Jerat
Kasus Dugaan Politik Uang
Herie Purwanto ;
Penyidik Tindak Pidana Pemilu 2009,
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan
(Unikal)
|
SUARA
MERDEKA, 10 Maret 2014
PRAKTIK
politik uang (money politics),
menjadi salah satu perhatian publik, selaras dengan makin dekatnya tahapan
kampanye pemilihan umum legislatif.
Makna
masa kampanye yang idealnya menjadi ajang sosialisasi program peserta pemilu,
menjadi bias ketika muncul fenomena politik uang. Pemberian itu tidak lagi
mewujud secara harfiah uang atau janji memberi uang tapi telah
bermetamorfosis menjadi barang.
Modusnya
pun ikut bertransformasi, dari pemberian di dalam amplop langsung kepada
pemilih, menjadi semacam ijab sebagai tali asih, uang santunan, uang bantuan,
uang pengganti bekerja saat pemungutan suara, uang kader, dan sebutan lain.
Kendati telah berganti rupa, tetap saja kendara mengingat modus seperti itu
tak pernah kita temukan di luar masa mendekati pemilu.
Ironisnya,
masyarakat pemilih seperti ikut menikmati dan menunggu fenomena tersebut.
Bahkan dengan bahasa yang tidak lagi ditutup-tutupi, mereka enteng
mengucapkan akan memilih pihak yang bersedia membayar. Dalam konteks
pendidikan politik, realitas itu menjadi hal yang sangat kontraproduktif.
Bahkan
fakta itu makin meneguhkan adanya banyak sebab yang membuat konstituen
membiarkan pertumbuhan praktik politik uang. Kebiasaan tersebut kemudian
melekat pada sebagian masyarakat, seolah-olah menjadi ’’peraturan’’, mereka
hanya mau memilih asal mendapat uang.
Maka
slogan wani pira menjadi anutan sebagian masyarakat pada semua tingkatan
(Husnun N Djuraid, SM, 6/3/14). Prof Dr H Edy Suandi Hamid MEc (2009) yang
melihat dari kacamata ekonomi menilai kemunculan praktik politik uang karena
ada hubungan mutualisme antara pelaku (partai, politikus, atau perantara) dan
’’korban’’(rakyat).
Keduanya
saling mendapatkan keuntungan melalui mekanisme tersebut. Bagi politikus,
memberi uang merupakan media instan untuk mendapatkan suara konstituen.
Sebaliknya,
bagi rakyat pemilih, praktik politik uang ibarat bonus rutin pada masa
pemilu, dan lebih realistis ketimbang program yang dijanjikan caleg.
Menghadapi kondisi itu, Panwaslu menjadi benteng terakhir, dan harus berada
di garda terdepan.
Meskipun,
regulasi Pemilu 2014 menyebutkan bahwa proses penegakan hukum tetap di tangan
penyidik Polri, setelah mendapat pelimpahan kasus dari Sentra Penegakan Hukum
Terpadu (Gakkumdu) Pemilu.
Memorandum
of understanding Bawaslu, Polri, dan Kejakgung mewajibkan tiap
pengaduan/pelaporan dugaan tindak pidana pemilu, dimintakan klarifikasi
terlebih dulu oleh lembaga ini, sebelum diproses secara hukum.
Kendala Pembuktian
Tak
mudah membuktikan praktik politik uang, meskipun perangkat hukumnya sudah
jelas. Secara empiris, penyidikan tindak pidana pemilu, khususnya pembuktian
praktik politik uang, kerap menemui beberapa hambatan.
Panwaslu
sebagai pihak awal yang menerima pengaduan, harus meminta klarifikasi yang
substansinya adalah menelisik keterangan pelapor/pengadu dengan menyertakan
saksi dan bukti. Berada satu meja dengan Polri dan kejaksaan dalam wadah
Gakkumdu, kasus itu dibedah kemudian digelarperkarakan.
Dalam
konteks pembuktian tindak pidana politik uang, substansi perbuatan yang
mutlak dibuktikan adalah unsur menjanjikan atau memberi uang atau materi
harus berawal dari inisiatif pelaksana kampanye pemilu untuk memengaruhi
pemilih. Ini bukan perkara mudah mengingat bersifat sangat subjektif.
Terlebih bila peserta pemilu tidak langsung memberikan.
Modus
pinjam tangan atau dilakukan oleh pihak lain yang tidak termasuk sebagai
pelaksana kampanye, bisa menggugurkan pengaduan kasus dugaan pemberian uang.
Substansi
pembuktian pasal politik uang seperti itu makin mempersulit upaya menjerat
pelaku praktik politik uang. Realitas itu sangat disadari, karena sejak awal
sudah menjadi bagian dari political will para legislator.
Produk
hukum by design itu akhirnya
berimplikasi, ada, dan tersebar di mana-mana, mewarnai konstestasi lima
tahunan, namun sulit membuktikan secara yuridis. Karena itu, tak mengherankan
banyak kasus politik uang dilaporkan ke Panwas, tapi berbuntut penghentian
perkara karena tidak cukup bukti untuk membawanya ke pengadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar