Lari
Samuel Mulia ;
Penulis
Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
|
KOMPAS,
02 Februari 2014
Seorang
tetangga mengajak saya ikut lari seperti yang belakangan ini dilakukan banyak
orang. Saya menampik tawarannya itu karena saya tak kuat lari dan sejujurnya
lebih enak tidur, apalagi diperintahkan untuk bangun subuh-subuh.
Kemudian
ia berkomentar lagi. ”Ini beda larinya. Kagak pake sepatu, kagak pake baju
olahraga, larinya kagak di jalan raya.” Saya membalasnya. ”Mang lari apaan?”
Ia menjawab, ”Lari dari kenyataan, bro.”
Belum merdeka
Di sore
itu kami tergelak bersama. Kemudian malam datang dan kami berpisah. Ia pulang
mengurus keluarganya, saya bingung mau pulang karena tak ada yang diurus.
Mungkin ini waktunya ikut lari dari kenyataan.
Sudah
beberapa minggu belakangan saya merasa sangat jenuh dengan kehidupan yang
saya jalani, tanpa menampik bahwa kebahagiaan juga turut hadir di antaranya.
Tetapi mungkin kebahagiaannya hanya dua puluh persen, sisa delapan puluh
persennya adalah yang melelahkan batin.
Maka dua
teman saya bersepakat mengajak saya ke luar kota, setelah melihat gelagat
saya yang aneh. Awalnya saya menolak ajakan itu. Lelah batin itu ternyata
mendatangkan kemalasan. Malas bergerak, malas menghadiri undangan, malas
makan, malam mandi. Tetapi paksaan yang cukup bertubi-tubi dari kedua teman
itu membuat saya mengalah dan berakhir bersama mereka di akhir pekan.
Dua hari
menghilang tanpa berpikir apa-apa lumayan membuat baterai saya menyala lagi.
Mungkin yang namanya habis di-recharge itu yaa... seperti perasaan setelah
akhir pekan itu. Tetapi setelah semuanya berakhir, dan saya kembali lagi pada
rutinitas, kembali melihat tempat tinggal yang sama, perasaan sebal mulai
menyerang lagi.
Entah
mengapa, belakangan ini juga, saya sering sakit kepala acap kali bangun pagi
setelah sekian jam tanpa masalah tidur pada malam hari. Padahal, saat
berakhir pekan bersama teman-teman, sakit kepala itu raib entah ke mana.
Dalam
keadaan tertentu, saya bisa menggigil di tengah hawa yang panas dan
sebaliknya bisa kegerahan di ruang berpendingin. ”Kayaknya elo menopause
deh,” komentar seorang teman. Kalau sudah demikian, ingin rasanya berlibur
lagi, ingin melarikan diri dari kenyataan yang menyebalkan lagi.
Mungkin
hal ini yang menyebabkan ada orang suka mengonsumsi narkoba. Mendapat
kebahagiaan sesaat, melarikan diri sesaat dari kenyataan yang mendatangkan
rasa sukacita yang meski sejenak, tetapi memberi rasa yang berbeda.
Kemudian
terlintaslah dalam benak saya, apakah lari dari kenyataan seyogianya
dilakukan sesering mungkin? Mengapa lari dari kenyataan itu dilakukan?
Kalaupun ingin lari darinya, apakah itu bisa dilakukan, la wong saya ada di
dalam kenyataan itu sendiri? Bagaimana saya bisa lari darinya?
Merdeka
Kemudian
saya memendamkan semua pertanyaan itu beberapa minggu lamanya. Sampai pada
suatu sore di akhir pekan, saya seharian terpaksa harus berdiam di tempat
tinggal karena Jakarta diguyur hujan.
Setelah
bosan melihat tayangan televisi, mencoba belajar memasak dengan berakhir
menyantap ayam goreng gosong, saya memutuskan untuk melakukan aktivitas jalan
cepat dan lari di halaman apartemen seperti yang setiap hari saya lakukan.
Setelah
aktivitas dilakukan, saya beristirahat di atas rumput. Memandang sore hari
dengan langit yang tak terlalu biru sambil mendinginkan badan yang
berkeringat. Nah, di saat itulah saya kembali mengingat pada sejuta
pertanyaan mengenai lari dari kenyataan.
Saya
cukup lama terdiam sebelum mulai mencoba dengan tenang mengapa saya ingin
sekali lari dari kenyataan itu. Hal pertama dan mungkin satu-satunya penyebab
adalah saya tak bisa menerima kenyataan hidup saya sendiri. Kalau kenyataan
dunia, apa boleh buat. Suka tidak suka, saya harus menerimanya.
Jadi,
sejujurnya melarikan diri sejenak di akhir pekan itu tak menyelesaikan
masalah. Mungkin sama seperti mengonsumsi narkoba itu tak menyelesaikan
masalah. Itu mengapa sepulang melarikan diri, saya mengomel lagi. Itu mengapa
saya ingin berlibur lagi, ingin lari lagi. Saya hanya melupakan tetapi tidak
menerima kenyataan.
Mengapa
saya tak bisa menerima kenyataan hidup saya? Yaa... sederhana saja. Karena
memang belum dapat menerima saja. Jadi, saya harus menerima kenyataan bahwa
saya tidak bisa menerima dan bukan pura-pura bisa menerimanya.
Saya
suka naik pitam kalau dikuliahi kalau saya ini dianggap kurang bersyukur saat
saya tak bisa menerima kenyataan yang tak saya sukai. Saya merasa
dipersalahkan kalau menjadi jujur dan selalu dianggap sungguh mulia ketika
saya menjadi munafik. Terlintas dalam benak saya kalau munafik itu memberi
banyak keuntungan ketimbang menjadi jujur.
Maka
setelah mendinginkan diri, saya pikir saya akan mengomel untuk beberapa waktu
lamanya sampai pada suatu hari nanti akan datang waktunya saya bisa menerima
kenyataan hidup saya.
Kan
katanya semua itu pasti berakhir. Kebahagiaan akan berakhir, penderitaan pun
akan berakhir, maka ketidakmampuan saya untuk menerima kenyataan ini pun akan
berakhir.
Jadi, di suatu hari nanti saya tak perlu lagi berlari-lari. Dan hari
itu akan menjadi sebuah hari kemerdekaan buat saya. Lari dari kenyataan itu
tidak memerdekakan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar