Selasa, 11 Maret 2014

Mujahid Ekonomi dari Timur

Mujahid Ekonomi dari Timur

Adiwarman A Karim  ;   Peneliti di Center for Indonesian Political Studies
(CIPS) Yogyakarta
REPUBLIKA,  10 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
Bankir dan pengusaha seringkali memiliki cara pandang yang berbeda untuk suatu keadaan bisnis yang sama karena memiliki informasi berbeda. Kejelian George Akerlof, Michael Spence, dan Joseph Stiglitz dalam memahami adanya asymmetric information ini menjadikan mereka pemenang Nobel Prize in Economics pada 2001.
Akerlof, Spence, dan Stiglitz ke tiganya lahir di zona waktu timur Amerika Serikat. 

Dua bentuk yang paling lazim timbul akibat asymmetric information adalah adverse selection dan moral hazard. Perbedaan pandangan antara bankir dan pengusaha, yang dalam bahasa kerennya disebut principal-agent problems, yang dalam perbankan syariah coba diatasi dengan transparan oleh sistem bagi hasil.
George Akerlof dengan jeli merumuskan proses salah pilih (adverse selection). 

Katakan ada dua pengusaha yang mengajukan permohonan kredit ke bank. Yang pertama seorang pengusaha baik dan jujur, tapi tak pernah mengajukan permohonan kredit sebelumnya sehingga tidak memahami seluk beluk proses kredit di bank.
Yang kedua, seorang pengusaha curang dan gemar ngemplang kredit sehingga tahu persis seluk beluk proses kredit di bank, termasuk cara mengatasi kredit macetnya. Karena pengalaman dan keahliannya, pengusaha yang gemar ngemplang kreditlah yang kemungkinan lebih besar mendapatkan kredit.

Kondisi inilah yang disebut adverse selection, atau bahasa mudahnya, salah pilih.
Sistem bagi hasil perbankan syariah yang dimaksudkan untuk mengatasi principal-agent problems juga tidak lepas dari pilihan yang salah (adverse selection). Pengusaha yang mengetahui bisnisnya memiliki risk adjusted return tinggi tentu lebih memilih kredit perbankan konvensional yang memberikan kepastian tingkat suku bunga.

Pengusaha ini akan menghindari sistem bagi hasil perbankan syariah untuk menghindari beban bagi hasil yang lebih besar dibandingkan beban suku bunga kredit. Akibatnya hanya pengusaha berisiko bisnis yang lebih besar atau memiliki return lebih kecil saja yang datang ke bank syariah untuk pembiayaan dengan sistem bagi hasil.

Persoalan ini yang dimitigasi perbankan syariah Indonesia dengan dua konsep bagi hasil. Pertama, two step financing, yaitu bank syariah memberikan pembiayaan kepada koperasi atau multifinanceatau BPRS dengan sistem bagi hasil. Selanjutnya, pembiayaan itu akan disalurkan kepada end users dengan sistem fixed installments
Jadi, bank syariah berbagai hasil dari sesuatu yang dapat diprediksi akurat.

Kedua, short term financing based on job order, yaitu bank syariah memberikan fasilitas kelonggaran tarik yang dapat dicairkan bila ada surat perintah kerja (SPK) dari pemberi kerja. Atas dasar SPK itulah, bank syariah memperhitungkan risiko, jangka waktu, dan perkiraan return-nya. Jadi, bank syariah pada dasarnya hanya mau melakukan pembiayaan bagi hasil bila bisnis yang dibiayainya dapat diprediksi akurat.

Apa yang dilakukan bank syariah ini sebenarnya implementasi dari teori signaling yang diajukan Michael Spence dan teori screening yang diajukan Joseph Stiglitz. Apa yang dirumuskan teorinya oleh Akerlof, Spence, dan Stiglitz merupakan bahasa lain dari rumusan kitab-kitab fikih.

Bentuk kedua asymmetric information yang lazim ditemui adalah moral hazard. Bila adverse selection (salah pilih) timbul akibat informasi tersembunyi (hidden information), moral hazard timbul akibat adanya perbuatan yang tersembunyi (hidden actions).

Katakan saja seorang pengusaha yang baik dan jujur mendapat kucuran kredit bank. Selama bertahun-tahun nasabah menjaga reputasinya sebagai nasabah yang baik. Begitu percayanya banker terhadap nasabah ini membuat banker terlena dalam melakukan monitoring yang seharusnya tetap dilakukan.

Bank merasa nyaman dengan ketepatan pembayaran angsuran kreditnya. Memahami beberapa tindakannya tidak dimonitor bank, nasabah ini mulai menggunakan kredit untuk kegiatan lain yang tak sesuai permohonan kreditnya.

Perlahan tapi pasti sejalan dengan semakin lemahnya monitoring bank, pengusaha ini menggunakan kredit untuk kegiatan bisnis baru yang risikonya lebih besar. Subprime crisis merupakan salah satu contoh teranyar moral hazard. Nama-nama besar, seperti Ginnie Mae, Fannie Mae, Freddie Mac, Salomon Brothers, Lehman Brothers telah membuat banyak investor terlena untuk menilai secara wajar risiko investasi mereka.

Dalam keuangan syariah, keharusan adanya transaksi riil sebagai dasar (underlying) suatu transaksi keuangan untuk meminimalkan moral hazard. Keharusan ini memaksa bank memastikan pengggunaan kredit sesuai yang proposal yang diajukan pengusaha. Penyimpangan penggunakan kredit (side streaming atau misused) dapat diminimalkan.

Keberhasilan Indonesia dalam menerapkan sistem pembiayaan berbasis bagi hasil menjadi yang terbesar porsinya di dunia, yaitu 35 persen dari total pembiayaan yang disalurkan telah membuka mata dunia akan kejelian para mujahid ekonomi Indonesia memahami dan menghidupkan kembali kitab-kitab fikih pada konteks kekinian.

Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman al-Banjari, lahir di Banjar, adalah ulama fikih mazhab Syafi'i yang mengguncangkan dunia dengan kitabnya, Sabilal Muihtadin. Beliau adalah keturunan Rasulullah SAW dari jalur keluarga Alaidrus.

Memahami budaya masyarakat Banjar dan masyarakat In donesia umumnya, yang terbiasa suami dan istri sama-sama bekerja mencari rezeki, beliau menulis ijtihad ekonomi yang dipandang unik bahkan sampai saat ini. Berlainan dengan hukum waris yang dipahami umumnya, beliau menjelaskan, seyogianya harta dibagi dua antara suami dan istri, baru kemudian bagian suami dikenakan hukum waris. Pemikiran ini melandasi munculnya konsep harta gono-gini dalam kodifikasi hukum Islam Indonesia.

Maulana Malik Ibrahim yang dikenal sebagai Sunan Gresik adalah keturunan ke-22 Rasulullah SAW, lahir di Samarkand yang dalam lidah orang Jawa menyebutnya Asmarakandi. Beliau mengajarkan cara-cara baru bercocok ta nam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan pada akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Sistem bagi hasil pertanian paroan atau maro, teluan merupakan warisan fikih yang menjadi budaya lokal.

Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel dan merupakan keturunan ke-23 Rasulullah SAW. Beliau banyak berdakwah melalui ekonomi kreatif dan kesenian, penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. 

Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang.
Sunan Kalijaga adalah adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan ekonomi kreatif dan kesenian sebagai sarana dakwah, antara lain, kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk "Ilir-Ilir" dan "Gundul-Gundul Pacul" adalah karyanya.

Penghargaan terhadap karya seni ini yang kemudian melandasi fatwa MUI tentang hak cipta yang memandang hak cipta sebagai salah satu huquq maliyyah (hak kekayaan) yang mendapatkan perlindungan hukum (masnun) sebagaimana mal (kekayaan). Sebagaimana mal, hak cipta dapat dijadikan objek akad (al-ma'qud alaih), baik akad mua'wadhahb (pertukaran, komersil), maupun akad tabarru'at (nonkomersial), serta diwakafkan dan diwarisi. Setiap bentuk pelanggaran terhadap hak cipta, terutama pembajakan, merupakan kezaliman yang hukumnya haram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar