Senin, 10 Maret 2014

Meluruskan Pembangunan Jatim

Meluruskan Pembangunan Jatim

Ahmad Erani Yustika  ;   Guru Besar FEB Universitas Brawijaya;
Direktur Eksekutif Indef
JAWA POS,  10 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
Saat ini pemerintah provinsi dan DPRD Jawa Timur (Jatim) sibuk membahas RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) 2014-2019 setelah pelantikan gubernur Jatim beberapa waktu lalu. RPJMD ini merupakan panduan pembangunan selama lima tahun, yang akan diturunkan dalam rencana kerja tahunan, termasuk konsekuensinya terhadap penyusunan anggaran daerah (APBD). Dengan begitu, RPJMD merupakan dokumen yang sangat strategis karena secara teoretis akan menentukan arah dan percepatan pembangunan. Seyogianya dalam pembahasan RPJMD ini representasi teknokratis masyarakat dilibatkan untuk menjaga agar arah pembangunan lebih lurus.

Gugusan Persoalan

Seluruh aspek tentu dibahas dalam RPJMD tersebut. Namun, tulisan ini hanya akan melihat aspek ekonomi sesuai dengan kompetensi yang saya miliki. Jika dilihat secara saksama dalam beberapa tahun ini, persoalan ekonomi Jatim dapat dilihat sebagai berikut. Pertama, pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, rata-rata lebih tinggi dariPADA nasional, tapi makin lama percepatan penurunan angka kemiskinan kian melambat. Seperti halnya kondisi pada level nasional, pertumbuhan ekonomi di Jatim kian tidak sensitif terhadap kelompok bawah.

Bahkan, yang lebih mencemaskan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut diiringi kenaikan ketimpangan pendapatan (gini rasio 0,41 pada 2012). Data ini semakin memperkuat argumen bahwa pertumbuhan ekonomi di Jatim cuma berkawan dengan kelompok berpendapatan atas.

Kedua, kualitas tenaga kerja (TK) di Jatim amat memprihatinkan karena 66,21 persen dari total TK bekerja di sektor informal (2013). Angka tersebut naik tipis bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2012), yakni 66,20% (BPS, 2013). Fakta ini menunjukkan dua hal penting: (1) pemerintah daerah gagal membuka lapangan kerja yang cukup dan layak untuk menampung angkatan kerja (baik yang baru maupun lama) meskipun angka pengangguran terbuka terus menurun, yang saat ini pada kisaran 4,3% (lebih rendah daripada pengangguran terbuka nasional); (2) kesejahteraan TK secara keseluruhan jauh dari laik karena sifat pekerjaan di sektor informal sebagian besar subsisten, tidak ada jaminan upah minimum, dan keberlanjutan usaha rendah. Inilah yang, antara lain, menjadi sebab rata-rata pendapatan per kapita Jatim jauh lebih rendah daripada nasional.

Ketiga, konsentrasi pembangunan antarwilayah di Jatim makin membesar dari waktu ke waktu. Sekadar ilustrasi, pada 1984 Surabaya baru memberikan kontribusi sekitar 13 persen terhadap PDRB Jatim. Namun, pada 2010 donasinya telah membengkak menjadi 26 persen. Selanjutnya, tujuh wilayah di Jatim (Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Kota Kediri, dan Malang Raya) pada 1984 baru menyumbang sekitar 22 persen terhadap PDRB Jatim, tetapi pada 2010 telah melesat menjadi 56 persen. Konfigurasi konsentrasi itu sebagian besar disebabkan terjadinya penumpukan investasi di daerah tersebut.

Pemerataan Pembangunan

Masalah tersebut masih dapat dibentangkan ke banyak aspek yang lain, seperti alokasi belanja anggaran, IPM (indeks pembangunan manusia) yang lebih rendah dari rata-rata nasional, dan alokasi kredit perbankan ke sektor riil (khususnya ke sektor pertanian) yang amat kecil. Persoalan ini menjadi isu strategis sehingga seharusnya sebagian besar wajah RPJMD menyasar aspek-aspek tersebut. Paket kebijakan terpenting untuk menyelesaikan trilogi persoalan dasar (kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan) adalah membangkitkan kembali sektor pertanian. Pada 2013, Jatim membuat "rekor" baru, di mana menurut BPS pertumbuhan sektor pertanian hanya 1,59 persen (pada saat pertumbuhan ekonomi Jatim 6,55 persen). Barangkali ini pertumbuhan sektor pertanian paling rendah dalam sejarah Jatim, sehingga harus ditelisik secara serius mengapa hal ini terjadi.

Berikutnya, tentu saja membangun pertanian tak bisa dipisahkan dengan sektor industri dan perdagangan. Kabupaten yang sebagian besar bergantung pada pertanian (tanpa pengolahan) pasti kemiskinannya tinggi. Oleh sebab itu, di daerah yang potensi pertaniannya tinggi harus diikuti pembangunan industri dan perdagangan yang terkait sektor pertanian dan pelakunya bukanlah investor besar (tapi berbasis UMKM/koperasi).

Akhirnya, belanja modal untuk pembangunan infrastruktur harus dinaikkan, sebab pada 2012 hanya sekiyar 8,5 persen dari total belanja. Belanja modal ini sebagian besar akan dipakai untuk menyantuni sektor pertanian dan daerah terbelakang agar pemerataan pembangunan antarwilayah lekas tercapai. Harus ada perubahan radikal terhadap struktur alokasi belanja dengan mengurangi alokasi belanja birokrasi, yang pada 2012 mencapai 51 persen (selama ini struktur belanja APBD lebih banyak menyantuni aparat ketimbang rakyat). Saatnya anggota legislatif dan pemerintah daerah/kabupaten yang relatif tertinggal bersuara lebih keras, jangan diam terus.
                

rifika � a a xC� h2� at menjadi bukti faktual data pertama yang solid dari setiap TPS.


Selain profesionalitas dan kecanggihan teknis yang dimiliki tim IT yang akan diberi tanggung jawab menyelenggarakan proyek software dan hardware pemilu elektronik tersebut, komitmen ''kenegarawanan'' dan nasionalisme mereka juga perlu diikat dalam kontrak ''Demi Kedaulatan dan Kehormatan Negeri'' secara eksplisit. Lengkap punishment dan reward-nya. Kewajiban dan haknya.

Kedudukan ikatan kontrak itu sangat strategis karena kelemahan IT, selain pada faktor software-hardware, pada soliditas jaringan. Semua unit, semua unsur, harus kompak dan padu. Akan sangat pedih seandainya gangguan terjadi pada saat berlangsung inputting data.

Kelemahan yang mungkin terjadi dalam sistem itu adalah pada instalasi awal. Prosesnya cukup rumit dan berbiaya lumayan besar. Namun, pada event-event berikutnya, termasuk pelaksanaan pilkada, kebutuhan biayanya relatif kecil.

Sosialisasi dan implementasi sistem di lapangan bukannya tidak menemui hambatan. Namun, dengan adanya penyuluhan dan pendampingan yang dilakukan jauh waktu sebelumnya, tantangan tersebut bukannya tidak dapat diatasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar