang, meskipun perangkat hukumnya sudah jelas. Secara empiris, penyidikan tindak pidana pemilu, khususnya pembuktian praktik politik uang, kerap menemui beberapa hambatan.

Panwaslu sebagai pihak awal yang menerima pengaduan, harus meminta klarifikasi yang substansinya adalah menelisik keterangan pelapor/pengadu dengan menyertakan saksi dan bukti. Berada satu meja dengan Polri dan kejaksaan dalam wadah Gakkumdu, kasus itu dibedah kemudian digelarperkarakan.

Dalam konteks pembuktian tindak pidana politik uang, substansi perbuatan yang mutlak dibuktikan adalah unsur menjanjikan atau memberi uang atau materi harus berawal dari inisiatif pelaksana kampanye pemilu untuk memengaruhi pemilih. Ini bukan perkara mudah mengingat bersifat sangat subjektif. Terlebih bila peserta pemilu tidak langsung memberikan.

Modus pinjam tangan atau dilakukan oleh pihak lain yang tidak termasuk sebagai pelaksana kampanye, bisa menggugurkan pengaduan kasus dugaan pemberian uang.

Substansi pembuktian pasal politik uang seperti itu makin mempersulit upaya menjerat pelaku praktik politik uang. Realitas itu sangat disadari, karena sejak awal sudah menjadi bagian dari political will para legislator.

Produk hukum by design itu akhirnya berimplikasi, ada, dan tersebar di mana-mana, mewarnai konstestasi lima tahunan, namun sulit membuktikan secara yuridis. Karena itu, tak mengherankan banyak kasus politik uang dilaporkan ke Panwas, tapi berbuntut penghentian perkara karena tidak cukup bukti untuk membawanya ke pengadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar