Kelalaian
yang Mahal
Mayling Oey-Gardiner ;
Demograf Anggota KIS-AIPI dan Guru Besar FEUI
|
KOMPAS,
05 Maret 2014
PROYEKSI
penduduk Indonesia terbaru yang dibuat oleh pemerintah merupakan pengakuan
optimisme dinamika kependudukan masa lampau yang tidak terealisasi. Sejak
desentralisasi dan otonomi daerah, pengendalian kelahiran mengalami hambatan.
Proyeksi penduduk tersebut sebetulnya telah diterbitkan pada Oktober 2013,
tetapi baru boleh diketahui khalayak umum akhir Januari tahun ini.
Tidak
perlu dimungkiri bahwa data statistik kependudukan memiliki nilai politis
tinggi. Penduduk merupakan suara, misalnya. Ada kalanya jumlah penduduk yang
lebih tinggi dari yang diperkirakan berarti tambahan beban pada anggaran dan
kemungkinan penurunan pelayanan publik. Sebaliknya, ada pula pemerintah
daerah yang menghendaki jumlah penduduk lebih besar karena akan meningkatkan
alokasi anggaran dari pusat yang dihitung berdasarkan jumlah penduduk.
Hasil SP 2010 mengejutkan
Proyeksi
penduduk ini didasarkan pada hasil Sensus Penduduk (SP) 2010. Ketika hasil SP
2010 diumumkan, komunitas demografi dan kependudukan agak terperangah.
Bagaimana tidak? Jumlah penduduk Indonesia yang diumumkan pada Agustus
2010—tidak lama setelah pelaksanaan SP yang demikian kolosal, melebihi yang
diperkirakan—sebesar 237,6 juta orang. Proyeksi penduduk berdasarkan SP 2000
menghasilkan jumlah penduduk sebesar 234,1 juta untuk tahun 2010. Proyeksi
menengah PBB (2008) yang banyak dipakai ketika membahas bonus demografi
mencatat jumlah lebih rendah lagi, sebanyak 232,5 juta orang.
Tentu
saja ada yang akan berpendapat bahwa perbedaannya tidak terlalu besar. Hanya
3,5 juta atau 5,1 juta orang, sebanyak 1,5-2,0 persen. Namun, akibat lanjutan
membebani usaha pembangunan. Negara harus menanggung beban lebih besar dari
yang diperkirakan sebelumnya dan perbedaannya makin melebar. Di samping itu,
hal tersebut juga berdampak terhadap harapan yang telah banyak didengung-dengungkan,
bonus demografi, walau juga menghadapi tantangan belakangan ini.
Masalahnya,
jumlah penduduk suatu bangsa pada suatu waktu tertentu merupakan hasil
perilaku rakyatnya di masa lampau yang membawa pengaruh jangka panjang. Anak
sekarang menjadi remaja dan dewasa kemudian hari; ada yang menjadi pekerja
berpendidikan atau tidak, sehat atau tidak, dan makin berumur, ada yang
menjadi lansia dalam keadaan sehat atau tidak, ada yang tetap tinggal dan ada
yang meninggalkan Tanah Air.
Adalah
pola fertilitas, mortalitas, dan migrasi masa lampau yang akan menentukan,
baik komposisi maupun besar penduduk kita di masa akan datang. Karena itu,
para demograf membuat proyeksi penduduk dengan memperkirakan pergerakan pola
fertilitas, mortalitas, dan migrasi ke depan berdasarkan pola masa lampau.
Adalah perubahan dalam dinamika perkembangan penduduk yang menyebabkan
peningkatan jumlah penduduk melebihi perkiraan sebelumnya. Lebih tingginya
kenyataan dari perkiraan merupakan pertanda fakta tidak secerah perkiraan.
Secara khusus, yang dimaksud adalah fakta dan perkiraan mengenai perkembangan
fertilitas dan mortalitas.
Indonesia
pernah menjadi model dan tempat berguru untuk program Keluarga Berencana.
Keberhasilan BKKBN pernah menjadi kebanggaan Indonesia. Inilah program yang
memungkinkan orangtua merencanakan keluarganya, menjauhi kehamilan yang
terasosiasi dengan tingginya kematian ibu dan anak, yaitu ketika ibu terlalu
muda atau terlalu tua, atau ketika kehamilan terjadi terlalu sering dan
berjarak terlalu dekat. Data berbicara. Angka fertilitas total (TFR) yang
dihitung berdasarkan data sensus penduduk 1971, 1980, dan 1990 menunjukkan
penurunan cukup tajam dari 5,61 menjadi 4,68, kemudian 3,33 anak per
perempuan usia reproduktif 15-49. Jika ditambah data Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) 1993, kecenderungan penurunan ini terus berlanjut
hingga 3,02 anak per perempuan 15-49 tahun. Hal ini menunjukkan penurunan
angka kelahiran 54 persen.
Namun,
amat disayangkan bahwa sejak reformasi yang dibarengi dengan desentralisasi
dan otonomi daerah, indikator sosial tak banyak beranjak ke perbaikan,
peningkatan kesejahteraan. Selama ini berbagai hasil survei, khususnya
rangkaian SDKI 2002-2003, 2007, dan 2012, menunjukkan TFR konstan pada
tingkat 2,6 anak per perempuan 15-49 tahun. Penurunan fertilitas biasanya
didahului penurunan mortalitas. Pola serupa ditunjukkan untuk kematian anak;
menurun cukup mengesankan hingga pertukaran abad, tetapi melambat sejak itu
hingga sekarang.
Hal ini benar untuk kematian neonatus (kelahiran hingga 1
bulan), bayi (dari lahir hingga 1 tahun), dan anak balita (di bawah lima
tahun). Selama dasawarsa 1990-an, angka kematian neonatus menurun 38 persen,
kematian bayi turun 49 persen, dan kematian anak balita turun 53 persen.
Namun, seperti halnya fertilitas, sejak awal abad ini angka kematian neonatus
hanya turun 5 persen, kematian bayi turun 9 persen, dan kematian anak balita
turun 13 persen (SDKI 2012).
Apa yang
terjadi? Memang ketika itu kejayaan BKKBN redup. Desentralisasi dan otonomi
daerah berarti bahwa fungsi pemerintahan, termasuk pelayanan oleh BKKBN,
seharusnya dilanjutkan oleh pemerintah daerah. Rupanya, menemukan pemerintah
daerah di antara lebih dari 500 provinsi dan kabupaten/kota yang menaruh
perhatian pada pentingnya pemberian pelayanan KB bagi rakyatnya bukanlah hal
yang mudah. Karena itu, dapat dikatakan bahwa sepatutnyalah hal tersebut
disebut ”kelalaian”.
Dampak ”kelalaian”
Telah
disinggung di atas bahwa salah satu dampak dari ”kelalaian” tersebut adalah
lebih besarnya jumlah penduduk dari yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini
tentu saja akan membawa dampak jangka panjang, dalam arti proyeksi penduduk
berdasarkan SP 2010 makin besar penyimpangannya dari proyeksi sebelumnya yang
ditandai pandangan optimistis bahwa pelayanan dan keadaan kesehatan serta KB
makin baik sehingga fertilitas dan mortalitas terus menurun mengikuti pola
abad lalu sebelum desentralisasi dan otonomi daerah. Hal ini berdampak pada
angka beban ketergantungan menjadi lebih tinggi. Awal Adioetomo mengungkap bonus
demografi didasarkan proyeksi menengah PBB berperspektif optimistis tentang
penurunan fertilitas dan mortalitas berkelanjutan 1950-2050 menunjukkan angka
beban ketergantungan (ABK) 44 penduduk usia 0-14 dan 65+tahun per 100 orang
usia produktif 15-64 tahun. Akibat ”kelalaian” perlambatan penurunan
fertilitas dan mortalitas sejak desentralisasi dan otonomi, ABK hasil
proyeksi terakhir lebih tinggi menjadi 47 per 100 penduduk usia 15-64 tahun,
atau 8 persen lebih tinggi, perbedaan yang cukup berarti.
Dan, tentu saja ”kelalaian” tersebut berdampak terhadap jumlah penduduk
yang menjadi lebih besar daripada perkiraan sebelumnya. Kalau SP 2010 ”hanya”
3,5 juta orang lebih banyak dari perkiraan berdasarkan SP 2000, pada 2015
perbedaannya menjadi 7,3 juta orang, tahun 2020 menjadi 9,5 juta, dan tahun
2025 menjadi 11,2 juta orang. Dampaknya tentu cukup berarti pada, misalnya,
anggaran pendidikan dan kesehatan. Ketika Indonesia berusaha meningkatkan
akses dan kualitas pendidikan, penambahan penduduk mungkin sekali menghambat
harapan tersebut. Demikian pula di bidang kesehatan, ketika kita ingin
memberikan pelayanan kesehatan yang memadai bagi semua, peningkatan penduduk
meningkatkan kebutuhan pendanaan untuk jaringan kesehatan nasional. Suatu
kelalaian yang mahal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar