Meluruskan
Pembangunan Jatim
Ahmad Erani Yustika ;
Guru Besar FEB Universitas Brawijaya;
Direktur Eksekutif Indef
|
JAWA
POS, 10 Maret 2014
Saat ini
pemerintah provinsi dan DPRD Jawa Timur (Jatim) sibuk membahas RPJMD (Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah) 2014-2019 setelah pelantikan gubernur
Jatim beberapa waktu lalu. RPJMD ini merupakan panduan pembangunan selama
lima tahun, yang akan diturunkan dalam rencana kerja tahunan, termasuk
konsekuensinya terhadap penyusunan anggaran daerah (APBD). Dengan begitu,
RPJMD merupakan dokumen yang sangat strategis karena secara teoretis akan
menentukan arah dan percepatan pembangunan. Seyogianya dalam pembahasan RPJMD
ini representasi teknokratis masyarakat dilibatkan untuk menjaga agar arah
pembangunan lebih lurus.
Gugusan Persoalan
Seluruh
aspek tentu dibahas dalam RPJMD tersebut. Namun, tulisan ini hanya akan
melihat aspek ekonomi sesuai dengan kompetensi yang saya miliki. Jika dilihat
secara saksama dalam beberapa tahun ini, persoalan ekonomi Jatim dapat
dilihat sebagai berikut. Pertama, pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, rata-rata
lebih tinggi dariPADA nasional, tapi makin lama percepatan penurunan angka
kemiskinan kian melambat. Seperti halnya kondisi pada level nasional,
pertumbuhan ekonomi di Jatim kian tidak sensitif terhadap kelompok bawah.
Bahkan,
yang lebih mencemaskan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut diiringi
kenaikan ketimpangan pendapatan (gini rasio 0,41 pada 2012). Data ini semakin
memperkuat argumen bahwa pertumbuhan ekonomi di Jatim cuma berkawan dengan
kelompok berpendapatan atas.
Kedua,
kualitas tenaga kerja (TK) di Jatim amat memprihatinkan karena 66,21 persen
dari total TK bekerja di sektor informal (2013). Angka tersebut naik tipis
bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2012), yakni 66,20% (BPS, 2013).
Fakta ini menunjukkan dua hal penting: (1) pemerintah daerah gagal membuka
lapangan kerja yang cukup dan layak untuk menampung angkatan kerja (baik yang
baru maupun lama) meskipun angka pengangguran terbuka terus menurun, yang
saat ini pada kisaran 4,3% (lebih rendah daripada pengangguran terbuka
nasional); (2) kesejahteraan TK secara keseluruhan jauh dari laik karena
sifat pekerjaan di sektor informal sebagian besar subsisten, tidak ada
jaminan upah minimum, dan keberlanjutan usaha rendah. Inilah yang, antara
lain, menjadi sebab rata-rata pendapatan per kapita Jatim jauh lebih rendah
daripada nasional.
Ketiga,
konsentrasi pembangunan antarwilayah di Jatim makin membesar dari waktu ke
waktu. Sekadar ilustrasi, pada 1984 Surabaya baru memberikan kontribusi
sekitar 13 persen terhadap PDRB Jatim. Namun, pada 2010 donasinya telah
membengkak menjadi 26 persen. Selanjutnya, tujuh wilayah di Jatim (Surabaya,
Sidoarjo, Gresik, Kota Kediri, dan Malang Raya) pada 1984 baru menyumbang
sekitar 22 persen terhadap PDRB Jatim, tetapi pada 2010 telah melesat menjadi
56 persen. Konfigurasi konsentrasi itu sebagian besar disebabkan terjadinya
penumpukan investasi di daerah tersebut.
Pemerataan Pembangunan
Masalah
tersebut masih dapat dibentangkan ke banyak aspek yang lain, seperti alokasi
belanja anggaran, IPM (indeks pembangunan manusia) yang lebih rendah dari
rata-rata nasional, dan alokasi kredit perbankan ke sektor riil (khususnya ke
sektor pertanian) yang amat kecil. Persoalan ini menjadi isu strategis
sehingga seharusnya sebagian besar wajah RPJMD menyasar aspek-aspek tersebut.
Paket kebijakan terpenting untuk menyelesaikan trilogi persoalan dasar
(kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan) adalah membangkitkan kembali
sektor pertanian. Pada 2013, Jatim membuat "rekor" baru, di mana
menurut BPS pertumbuhan sektor pertanian hanya 1,59 persen (pada saat
pertumbuhan ekonomi Jatim 6,55 persen). Barangkali ini pertumbuhan sektor
pertanian paling rendah dalam sejarah Jatim, sehingga harus ditelisik secara
serius mengapa hal ini terjadi.
Berikutnya,
tentu saja membangun pertanian tak bisa dipisahkan dengan sektor industri dan
perdagangan. Kabupaten yang sebagian besar bergantung pada pertanian (tanpa
pengolahan) pasti kemiskinannya tinggi. Oleh sebab itu, di daerah yang
potensi pertaniannya tinggi harus diikuti pembangunan industri dan
perdagangan yang terkait sektor pertanian dan pelakunya bukanlah investor
besar (tapi berbasis UMKM/koperasi).
Akhirnya,
belanja modal untuk pembangunan infrastruktur harus dinaikkan, sebab pada
2012 hanya sekiyar 8,5 persen dari total belanja. Belanja modal ini sebagian
besar akan dipakai untuk menyantuni sektor pertanian dan daerah terbelakang
agar pemerataan pembangunan antarwilayah lekas tercapai. Harus ada perubahan
radikal terhadap struktur alokasi belanja dengan mengurangi alokasi belanja
birokrasi, yang pada 2012 mencapai 51 persen (selama ini struktur belanja APBD lebih banyak menyantuni aparat
ketimbang rakyat). Saatnya anggota legislatif dan pemerintah
daerah/kabupaten yang relatif tertinggal bersuara lebih keras, jangan diam
terus. ●
|
Selain
profesionalitas dan kecanggihan teknis yang dimiliki tim IT yang akan diberi
tanggung jawab menyelenggarakan proyek software
dan hardware pemilu elektronik
tersebut, komitmen ''kenegarawanan'' dan nasionalisme mereka juga perlu
diikat dalam kontrak ''Demi Kedaulatan dan Kehormatan Negeri'' secara
eksplisit. Lengkap punishment dan reward-nya. Kewajiban dan haknya.
Kedudukan
ikatan kontrak itu sangat strategis karena kelemahan IT, selain pada faktor software-hardware, pada soliditas
jaringan. Semua unit, semua unsur, harus kompak dan padu. Akan sangat pedih
seandainya gangguan terjadi pada saat berlangsung inputting data.
Kelemahan
yang mungkin terjadi dalam sistem itu adalah pada instalasi awal. Prosesnya
cukup rumit dan berbiaya lumayan besar. Namun, pada event-event berikutnya,
termasuk pelaksanaan pilkada, kebutuhan biayanya relatif kecil.
Sosialisasi
dan implementasi sistem di lapangan bukannya tidak menemui hambatan. Namun,
dengan adanya penyuluhan dan pendampingan yang dilakukan jauh waktu
sebelumnya, tantangan tersebut bukannya tidak dapat diatasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar