Membaca
Kebijakan Luar Negeri Indonesia
David McRae ;
Visiting Fellow, Australian National University
|
KOMPAS,
05 Maret 2014
|
APA yang
akan menjadi ciri-ciri kebijakan luar negeri Indonesia di bawah presiden
mendatang? Pertanyaan ini semakin menonjol seiring dengan semakin dekatnya
rakyat Indonesia memilih pengganti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Para
bakal calon presiden pun cukup bervariasi, mulai dari pemimpin daerah sampai
mantan jenderal serta pengusaha kelas kakap dan mantan pejabat tinggi. Kita
belum tahu secara mendetail bagaimana gagasan para bakal calon ini tentang
isu internasional dan hubungan Indonesia dengan pihak luar, boleh jadi
perbedaannya besar. Pihak luar juga mengamati dari dekat siapa yang akan
dipilih oleh rakyat Indonesia, serta orientasi kepemimpinannya.
Namun,
siapa pun yang menjadi presiden mendatang, satu ciri utama dari kebijakan
luar negeri Indonesia dipastikan tetap sama: Indonesia takkan memiliki sumber
daya yang memadai untuk mendukung gagasannya pada jangka pendek ataupun
jangka menengah.
Kenapa
begitu? Sedangkan ekonomi Indonesia bertumbuh pesat, rata-rata 5,7 persen per
tahun selama satu dasawarsa terakhir menurut data Bank Dunia sehingga
Indonesia berhak masuk G-20. Keberhasilan transisi demokratisasi sejak 1998
juga berpotensi menjadi aset diplomasi, khususnya dengan negara yang sedang
mengalami transisi dan negara demokrasi lain.
Namun,
harus diingat, kalaupun sumber daya yang dimiliki Indonesia terus meningkat,
proses ini mulai dari titik awal yang rendah. Selama ini Indonesia belum
terlalu berpengaruh di bidang ekonomi sehingga kita lebih sering dengar
keluhan dari para diplomat bahwa diplomasi politik Indonesia tidak membuka
akses pasar yang baru, daripada mereka membicarakan bagaimana kekuatan
ekonomi Indonesia menjadi alat pengaruh politik.
Program
bantuan luar negeri milik Indonesia—sebuah bentuk soft power yang lain—juga
tak sebanding dengan negara-negara emerging economy yang lain. Menurut
perkiraan OECD, Indonesia membelanjakan sekitar 10 juta dollar AS sebagai
bantuan luar negeri pada tahun 2010. Sementara untuk China, angkanya adalah
sekitar 2 miliar dollar AS, Brasil 500 juta dollar AS, India 640 juta dollar
AS, dan Afrika Selatan 118 juta dollar AS.
Pertumbuhan
ekonomi juga memungkinkan peningkatan belanja militer. Namun, target 1,5
persen dari produk domestik bruto (PDB) tak tercapai. Kenyataannya belanja
militer tetap di bawah 1 persen. Belanja total Indonesia sekitar sepertiga
dari anggaran pertahanan Australia setiap tahun, dan juga di bawah angka
Singapura. Dengan demikian, tak mengherankan jika Dewi Fortuna Anwar
menyimpulkan tahun lalu pada jurnal Europe’s World, ”Dalam hal kekuatan
ekonomi dan militer... Jakarta terutama harus mengandalkan proyeksi soft
power”.
Tak punya pengaruh nyata
Lantas
seperti apa kebijakan luar negeri Indonesia dalam konteks keterbatasan sumber
daya ini? Pada praktiknya, Indonesia memiliki agenda diplomasi yang luas,
tetapi agenda ini termasuk berbagai masalah yang dalam kenyataan sulit
dipengaruhi oleh Indonesia.
Hal ini
terjadi karena di satu sisi masyarakat berharap Indonesia memiliki pengaruh
yang luas dan bangsa Indonesia juga beraspirasi jadi pemain global. Namun, di
sisi lain, pembuat kebijakan luar negeri juga sadar atas keterbatasan sumber
daya.
Perbenturan
dua faktor ini terlihat jelas dalam diplomasi Indonesia menyikapi
konflik-konflik di Timur Tengah. Konflik ini mendapat tempat menonjol dalam
agenda diplomasi Indonesia—seperti komentar Yudhoyono tentang kebijakan luar
negeri dalam pidato kenegaraan tahun lalu menyangkut Suriah, Palestina, dan
Mesir. Namun, Indonesia tak memiliki pengaruh nyata pada situasi-situasi
konflik ini. Hal ini diakui Yudhoyono sendiri dalam kasus Suriah, pada
keterangan pers di Rusia tahun lalu.
Saat itu
Amerika Serikat menyiratkan akan meluncurkan operasi militer terhadap Suriah
untuk merespons penggunaan senjata kimia. Indonesia berpendapat lain,
menginginkan gencatan senjata serta intervensi masyarakat internasional
dengan mandat Dewan Keamanan PBB.
Namun,
Yudhoyono mengaku, Indonesia tak bisa langsung memengaruhi keadaan di Suriah,
sikap negara besar ataupun Dewan Keamanan PBB, kalaupun hal ini dinginkan
masyarakat. Yang bisa dilakukan, kata Yudhoyono, adalah diplomasi aktif,
menyampaikan pikiran dan saran Indonesia.
Hal
ini—masih menurut Yudhoyono—telah ia lakukan dalam berbagai forum
multilateral, termasuk kepada Sekjen PBB serta duta khusus Liga Arab.
Demikian halnya dengan konflik Palestina. Publik menginginkan Indonesia
berperan, dan diplomasi Indonesia terbilang aktif. Namun, berbagai upaya
Indonesia tak memberikannya pengaruh signifikan pada aktor kunci dalam
konflik, dan Indonesia juga tak mampu memainkan peran mediasi.
Sekali
lagi, presiden mendatang mungkin punya gagasan tersendiri dalam diplomasi
luar negeri, tetapi akan tetap terikat oleh keterbatasan sumber daya ini.
Membaca opini ini, mungkin ada yang bertanya, jika pengaruh Indonesia memang
betul seperti digambarkan di sini, kenapa tahun lalu Indonesia menerima
kunjungan beberapa pemimpin dunia ke Jakarta, termasuk Xi Jinping, Manmohan
Singh, dan Shinzo Abe.
Kunjungan
ini mencerminkan antisipasi negara lain atas potensi pengaruh Indonesia pada
masa depan, bukan kekuatannya saat sekarang. Dalam jangka pendek dan bahkan
jangka menengah, Indonesia akan paling berpengaruh pada isu internasional
jika erat kerja samanya dengan negara mitra.
Dalam hal ini, antisipasi negara lain atas potensi jangka panjang
Indonesia menjadi keuntungan bagi diplomasi Indonesia sekarang. Justru pada
saat Indonesia butuh mitra, negara lain juga mencari kesempatan bekerja sama
dengannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar